Diberdayakan oleh Blogger.

pencarian

Total Tayangan

Post Populer

Blogger templates

Blogroll

Rabu, 27 Mei 2015

MAKALAH SCOPE, BALANCE DAN SEQUENCE DALAM KURIKULUM

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Pendidikan adalah proses dimana masyarakat melalui lembaga-lembaga pendidikan  (sekolah, perguruan tinggi, atau lembaga-lembaga lain), dengan sengaja mentransformasikan warisan budayanya, yaitu pengetahuan, nilai-nilai dan keterampilan-keterampilan, dari generasi ke generasi.Semakin berkembang peradaban manusia, semakin berkembang pula permasalahan yang dihadapi pendidikan, sehingga semakin menuntut kemajuan manusia dalam pemikiran-pemikiran yang sistematik tentang pendidikan.

Hal tersebut tentu saja menyebabkan pembentukan kurikulum yang ada dalam pembelajaran untuk peserta didik harus menyesuaikankepada  peserta didik dan kemajuan manusia dalam pemikiran-pemikiran yang sistematis.
Namun, apa yang ada di sekitar para pengajar masih banyak yang belum mengetahui atau memahami tentang pembentukan kurikulum yang sesuai dengan peserta didik mereka. Oleh karena itu makalah ini akan membahas tentang Scope, Balance dan Sequence dalam Pengembangan Kurikulum agar kita para pengajar mengerti kurikulum yang bagaimana yang akan kita berikan kepada peserta didik.








BAB II
PEMBAHASAN

A.    SCOPE (RUANG LINGKUP)
Scope yaitu ruang lingkup keseluruhan pengalaman belajar yang akan diberikan kepada siswa yang sudah berbentuk bidang studi, misal bidang studi IPA untuk SMP (biologi) yang diperinci menjadi pokok bahasan dan sub pokok bahasan yang mengandung ruang lingkup bahannya sendiri. Untuk mendapat bahan yang lebih jelas dapat diperoleh dari buku, buku paket atau sumber pokok dari pelajaran[1]
Scope merupakan pemilihan pengalaman belajar yang bersifat melintang atau meluas (latitudinal axis) dan memikirkan “what” dari kurikulum, yang menurut curriculum planning tepat untuk merealisasikan tujuan pendidikan. Sