Diberdayakan oleh Blogger.

pencarian

Total Tayangan

Post Populer

Blogger templates

Blogroll

Featured 1

Curabitur et lectus vitae purus tincidunt laoreet sit amet ac ipsum. Proin tincidunt mattis nisi a scelerisque. Aliquam placerat dapibus eros non ullamcorper. Integer interdum ullamcorper venenatis. Pellentesque habitant morbi tristique senectus et netus et malesuada fames ac turpis egestas.

Featured 2

Curabitur et lectus vitae purus tincidunt laoreet sit amet ac ipsum. Proin tincidunt mattis nisi a scelerisque. Aliquam placerat dapibus eros non ullamcorper. Integer interdum ullamcorper venenatis. Pellentesque habitant morbi tristique senectus et netus et malesuada fames ac turpis egestas.

Featured 3

Curabitur et lectus vitae purus tincidunt laoreet sit amet ac ipsum. Proin tincidunt mattis nisi a scelerisque. Aliquam placerat dapibus eros non ullamcorper. Integer interdum ullamcorper venenatis. Pellentesque habitant morbi tristique senectus et netus et malesuada fames ac turpis egestas.

Featured 4

Curabitur et lectus vitae purus tincidunt laoreet sit amet ac ipsum. Proin tincidunt mattis nisi a scelerisque. Aliquam placerat dapibus eros non ullamcorper. Integer interdum ullamcorper venenatis. Pellentesque habitant morbi tristique senectus et netus et malesuada fames ac turpis egestas.

Featured 5

Curabitur et lectus vitae purus tincidunt laoreet sit amet ac ipsum. Proin tincidunt mattis nisi a scelerisque. Aliquam placerat dapibus eros non ullamcorper. Integer interdum ullamcorper venenatis. Pellentesque habitant morbi tristique senectus et netus et malesuada fames ac turpis egestas.

Minggu, 26 April 2015

MAKALAH STUDI KELAYAKAN USAHA

BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Pembahasan mengenai studi kelayakan bisnis tidak terlepas dari pemahaman manajemen ditambah dengan melihat beberapa aspek yang terkait disana seperti aspek ekonomi, teknologi, politik-hukum dan sosial-budaya. Dimana kesemua aspek ini saling memiliki keterkaitan satu sama lainnya untuk mendukung kelayakan suatu bisnis baik dilihat dari segi mikro dan makro.

Selasa, 21 April 2015

MAKALAH FLSAFAT ISLAM MOHAMMAD IQBAL

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Di zaman era modern ini, tampaknya masyarakat islam tertinggal jauh dengan masyarakta non muslim di Negara barat. Hal ini disebabkan masyarakat islam tampaknya kurang semangat didalam mencari suatu pengaetahuan baru. Hal ini buktikannya dengan adanya kemandekan dalam dunia ijtihad. Masyarakat sekarang dienakkan dengan produk-produk teknologi dari Barat dan malas dalam mencari suatu pengetahuan. Keadaan seperti ini haruslah diubah salah satunya adalah dengan mengetahui sejarah tokoh-tokoh islam seperti mengetahui tokoh dalam filsafat islam yang dapat kita contoh bagaimana para tokoh tersebut menggunakan pemikirannya demi mencari suatu pengetahuan yang belum ada sebelumnya.
Kemudian dengan kita mengetahui salah satu tokoh filsafat islam kita juga diharapkan dapat memperkuat keimanan kita dengan jalan mempelajari hakikat ketuhanan, manusia, dan alam semesta sehingga dengan rasa iman yang kuat kita tidak mengalami goyah keimanan dalam hati umat islam seperti juga yang terjadi pada era sekarang yang umat islam rela unutk keluar dari agamanya karena hal-hal yang sepele. Salah satu tokoh filsaafat yang akan kita pelajari dalam makalah ini adalah tentang filsafat Muhammad Iqbal mengenai riwayatnya, karya-karyanya dan tentang hasil pemikiran dari kegiatan filsafatnya.   

B. Rumusan Masalah
1.      Bagaimana riwayat hidup beliau ?
2.      Apa saja karya-karya filsafat yang telah  ditulisnya ?
3.      Bagaimana pemikiran -pemikiran filsafat Muhammad Iqbal ?



C. Tujuan Penulisan
Dalam penulisan makalah ini adalah agar kita dapat lebih menetahui salah satu tokoh filsuf islam, dengan mengetahui tokoh filsuf islam tersebut kita diharapkan dapat mencontoh dan kita dapat mengembangkan pemikiran tersebut demi tercapainya kemajuan umat islam.
























BAB II
PEMBAHASAN

A. Riwayat Hidup Muhammad Iqbal
Muhammad Iqbal penyair ( filsuf, ahli hukum, pemikir politik, dan reformis muslim adalah seorang tokoh dominan umat islam abad kedua puluh ) lahir pada bulan Dzulhijjah 1289 H, atau 22 Pebruari 1873 M di Sialkot. Ia memulai pendidikannya pada masa kanak-kanak nama ayahnya, Nur Muhammad yang dikenal seorang ulama. Kemudian Iqbal mengikuti pelajaran Alqur’an dan pendidikan Islam lainnya secara klasik disebuah surau. Selanjutnya, Iqbal dimasukkan oleh ayahnya ke Scotch Mission College di Sialkot agar ia mendapatkan bimbingan dari Maulawi Mir Hasan ( teman ayahnya yang ahli bahasa Persia-Arab). Bimbingan tersebut berupa dorongan dan semangat tentang  ruh agama yang mewarnai dan mendasari jiwa Iqbal serta senantiasa bersemayam dalam jiwanya.
Pada tahun 1985 ia pergi ke Lahore, salah satu kota di India yang menjadi  pusat kebudayaan, pengetahuan, dan seni. Di kota ini ia bergabung dengan perhimpunan sastrawan yang sering diundang musya;arah, yakni pertemuan-pertemuan  di mana para penyair membacakan sajak-sajaknya. Ini merupakan tradisi yang berkembang di Pakistan dan India hingga kini. Di kota Lahore ini, sambil menalnjutkan pendidikan sarjananya ia mengajar fislafat di Government College. Pada tahun 1897 Iqbal memperoleh gelar B.A., kemudian ia mengambil program M.A. dalam bidang filsafat. Pada saat itulah ia bertemu dengan Sir Thomas Arnold ( orientalis Inggris yang terkenal ). yang mengajarkan Filsafat Islam di College tersebut. Antara keduanya terjalin hubungan intim melebihi hubungan guru dengan murid, sebagai tertuang dalam kumpulan sajaknya Bang-i- Dara.
Dengan dorongan dan dukungan Arnold, iqbal menjadi terkenal sebagai salah seorang pengajar yang berbakat dan penyair di Lahor. Sajak-sajaknya banyak diminati orang. Pada tahun 1905, ia studi di Cambridge pada R.A. Nicholson, seorang spesialis dalam sufisme, dan seorang Neo-hegelian, yaitu Jhon M.E. McTaggart, Iqbal kemudian belajar di Heidelberg das Munich. Di Munich, ia meneylesaikan doktornya pada tahun 1908 dengan disertasi, The Development of Metaphysics in Persia. ( Disertasi ini kemudian diterbitkan di London dalam bentuk bukum dan dihadiakan Iqbal kepada gurunya, Sir Thomas Arnold ). Setelah mendapatkan gelar doktor, ia kembali ke Londonuntuk belajar di bidang keadvokatan sambil mengajar bahasa dan kesusastraan Arab di Universitas London. Selama di Eropa, Iqbal tidak jemu-jemu menemui para ilmuwan untuk mengadakan berbagai perbincangan tentang persoalan-persoalan keilmuan dan kefilsafatan. Ia juga memperbincangkan Islam dan peradapannya. Disamping itu, Iqbal memberikan ceramah dalam berbagai kesempatan tentang Islam. Isi ceramahnya tersebut dipublikasikan dalam berbagi penrbitan surat kabar. Ternyata setelah menyaksikan langsung dan mengakaji kebudayaan Barat, ia tidak terpesona oleh gemerlapannya dan daya pikat kebudayaan terebut. Iqbal tetap concern pada budaya dan kepercayaan.
Pada tahun 1908, Iqbal kembali ke Lohere dan mengajar di Government College dalam mata kuliah filsafat dan sastra Inggris. Untuk bebrapa tahun, ia sempat menjabat Dekan Fakultas Kajian-KajianKetmuran dan ketua jurusan Kajian-kajina Filosofis. Selain tiu, Iqbal juga menjadi anggota dalam komisi-komisi yang meneliti masalah perbaikan pendidikan di India. Ini semua tidak berlangsung lama. Ia beralih profesi dalm bidang hokum. Profesi ini digelutinya hingga ia sering sakit tahun 1934, empat tahun sebelum ia meninggal dunia. Disamping itu, ia meneruskan kegemarannya dalam menulis prosa dan puisi. Dalam tulisan-tulisannya, Iqbal berusaha mengkombinasikan apa yang dipelajarinya di Timur dan di barat , serta warisan intelektual Islam untuk menghasilkan reinterpretasi pemahaman Islam.
Dalam bidang politik Iqbal juga mengambil bagian, bakan menjadi tulang punggung partai Liga Muslim India. Pada tahun 1926 ia  terpilih menjadi anggota Majelis Legislatif di Punjab, sementara itu kegiatannya di Liga Muslim tidak terhenti. Pada tahun 1930 ia menjadi presiden Liga Muslim India. Ketika konferensi tahunan Liga Muslim di Allahad tanggal 29 Desember 1930, Iqbal adalah orang yang pertama kali menyerukan dibaginya India, sehingga kaum muslimin mempunyai negara otonom, hal itu tidak bertentangan dengan persatuan umat Islam dan pan-islamis. Dengan pemikiran tersebut, ia dijului sebagai Bapak  Pakistan. Pada tahun 1931 dan 1932, Iqbal mengikuti Konferensi Meja Bundar di London. Konferensi ini membahas konstitusi baru bagi India. Sepulangnya dari London, Iqbal menyempatkan untuk singgah di Spayol untuk menyaksikan peniggalan kaum muslimin. Di Spayol ini, ia menemukan ide-ide baru yang mengubah sajak-sajaknya, idantara puisinya yang terkenal adalah Di Masjid Cordova. Puisi ini digubah Iqbal dan diterbitkan dalm Bal-i-Jibril, salah satu karyanya yang terkenal.
Pada tahun 1922, Iqbal mendapat gelar Sir dari pemerintahan Inggris yang diusulkan oleh wartawan Inggris dengan mengirimkan surat undangan kepada Iqbal. Sebenarnya Iqbal, tidak mau untuk menghadiri undangan tersebut tetapi dorongan dari sahaatnya,Mirza Jalaluddin, akhirnya ia mau. Dan sesampai di Inggris, ia juga mensyaratkan kepada pemerintahan Inggris bahwa ia bersia untuk diberi gelar Sir jika gurunya yang bernama Mir Hasan diberi gelar Syams al-Uama. Akhirnya pemerintahan Inggris, setuju walaupun gurunya tersebut tidak terkenal dan belum patut diberi gelar demikian.
Pada tahun 1935, istrinya Iqbal meninggal, sehingga Iqbal mengalami kesedihan yang berlarut-larut. Akibat dari kesedihan tersebut Iqbal terkena berbagai penyakit yang menyebabkan fisiknya melemah. Walaupun fisiknya melemah tetapi Iqbal tetap semangat dalam menulis pemikiran-pemikirannya dan tidak henti mengubah sajak-sajaknya. Dan pada tahun 1938 penyakitnya bertambah parah, dan akhirnya ia meninggal pada usia 60 tahun (menurut kalender Masehi) atau 63 tahun    ( menurut kalender Hijriyah ). Tepatnya tanggal 21 April 1938.

B. Karya-Karya Muhammad Iqbal
Diperkirakan Muhammad Iqbal meninggalkan tidak kurang 21 karya monumental, yaitu :
1.      Ilm al-Iqtiad, ( 1903 )
2.      Development of Metapysics in Persia : A Constribution to the History of Muslim Philosopy, ( 1908 )
3.      Islam as a Moral and Political Ideal, ( 1909 )
4.      Asrar-i Khuldi [ Rahasia Pribadi ], ( 1915 )
5.      Rumuz-i Bekhudi [ Rahasia Peniadaan Diri ], ( 1918 )
6.      Payam-i Masyriq [ Pesan dari Timur ], ( 1923 )
7.       
C. Filsafatnya
a.      Ego atau Khudi
Konsep tentang hakikat ego atau individualitas merupakan konsep dasar dari filsafat Iqbal dan menjadi alas penopang keseluruhan struktur pemikiran-pemikirannya. Menurut Iqbal, khudi, arti harfiahnya ego atau individualitas, merupakan suatu kesatuan yang riil atau nyata, adalah pusat dan landasan dari semua kehidupan, Ia merupakan suatu kehendak baik yang terarah secara rasional. Arti terarah secara rasional, menjelaskan bahwa hidup bukanlah suatu arus tak berbentuk, melainkan suatu prinsip kesatuan yang bersifat mengatur, dan sentral dari segala struktur kehidupan manusia. Dan ego harus berjuang mempertahankan individualitas dan memprkuatkannya. Tujuan ego bukan membebaskan diri dari batas-batas individualitas, melainkan memberi batasan tentang dirinya dengan lebih tegas.
Tujuan terakhir ego, bukanlah melihat sesuatu, tetapi menjadi sesuatu. Di dalam ego menjadi sesuatu itulah ia menemukan kesempatan buat mempertajam pandangan obyktif dan mencapai “Aku” yang lebih fundamental, yang memperoleh bukti realitas dirinya.
Pencarian ego adalah pencarian untuk mendapatkan definisi yang lebih tepat mengenai dirinya. Tindakanya bukan hanya tindakan intelektual, melainkan suatu tindakan vital yang memperdalam seluruh wujud ego, serta mempertajam kemauannya dengan keyakinan kreatif, bahwa dirinya ini bukanlah sesuatu yang hanya melihat atau dikenal melalui konsep demi konsep, melainkan sesuatu yang harus dibangun dan dibangun kembali dengan kerja yang tidak putus-putusnya.

b.      Ketuhanan
Pemahaman Iqbal tentang Ketuhanan mengalami tiga tahap perkembangan, sesuai dengan pengalaman yang dilaluinya dari tahap pencarian sampai ke tahap kematangan. Ketiga tahap itu adalah :
Tahap pertama (dari tahun 1901 sampai kira-kira tahun 1908). Muhammad Iqbal cenderung sebagai mistisikus-panteistik. Hal itu terlihat pada kekagumannya pada konsepsi mistik yang berkembang di wilayah Persia, lewat tokoh tasawuf falsafi, seperti Ibn Arabi. dan pada tahap ini ia meyakini Tuhan sebagai keindahan Abadi, Keberadaan-Nya tanpa tergantung pada sesuatu dan mendahului segala sesuatu, bahkan menampakkan diri dalam semuanya itu. Dia menyatakan dirinya di langit dan di bumi, di matahari dan di bulan, disemua tempat dan keadaan.
Tuhan sebagai keindahan Abadi adalah sumber, esensi, dan ideal segala sesuatu. Tuhan bersifat universal dan melingkupi segalanya seperti lautan, dan individu adalah seperti halnya setetes air atau seperti matahari dengan lilin. Pemikirannya yang demikian itu terpengaruh oleh Plotinus yang mengembangkan pemikiran Plato yang menganggap bahwa Tuhan sebagai Keindahan Abadi.
Tahap kedua (1908-1920). Pada tahap ini,, ia mulai meragukan tentang sifat kekal dari keindahan dan efisiensinya. Serta kausalitas akhirnya. Sebaliknya, tumbuh keyakinan akan keabadian cinta, hasrat, dan upaya atau gerak. Dan ia mulai tertarik kepada rumi (Romawi) yang dijadikan sebagai pembimbing rohaninya. dan Tuhan bukan lagi dianggap sebagai Keindahan Luar, tetapi sebagai Kemauan Abadi, sementara Keindahan hanyalah sebagai sifat Tuhan disamping ke-Esa-an Tuhan. Karena itu, Tuhan itu menjadi asas rohaniah tertinggi dari segala kehidupan.
Tahap ketiga (1920-1938). Jika pada tahap kedua dapat dianggap sebagai tahap pertumbuhan, maka pada masa ketiga ini dapat dianggap sebagai masa kedewasaan dan merupakan pengembangan menuju kematangan konsepsi tentang Ketuhanan. Tuhan adalah” hakikat sebagai suatu keseluruhan”, pada dasarnya bersifat spiritual, dalam arti suatu individu dan suatu ego. Tegasnya, tuhan adalah ego mutlak, karena Dia meliputi segalanya, tidak ada sesuatu pun di luar Dia, merupakan sumber segala kehidupan dan sumber dari mana ego-ego bermula, yang menunjang adanya kehidupan itu. Untuk menjadi sempurna memerlukan suatu keadaan di mana tak ada bagian organisme yang terlepas dapat hidup secara terpisah. Dari bagian ini jelas bahwa individu yang sempurna merupakan unsur paling esensial dalam konsepsi al-Qur’an tentang Tuhan.

c.       Materi dan Kausalitas
Menurut Muhammad Iqbal, kodrat realitas yang sesungguhnya adalah rohaniah dan semua yang bersifat keduniawian sebenarnya adalah suci dalam akar-akar perwujudannya. Adapun materi adalah suatu kelompok ego-ego berderajat rendah, dan dari sana muncul ego yang berderajat lebih tinggi, apabila penggabungan dan interaksi mereka mencapai suatu derajat koordinasi tertentu. Ia juga selalu menekankan bahwa kodrat kehidupan ego selalu berproses, yang berarti juga selalu ada perkembangan ego, yang berjuang untuk meningkatkan dirinya kearah yang lebih kompleks dan lebih sempurna. Mengenai fungsi ego yang member arah itu, Ia mengabil dasar Al-Qur’an surat al-Isra’ ayat 85. Disini dibedakan dua cara kegiatan kreatif Tuhan pada kita, khalq dan amr. Khalq adalah penciptaan (creation) dan amr adalah pimpinan (direction).

d.      Moral
Filsafatnya adalah filsafat yang meletakkan kepercayaannya kepada manusia yang dilihatnya mempunyai kemungkinan yang tak terbatas, dan mempunyai kemampuan untuk mengubah dunia dan dirinya sendiri, serta mempunyai kemampuan untuk ikut memperindah dunia. Ada dua cara untuk memahami manusia, menurut Muhammad Iqbal. Pertama, cara intelektual, dan kedua cara vital. Cara intelektual memahami dunia sebagai suatu sistem tegar tentang sebab-akibat, cara vital menerima mutlak adanya keharusan yang tidak dapat dihindarkan dari kehidupan, yakni kehidupan di pandang sebagai suatu keseluruhan. Cara vital ini dinamakan “iman”. Iman bukanlah sekedar percaya secara pasif akan masalah tertentu, melainkan merupakan keyakinan yang hidup, yang didapatkan dari pengalaman yang jarang terjadi.

e.       Insan al-Kamil
Iqbal menafsirkan Insan al-Kamil atau manusia utama, setiap manusia potensial adalah suatu  gambaran sifat kemanusiaan yang kecil dari besarnya alam semesta ini. Dan bahwa insan yang telah sempurna kerohaniannya menjadi cermin dari sifat-sifat Tuhan, sehingga sebagai orang suci dia menjadi khalifah atau wakil Tuhan di muka bumi.
Muhammad Iqbal berpendapat, bahwa setiap manusia merupakan suatu pribadi atau suatu ego yang berdiri sendiri, tetapi belumlah dia menjadi pribadi yang utama. Dia yang dekat kepada Tuhan adalah yang utama, semakin dekat semakin utama. Sedangkan kian jauh jaraknya dari Tuhan, kian berkuranglah bobot kepribadiannya.
Adapun tentang kehidupan, menurut Muhammad Iqbal adalah proses yang terus maju ke depan dan esensinya ialah penciptaan terus-menerus dari gairah dan cita-cita. Penciptaan gairah baru dan cita-cita yang baru tentulah selamanya mewujudkan ketegangan-ketegangan yang konstan. Keadaan yang terus menerus ini mempunyai nilai yang paling tinggi bagi usaha manusia dan keadaan inilah yang menjuruskan manusia kepada kemerdekaan dan keabadian, ia tidak menyetujui adanya perbudakan dapat merusak watak manusia, merancuni sifat manusia dan  menjebloskan ke dalam derajat yang hina dan tidak bertenaga.
Ia juga berpendapat bahwa tujuan seluruh kehidupan adalah membentuk insan yang mulia dan setiap pribadi adalah haruslah berusaha mencapainya. Cita-cita untuk membentuk manusia utama ini, memberikan kepada kita ukuran baik atau buruk. Apa yang dapat memperkuat pribadi adalah baik sifatnya dan apa yang dapat melemahkan pribadi adalah buruk sifatnya.

Hal-hal yang dapat memperkuat pribadi menurut Muhammad Iqbal, ialah:
1.      ‘Isyq-o-muhabbat,yakni cinta kasih.
2.      Semangat atau keberanian, termasuk bekerja kreatif dan asli, artinya asli dari hasil kreasinya sendiri dan mandiri.
3.      Toleransi, rasa kelonggaran waktu untuk berupaya.
4.      Faqr, yang artinya sikap tidak mengharapkan imbalan dan ganjaran-ganjaran yang akan diberikan di dunia, sebab bercita-citakan yang lebih agung.
Hal-hal yang melemahkan pribadi adalah: takut, suka minta-minta (su’al), perbudakan dan sombong. Maka hidup yang baik ialah hidup yang penuh usaha perjuangan, bukan suatu cara hidup yang menarik diri dan memencilkan diri, bukan yang malas dan yang menganggap remeh kehidupan. Cinta atau isyq sebagai suatu daya aktif yang memungkinkan individu memiliki daya tarik penggerak yang kuat, manakala ia dihadapkan kepada maksud-maksud yang bermanfaat.
Adapun yang dianggap dapat melemahkan ego adalah: takut, sombong, dan suka meminta-minta(su’al). su’al merupakan tema Muhammad Iqbal yang menjadi antithesis dari Isqy, juga menjadi antithesis dari faqr. Karena, su’al menurut Iqbal adalah segala sesuatu yang diperoleh bukan dengan usaha sendiri. Yang harus dikembangkan pula sikap toleransi, yaitu kesadaran akan perlunya menghargai orang lain.
      










DAFTAR PUSTAKA

Khobir, Abdul. 2007. Filsafat Pendidikan Islam. Pekalongan: STAIN Press
Muhammad, Heri. 2006. Tokoh-tokoh Islam Abad 20. Jakarta: Gema Insani
A. Mustofa. 1997. Filsafat Islam.Cet. I. Bandung: CV. Pustaka Setia
Sholeh, A. Khudori. 2004. Wacana Baru Filsafat Islam. Cet. I. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
 Usmani, Ahmad Rofi’. 1998. Tokoh-tokoh Muslim Pengukir Zaman. Cet. I. Bandung: Pustaka


Minggu, 19 April 2015

STUDI TENTANG POTRET SISTEM PENDIDIKAN DI MALAYSIA



BAB I
PENDAHULUAN
Malaysia adalah negara tetangga terdekat Indonesia selain Brunai dan Singapura di wilayah Asia Tenggara, mayoritas penduduknya beragama Islam dengan bahasa melayu sebagai bahasa nasional. Pada zaman pertengahan, malaysia pernah menjadi bagian dari wilayah kerajaan Sriwijaya dan Majapahit, oleh karena adanya kemunduran di dalam pemerintahan Majapahit, maka wilayah ini lepas  dan muncul kerajaaan baru yaitu Kesultanan Malaka pada awal abad 16 Masehi. Dengan demikian secara historis Malaysia pada zaman dahulu pernah menjadi bagian dari wilayah Indonesia, maka tidak ayal kalau beberapa unsur kebudayaan termasuk bahasa nasional Malaysia masih ada beberapa kemiripannya dengan Indonesia.

Makalah Sejarah Dinasti Umayah



BAB I
PENDAHULUAN
Berakhirnya kekuasaan khalifah Ali bin Abi Thalib mengakibatkan lahirnya kekuasan yang berpola Dinasti atau kerajaan. Pola kepemimpinan sebelumnya (khalifah Ali) yang masih menerapkan pola keteladanan Nabi Muhammad, yaitu pemilihan khalifah dengan proses musyawarah akan terasa berbeda ketika memasuki pola kepemimpinan dinasti-dinasti yang berkembang sesudahnya.

Kamis, 16 April 2015

MAKALAH USHUL FIQH NASKH, TARJIH SERTA PENGERTIAN DAN PEMBAGIAN HUKUM SYARA’

A.   Naskh
1.      Pengertian Naskh
Kata Naskh menurut lughot bisa diartikan:  النَّقْلُ(memindah atau menyalin), bisa juga diartikan: اْلاِزَالَةُ (menghilangkan). Sedangkan menurut istilah ushuliyin adalah: “Khitob yang menunjukan terhapusnya hukum yang ditetapkan oleh khitob terdahulu, dengan gambaran seandainya tidak ada khitob kedua niscaya hukum tersebut akan tetap berlaku sebagaimana semula, dan diisyaratkan khitob kedua lebih akhir daripada khitob pertama”.[1]
Kata An-Nasikh berasal dari kata kerja “nasakh(نَسَخَ) artinya, menghapus, dalam ilmu Nahwu kedudukannya adalah sebagai isim fa’il (pelaku), yang menghapus, yang menghilangkan, yang mencatat atau berubah. Sedangkan Al-Mansukh (اَلْمَنْسُوْخُ) dalam ilmu Nahwu kedudukanya adalah sebagai isim maf’ul (penderita atau tujuan), artinya adalah yang dihapus, yang dihilangkan, yang dicatat atau yang dirubah.
Maksudnya adalah bila ada satu ketentuan, peraturan, atau peraturan yang menghapus ketentuan yang terdahulu itu disebut “mansukh (اَلْمَنْسُوْخُ) artinya yang dihapus. Sedang yang datang kemudian, disebut “Al-Nasikh(اَلْناَسِخُ) artinya yang menghapus, peristiwa penghapusan disebut Nasakh atau  “Al-Naskhu (اَلْنَسْخُ) menurut istilah ushul fiqih adalah :
رَفْعُ حُكْمِ شَرْعِيٍّ بِدَلِيْلٍ شَرْعِيٍّ مُتَاَخِرٍ
“Mengangkat suatu hukum syara’ dengan dalil syara’ yang datang kemudian”
Maksudnya adalah, dengan datangnya hukum syara’ yang demikian itu, maka terangkatlah atau batalah atau tidak berlaku hukum syara’ yang terdahulu. Jadi berdasarkan ta’rif tersebut di atas, maka baik yang menghapus ataupun yang dihapus adalah hukum syara’. Dengan demikian berarti tidak termasuk hukum akal, hukum perasaan dan yang lainnya.[2]
Dari definisi tersebut, para ahli ushul fiqih mengemukakan bahwa naskh itu baru dianggap benar apabila :
a.       Pembatalan itu dilakukan melalui tuntunan syara’ yang mengandung hokum dari syara’ (Allah dan Rasul-Nya). Yang membatalkan ini disebut nasikh.
b.      Yang dibatalkan itu adalah hukum syara’, yang disebut mansukh.
c.       Hukum yang membatalakan hukum tedahulu, dan datangnya setelah hukum yang pertama. [3]
2.      Adanya Naskh
Adanya naskh dapat dibagi pada dua jenis, pertama, adanya naskh menurut akal, dan kedua adanya naskh menurut naqal atau riwayat.
a.       Adanya Nasakh menurut akal telah disepakati oleh Ulama. Dengan alasan bahwa, kepentingan manusia tidaklah selalu sama terus-menerus, mungkin satu kepentingan hanya bermanfaat pada satu masa, sedang pada masa sesudahnya membawa bahaya.
b.      Adanya Nasakh menurut riwayat adalah sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat Bukhari dan Muslim yang artinya sebagai berikut :
“Sesungguhnya Nabi SAW., berdiri menghadap ke Baitul Makdis dalam shalat selama 16 bulan, kemudian di-nasakh (dihapuskan) yang demikian dengan satu perintah untuk menghadap ke Ka’bah”. (HR. Bukhari dan Muslim).[4]
3.      Rukun Naskh
Dari uraian diatas, dapat diketahui bahwa rukun naskh ada empat, yaitu :
a.       Adah al-naskh (اداة النسخ)
b.      Nasikh (الناسخ)
c.       Mansukh (المنسوخ
d.      Mansukh ‘anhu (المنسوخ عنه)[5]

4.      Syarat-syarat Nasakh
Mengenai hukum yang boleh dimansukh atau dihapus, para Ulama memberikan beberapa syarat sebagai berikut : 
a.       Hendaklah yang dimansukh itu adalah hukum syara.
Maksudnya yang dimansukh itu tidak boleh keluar dari hukum syara’, atau dengan kata lain tidak boleh mengenai hukum yang lainnya seperti :
v  “Sesuatu yang diwajibkan karena zatnya” seperti iman atau yang dilarang karena zatnya seperti kufur.
v  Hukum akal, seperti alam itu baru.
v  Hukum perasaan, seperti api itu panas.
v  Cerita-cerita zaman dahulu seperti cerita-cerita Nabi dalam Al-Qur’an.
v  Tentang kejadian-kejadian yang akan datang, seperti berita tentang adanya hari kiamat.
b.      Hendaklah yang mennasakh adalah hukum syara’.
c.       Hendaklah yang dinasakh tidak terbatas atau dibatasi dengan waktu yang tertentu.
d.      Hendaklah yang menasakh terpisah dari yang dinasakh,(yang menasakh) lebih belakangan yang dinasakh.
e.       Hendaklah yang menasakh lebih kuat  dari yang dinasakh.
5.      Macam-macam Naskh
a.       Al-Kitab dinasakh oleh Al-Kitab
b.      Al-Kitab dinasakh dengan As-Sunnah
c.       As-Sunnah dinasakh oleh As-Sunnah
d.      As-Sunnah dinasakh oleh Al-Kitab[6]



6.      Pendapat para ulama tentang Naskh
Jumhur ulama berpendapat bahwa naskh menurut logika boleh saja dan secara syara’ telah terjadi. alasan mereka adalah firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 106 :
 $tB ô|¡YtR ô`ÏB >ptƒ#uä ÷rr& $ygÅ¡YçR ÏNù'tR 9Žösƒ¿2 !$pk÷]ÏiB ÷rr& !$ygÎ=÷WÏB 3 öNs9r& öNn=÷ès? ¨br& ©!$# 4n?tã Èe@ä. &äóÓx« 퍃Ïs% ÇÊÉÏÈ
“ayat mana saja yang Kami naskhkan atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya, tidaklah kamu mengetahui sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”.
Selanjutnya dengan kesepakatan para ulama dalam menyatakan bahwa syariat sebelum Islam telah dinaskhkan oleh syariat Islam, sebagaimana naskh itu sendiri telah terjadi dalam beberapa hukum islam. Misalnya pemalingan kiblat shalat dari arah baitul makdis ke Masjidil Haram, pergantian hukum khamr dengan bertahap dan lain sebagainya.
      Muhammad Abduh (mufasir dan tokoh pembaharu dari Mesir), setelah menganalisis ayat-ayat yang mengandung naskh yang dikemukakan jumhur ulama diatas, berpendapat bahwa naskh lebih tepat diartikan sebagai penggantian, pengalihan (pemindahan) ayat hukum yang ditempat ayat hukum lainnya. Dengan demikian, M. Quraish Shihab, mufasir Indonesia, pengertian ini akan membawa kesimpulan bahwa semua ayat-ayat al-Qur’an tetap berlaku, tidak ada yang kontradiktif, hanya saja terjadi pergantian hukum bagi masyarakat (orang tertentu), karena adanya kondisi yang berbeda. Namun ayat hukum yang tidak berlaku lagi bagi masyarakat tersebut tetap berlaku bagi masyarakat (orang lain) yang kondisinya sama dengan kondisi ketika hukum ayat yang diganti itu berlaku.

7.      Hikmah Naskh
Telah disepakati oleh ulama ushul fiqih, bahwa disyariatkan berbagai hukum kepada manusia bertujuan untuk memelihara kemaslahatan manusia, baik di dunia maupun di akhirat, selain tuntunan dari allah agar hambanya mematuhi segala perintahnya dan menjauhi segala larangannya.
      Dalam kaitan ini, syar’i(allah SWT.) senantiasa memperhatikan dan mempertimbangkan kondisi yang ada di masyarakat, sehingga kemaslahatan yang diinginkan syar’i itu bisa tercipta dan terjamin. Kemungkinan saja, syar’i mensyariatkan satu hukum pada suatu ayat, namun setelah ada perubahan situasi, kondisi dan lingkungan, hukum itu tidak sejalan lagi dengan kemaslahatan yang dikehendaki syar’i.
Menurut Wahbah al-Zuhaili, sesuai dengan kehendak syar’i dan tujuan yang ingin dicapai, maka syar’i mengubah hukum tersebut atau menggantinya denagn hukum lain. Akan tetapi, lanjutnya, perubahan situasi yang ada di umat tersebut bukan berarti tidak diketahui syar’i, bahkan Dia sendirilah yang membuat perubahan itu. Hal ini menunjukan bahwa syari’at Islam itu diturunkan kepada umat Islam secara berangsur-angsur dan mengikuti kondisi umat itu sendiri. Oleh karenanya, persoalan naskh hanya berlaku metika Rasulullah SAW., masih hidup. Setelah Beliau wafat tidak ada lagi naskh.
Dengan demikian, menurut Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi, adanya konsep naskh berkaitan erat dengan pemeliharaan kemasahatan umat dan fleksibilitas hukum Islam yang disyariatkan kepada umat Islam secara bertahap. [7]
A.    TARJIH
1.    Pengertian Tarjih
Tarjih secara etimologi berarti menguatkan. Konsep tarjih muncul ketika terjadinya pertentangan secara lahir antara satu satu dalil dengan dalil lainnya yang sederajat dan tidak bisa diselesaikan dengan cara al –jam’u wat taufiq. Dalil yang dikuatkan disebut rajih, sedangkan dalil yang dilemahkan disebut dengan marjuh.
Tarjih adalah menguatkan salah satu diantara dua dalil yang bertentangan tersebut berdasarkan beberapa  indikasi yang dapat mendukungnya. Secara terminologi, ada dua defenisi tarjih yang dikemukakan para ushul fiqih, yaitu: yang pertama Menurut Hanafiyah: Menampakan kelebihan bagi salah satu dari dua dalil yang serupa atas yang lain dengan sesutau yang tidak berdiri sendiri. Yang kedua menurut Jumhur Ulama: Menguatkan salah satu indikator dalil yang zhanni  atas yang lainnya untuk diamalkan (diterapkan).
Menurut mereka, dalil yang bertentangan itu harus dalam kualitas yang sama, seperti peretentangan ayat dengan ayat. Kemudian dalil tambhan pendukung salah satu dalil yang bertentangan itutentangan, kar tidak berdiri sendiri. Artinya, dalil pendukung itu tidak terpisah dari dalil yang saling bertentangan, karena apabila ada dalil yang berdiri sendiri berarti dalil itu dapat dipakai untuk menetapkan hukum, bukan dalil yang saling bertentangan tersebut.
Dari pengertian di atas maka unsur-unsur yang ada dalam tarjih adalah :
a.    Adanya dua dalil
b.   Adanya sesuatu yang menjadikan salah satu itu lebih utama dari yang lain.[8]
2.      Syarat-syarat Tarjih
a.    Yang menjadi soal itu satu masalah, tidak boleh berlainan. Misalnya soal haji tersebut di atas, maka semua riwayatnta urusan haji.
b.   Dalil-dalill yang berlawanan harus sam akekuatannya, seperti Qur’an,Qur’an dengan hadits mutawatir, dan hadits mutawatir dengan hadits mutawatir pula. Jika yang bertentangan itu antara hadits mutawatir dan hadits ahad, maka tidak perlu ada tarjih,sebab yang didahulukan ialah hadits mutawatir, dan itulsh yang dipakai.
c.    Harus ada persesuaian hukum antara  keduanya, baik waktunya, tempatnya dan keadaanya. Misalnya larangan jual beli sesudah ada adzan Jum’at, diwaktu yang lain jual-beli dibolehkan. Disini tidak ada pertentangan karena berbeda waktunya.[9]
3.      Metode Tarjih
Para ulama’ ushul fiqh menegemukakan cukup banyak cara pentarjihan yang bisa dilakukan, apabila anatara dua dalil, secra zhahir, terdapat pertentangan dan tidak mungkin dilakukan al-jam’u wa al-taufiq atau naskh.
Cara pentarjihan tersebut yaitu ada dua pengelompokan besar, yaitu:
a.    Tarjih bain al-Nushush الترجح بين النصوص
Untuk mengetahui kuatnya salah satu nash yang saling bertentangan. Ada beberapa cara yang dikemuikakan para ulama’ ushul fiqh:
1)      Dari segi Sanad
Menurut Imam al-Syaukani, pentarjih dapat dilakukan dengan 42 cara, yang diantaranya di kelompokan kepada:
·         Menguatkan salah satu nash dari segi sanad-nya.
Untuk itu, bisa dilakukan dari segi kuantitas para perawi, yaitu menguatkan hadits yang sanadnya sedikit, karena kemungkinan terjadinya kesalahan dalam suatu riwayat yang diriwayatkan oleh banyak perawinya snagt kecil. Pendapat inidikemukakan oleh Jumhur Ulama’.
·         Pentarjihan dengan melihat riwayat itu sendiri
Yaitu hadits mutawatir dikuatkan dari hadis masyhur (hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah orang banyak, tetapi tidak sampai ke tingkat mutawatir) dan hadits masyhur lebih didahulukan dari hadis ahad. Yaitu bisa juga dilakukan dengan cara melihat oersambungan sanadnya brrsambung ke Rasulullah saw dari hadis yang sanadnya terputus.
·         Pentarjihan melalui cara menerima hadis itu dari Rasulullah
Yaitu menguatkan hadis yang langsung didengar oleh Rasulullah dari pada hadis yang didengar melalui perantara orang lainatau tulisan. Dikuatkannya juga riwayat yang lafal langsung dari Rasulullah ynag menunjukan kata kerj, seperti lafal naha, amara, dan adzina.
2)      Dari segi Matan (Teks)
Matan yang dimaksudkan di sini adalah teks ayat,hadis atau ijma’. Al Amidi menegemukakannya menjadi 51 cara, diantaranya:
·         Teks yang mengandung larangan lebih didahulukan dari teks yang mengandung oerintah, karena menolak segala kemundaratan lebih didahulukan dari mengambil manfaat.
·         Teks yang mengandung perintah didahulukan dari teks yang menunjukan kebolehan saja, karena dengan melaksanakan perintah, hukumnya bolehnya telah terbawasekaligus.
·         Makna hakikat dari suatru lafal lebih didahulukan dari makna majaznua, karena makna hakikat tersebut tidak memerlukan indikasi yang lain untuk menguatkannya.
·         Dalil khusus lebih didahulukan dari dalikl yang umum
·         Teks yang yang sharih (jelas) didahulukan dari teks yang bersifat sindiran (kinayah).
3)      Segi Hukum atau Kandungan Teks
Dari segi hukum atau kandungan teks, al-Amidi mengemukakan sebelas cra pentarjihan, sedangkan as-Syaukani menyederhanaknnya menjadi sembilan; diantaranya:
·         Apabila salah satu hukum teks itu mengandung bahaya, sedagkan teks lain menyatakan kebolehan saja, menurut jumhur yang mengandung bahaya itulah yang harus di dahulukan.
·         Apabila hukum yang dikandung suatu teks bersifat menetapkan, sedangkan yang lain bersifat meniadakan, maka dalam seperti ini terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama’. Menurut Syafi’iyah teks yang bersifat meniadakan lebih didahulukan dari teks yang bersifat menetapkan. Sedangkan menurut jumhur teks yang sifatnya menetapkan lebih di dahulukan.
·         Apabila teks yang bertentangan itu salah satunya mengandung hukum menghindarkan terpidana dari hukum, sedangkan teks yang lain mengandung hukum mewajibkan pelaksanaan hukuman terhadap terpidana tersebut, maka teks yang mengandung hukum menghindarkan itu lebih didahulukan, karena dengan adanya dua kemungkinan ini hukuman tidak dapat dilaksanakan, sesuai dengan sabda Rosulullah SAW:
إدرؤوا الحدود بالشبهاة
Tolaklah hukuman dalam jarimah hudud apabila terdapat keraguan”. (HR al-Baihaqi)
4)   Pentarjihan dengan Menggunakan Faktor (dalil) lain di luar Nash
Al-Amidi mengemukakan lima belas cara pentarjiahn dengan menggunakan faktor di luar nash dan Imam Syaukani meringkasnya menjadi sepuluh cara, diantaranya:
·      Mendahulukan salah satu dalil yang mendapatkan dukungan dari dalil lain, baik itu al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, Qiyas, maupun logika.
·      Mendahulukan salah satu dalil yang sesuai dengan amalan penduduk Madinah atau yang diamalkan al-Khulafa al-Rasyidun hal ini dikarenakan penduduk Madinah lebih banyak mengetahui persoalan Turunnya al-Qur’an dan penafsiran ayat-ayat al-Qur’annya.
·      Dikuatkan nash yang menyebutkan illat hukumnya dari nash yang todak menyebutkan illatnya.
·      Menguatkan dalil yang kandungannya menurut sikap waspada (Ihkstiyat) daripada dalil lainnya yang tidak demikian.
·      Mendahulukan nash yang dibarengi dengan perkataan atau perbuatan dari perawinya dari nash yang tidak demikian halnya.
b.      Tarjih bain al-Aqyisah الترجح بين الأقيسة
Imam al-Syaukani mengemukakan tujuh belas macam pentarjihan dalam persoalan qiyas yang saling bertentangan, namun Wahbah Zuhaily meringkasnya menjadi dua belas, diantarnya:
1)   Dari segi hukum asal, yaitu dengan menguatkan qiyas yang hukum asalnya qath’i dari qiyas yang hukum asalnya bersifat zhanni, karena yang qath’i lebih kuat dari pada yang zhanni. Lalu yang selanjutnya menguatkan landasan dalilnya adalah ijma’ dari qiyas yang landasan dalilnya nash, karena nash bisa di takhsis, di ta’wil dan di nasakh. Sedanglan ijma’ tidak bisa di khususkan, dita’wilkan dan dibatasi.
2)   Dari segi hukum  furu’ (cabang), yaitu dengan menguatkan hukum furu’ yang kemudian dari asalnya (qiyas) yang hukum furu’nya lebih dahulu dari hukum asalnya, kemudian juga dikuatkan hukum furu’ yang illat nya diketahui secara qath’i dari hukum furu’ yang illat nya bersifat zhanni.
3)   Dari segi illat, yaitu salah satunya dengan menguatkan illat yang disebutkan dalam nash atau illat yang disepakati dari illat yang tidak disebutkan dalam nash atau tidak disepakati keberadaannya sebagai illat, dan lain-lain.
4)   Pentarjihan qiyas melalui faktor luar, yaitu dengan menguatkan qiyas yang didukung oleh sejumlah illat dari qiyas yang hanya didukung satu illat. Lalu yang selanjutnya harus dikuatkan qiyas yang didukung oleh fatwa sahabat.[10]




B.     Hukum Taklifi
1.      Pengertian
Adalah sebuah hukum yang mengandung tuntutan (suruhan atau larangan) yakni: hukum yang dibebabnkan oleh oleh syara’ untuk dikerjakan atau untuk ditinggalkan.[11]
2.      Pembagian hukum taklifi
a.       Wajib   dalam pandangan jumhur ’ulama‘ wajib murodif (sinonim) dengan Fardhu yaitu tuntutan syara’ yang bersifat untuk melaksanakan sesuatu dan tidak boleh ditinggalkan, orang yang meninggalkan akan terkena sanksi.
b.      Sunnah atau mandub adalah sesuatu yang terpuji orang yang melakukannya, dan tidak tercela orang yang meninggakannya.
c.       Haram atau mahdhur adalah sesuatu yang tercela orang yang melakukannya, dan terpuji orang yang meninggalkannya.
d.      Makruh adalah tuntutan untuk melakukan sesuatu perbuatan, tetapi tuntutan itu diungkapkan melalui redaksi yang tidak bersifat memaksa.
e.       Mubah adalah sesuatu yang mengandung pilihan, mengandung pilihan antara berbuat dan tidak berbuat secara sama.[12]
 Pembagian hukum taklifi menurut ulama hanafiyyah
a.       Fardlu adalah tuntunan Allah terhadap mukallaf yang bersifat memaksa dengan berdasarkan dalil yang Qoth’i.
b.      Wajib adalah tuntutan kepada mukallaf untuk melakukan suatu perbuatan, tetapi melalui dalil yang bersifat dhonni.
c.       Mandub disini sama dengan nadb atau sunnah yang dikemukakan oleh jumhur ulama.
d.      Ibahah juga sama
e.       Karohah tanzihiyyah adalah tuntutan Allah kepada mukallaf untuk meninggalkan suatu pekerjaan, tetapi tuntutannya tidak bersifat memaksa.
f.       Karohah tahrimiyyah adalah tuntutan Allah kepada mukallaf untuk meninggalkan suatu perbuatan dengan cara memaksa, tetapi didasarkan kepada dalil yang dhonni.
g.      Tahrim adaah tuntutan kepada mukallaf untuk meninggalkan suatu pekerjaan dengan cara memaksa didasarkan pada dalil yang qoth’i.
3.      Pembagian bentuk-bentuk hukum taklifi
a.       Pembagian hukum wajib.
1.      Dilihat dari segi waktu, hukum wajib terdiri atas dua bagian, yaitu wajib muthlaq dan wajib muaqqot. Wajib muthlaq adalah sesuatu yang dituntut syar’i utuk ditentukan waktunya, dan tidak tercela jika diakhirkan ke waktu lain meskipun mampu melakukan secara segera. Wajib muaqqot adalah kewajiban yang harus dilaksanakan orang mukallaf pada waktu-waktu tertentu, seperti sholat dan puasa romadlon.
2.      Dilihat dari segi ukuran yang duwajibkan, hukum wajib dibagi menjadi dua macam, yaitu wajib muhaddad dan wajib ghoiru muhaddad. Wajib muhaddad adalah suatu kewajiban yang  ditentukan ukurannya oleh syara’ dengan ukuran tertentu. Seperti jumlah roka’at dalam sholat. Wajib ghoiru muhaddad adalah kewajiban yang tidak ditentukan oleh syara’ ukuran dan jumlahnya, tetapi diserahkan kepada para ulama’ dan pemimpin ummat untuk menentukannya. Sebagia contoh adalah adanya penentuan hukuman tindak pidana yang diserahkan kepada para hakim.
3.      Dilihat dari yang dibebani kewajiban, hukum wajib dibagi menjadi wajib ’aini dan wajib kifa’i. Wajib ’aini adalah kewajiban yang ditujukan kepada setiap pribadi orang mukallaf. Seperti kewajiban sholat atas mukallaf. Wajib kifa’i kewajiban yang ditujukan kepada seluruh orang mukallaf, tetapi bila telah dikerjakan oleh sebagaian dari mereka, maka kewajiban itu telah terpenuhi dan orang yang tidak mengejakannya tidak dituntut untuk melaksanakannya. Seperti dalam pelaksanaan sholat jenazah.
4.      Dilihat dari segi kandungan perintah, hukum wajib terbagi atasa wajib mu’ayyan dan wajib mukhayyar. Wajib mu’ayyan adalah kewajiban yang terkait dengan sesuatu yang diperintahkan, seperti membayar hutang, memenuhi janji. Wajib mukhayyar adalah suatu kewajiban tertentu yang  bisa dipilih oleh orang mukallaf. Seperti dalam pilihan kifarat yang telah difirmankan oleh Allah dalam surat al-Maidah. Yang mengemukakan bahwa kifarat sumpah itu terdiri atas –memberi makan sepuluh orang fakir miskin, -atau memberi pakaian kepada mereka, -atau memerdekakan budak.
b.      Pembagian hukum mandub
Hukum mandub terdiri atas beberapa macam
1.      Sunnah muakkadah, pekerjaan yang apabila dikerjakan mendapat pahal dan apabila tidak dikerjakan tidak mendapat dosa, tetapi yang meninggalkannya mendapat celaan. Misalnya adzan, sholat rowatib, sholat dengan berjamaah.
2.      Sunnah ghoiru muakkadah, perbuatan yang apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan tidak mendapat dosa serta tidak mendapat celaan. Seperti halnya dalam kita melakukan shodaqoh.
3.      Sunnah zaidah adalah suatu pekerjaan untuk mengikuti apa yang dilakukan oleh Rosulullah, sehingga apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila tidak dikerjakan tidak mendapat dosa serta tidak mendapat cela. Pekerjaan-pekerjaan ini merupakan sikap dan tindak-tanduk Rosullullah sebagai manusia biasa, seperti cara tidur, cara berpakaian, cara makan.
c.       Pembagian hukum haram
Haram dapat dibagi atas dua macam, haram li dzatihi dan haram li ghoirihi.
1.      Haram li dzatihi adalah suatu keharaman langsung sejak semula ditentukan oleh syar’i. Misalnya berzina, memakan harta anak yatim.
2.      Haram li ghoirihi adalah suatu yang pada mulanya adalah di syari’atkan, tetapi karena dibarengi sesuatu yang bersifat madhorot bagi manusia, maka diharamkan. Keharamannya adalah disebabkan adanya madhorot tersebut. Seperti sholat mamakai pakaian hasil ghoshob, berpuasa pada hari raya ’idul fithri.
d.      Makruh
Menurut ’ulama‘ Hanafiyyah membagi hukum makruh kedalam dua macam yaitu makruh tanzih dan makruh tahrim.
1.      Makruh tanzih adalah sesuatu yang dituntut syar’i untuk ditinggalkan, tetapi dengan tuntutan yang dhonni.
2.      Makruh tahrim adalah tuntutan syar’i untuk meninggalkan suatu perbuatan , dan tuntutan itu bersifat qoth’i, akan tetapi didasarkan pada dalil yang dhonni. Seperti larangan mengenakan sutera, emas dan perak bagi laki-laki.
e.       Mubah
Hukum mubah terbagi atas beberapa macam
1.      Mubah yang apabila dilakukan tidak menimbulkan madhorot. Seperti makan, minum.
2.      Mubah yang apabila dilakukan mukallaf tidak ada madhorotnya, sedangkan perbuatan tu sendiri pada dasarnya diharamkan. Seperti melakukan sesuatu dalam keadaan terpaksa.
3.      Sesuatu yang pada dasarnya bersifat madhorot dan tidak boleh dilakukan menurut syara’, tetapi Allah memaafkan pelakunya, sehingga perbuatan itu menjadi mubah.

Pembagian mubah dari segi statusnya yang bersifat khusus dan umum
1.      Mubah bi al-Juz’i mathlub al-fi’li bi al-kulli seperti makan dan menikah. Tidak boleh meninggalkan keduanya secara keseluruhan.
2.      Mubah bi al-juz’i mathlub al-tarki bi al-kulli. Artinya hukum mubah secara juz’i berubah menjadi harus ditinggalkan keseluruhannya. Misalnya bermain dan mendengarkan musik.
3.      Mubah bi al-juz’i mathlub bi al-kulli ‘ala jihat al-mandub. Artinya hukum secara juz’i berubah menjadi mandub jika dilihat secara kulli. Seperti makan dan minum yang berlebihan.
4.      Mubah bi al-juz’i makruh bi al-kulli. Artinya mubah bisa menjadi makruh bila dilihat dari akibat perbuatan itu secara kulli. Seperti menyanyi hingga meninggalkan yang lebih manfaat atau menurunkan nilai kesopanan.[13]
C.    Hukum Wadh’i
1.      Pengertian
Menurut Khudhori Bek dan al-Syaukani, Hukum Wadh’i adalah Firman Allah yang menuntut untuk menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang dari sesuatu yang lain.
Pembagian hukum wadh’i meliputi sebab, syarat, mani (penghalang)  serta batal.


a.       Sebab
Secara bahasa, sebab adalah sesuatu yang dapat menyampaikan  suatu tujuan. Secara istilah sebab adalah suatu sifat yang dijadikan syari’(pembuat hukum) sebagai tanda adanya hukum.[14]
Kadang-kadang sebab itu adalah sebab bagi hukum taklifi. Seperti waktu oleh syari’ dijadikan sebab bagi wajibnya mengerjakan sholat. Kadang-kadang sebab itu merupakan sebab untuk menetapkan hak milik, atau menghalalkan atau menghilangkan keduanya. Seperti jual beli untuk menetapkan hak milik, akad nikah untuk menghalalkan. Kadang-kadang bagi mukallaf sebab perbuatan itu maqdur (diadakan penilaian) seperti pembunuhan yang direncanakan itu adalah sebab untuk mewajibkan qisas.
Kadang-kadang ada hal yang tudak ada ukuranya bagi mukallaf karena bukan pada perbuatannya. Seperti belum cukup umur untuk menetapkan perwalian bagi anak kecil.[15]
b.      Syarat
Menurut khudhari bek, syarat adalah sesuatu yang beradadi luar hukum syara’, tetapi keberadaan hukkum syara’ bergantung padanya.oleh karena itu suatu hukum taklifi tidak dapat diterapkan kecuali telah memenuhi syarat yang telah ditetapkan syara’. Terkaadang syarat itu diisyaratkan dengan hukum  yang dinamakan syarat syar’i, misalnya wudhu meruapan syarat sah sholat, shalat tidak dapat dilakukan tanpa wudhu.terkadang juga syarat itu diisyaratkan dengan kegiatan mukallaf seperti  memerdekakan budak bagi orang yang mampu.[16]
c.       Mani’ (penghalang)
Yang di maksud dengan Mani’ dalam ilmu Ushul Fiqh adalah sesuatu yang adanya memastikan tidak adanya hukum. Sebagai contoh, seorang perempuan yang sedang dalam haidh atau nifas dilarang melakukan sholat. Jadi mani’nya disini adalah haidh atau nifas, karena adanya haidh atau nifas itu, maka tidak ada kewajiaban sholat.
d.      Batal
Batal dalam pengertian syarat adalah kebalikan dari pengertian sah. Sah adalah sesuatu perbuatan yang sesuai ketentuan-ketentuan syara’, sedangkan batal adalah perbuatan yang menyalahi ketentuan-ketentuan syara’.
Sebagian ulama’ menganggap sama antara batal dengan fasad karena batal dan fasad itu adalah lafal murodif (sinonim). Abu Hanifah membedakan antara batal dan fasad. Batal menurut Imam Abu Hanifah adalah apabila sesutau yang dilarang itu termasuk bagian atau menyangkut asal dari perbuatan sendiri. Seperti melakuakan shalat tanpa ruku’ atau menjual binatang yang masih dalam kandungan induknya. Sedangkan fasad adalah bila  yang terlarang itu, menyangkut sifat yang terkandung dalam perbuatan tersebut. Dalam hal ini, bukan menyangkut asalnya seperti dilarangnya melakukan puasa dalam hari raya karena pada hari raya terkandung didalamnya sifat menerima tamu. Bila puasa pada hari itu berarti mengandung unsur menolak tamu.[17]






DAFTAR PUSTAKA
Ashshiddieqy Hasbi, 1997. Pengantar Hukum Islam. Semarang: Pustaka Rizki Putra
Rohayana, Ade Dedi. Tanpa Tahun. Ilmu Ushul Fiqih. Pekalongan: Stain Press.
Kallaf, Abdul Wahhab. 1994. Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: Rineka Cipta
Jumantoro, Totok Dan Samsul Munir 2005. Kamus Islam Ushul Fiqih. Jakarta: Amzah
Rifa’i, Muh.1995. Ushul Fiqih, Bandung: Al-Ma’arif
Djalil. A. Basiq, 2010. Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua. Jakarta: Prenada Media Group



[1] M. Ridlwan Qoyyum sai’id, Terjemah Tashil Ath-Thuruqot Ushul Fiqih, (Kediri: Mitra Gayatri). Hlm. 73  
[2] A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih satu dan dua (Jakarta: Prenada Media Group, 2010),  hlm. 123-124  
[3] Nasrun Haroen, Ushul Fiqih I Cet. II (Jakarta: PT. LOGOS Wacana Ilmu, 1997), hlm. 182
[4] A. Basiq Djalil, Ibid., hlm. 124
[5] Nasrun Haroen, Loc. It., hlm. 183
[6] A. Basiq Djalil, Loc. It., hlm. 128-130
[7] Nasrun Haroen, Loc. It., hlm. 183-184
[8] Totok jumantoro dan samsul munir. Kamus Islam Ushul Fiqih. (Jakarta: Amzah, 2005) hal 32
[9]Muh rifa’i. Ushul Fiqih (Bandung: Al-Ma’arif,1995) hal 132

[10]  Nasrun Haroen, Loc. It., hlm. 197-205
[11]muhammad hasbi ash shiddieqy, Pengantar Hukum Islam. (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997) hlm. 200
[12]Ade Dedi Rohayana Ilmu Ushul Fiqih. Pekalongan: (Stain Press, Tanpa Tahun) Hal 256-257
[13]Ibid.  Hal 255-268
[14] Ibid. Hal 269
[15] Abdul wahab khalaf. Ilmu Ushul Fiqh ( Jakarta: Rineka Cipta, 1994) hal 140-141
[16] Ade Dedi Rohayana, Op. Cit hal 270
[17] A. Basiq djalil, Loc. It., hlm. 46-47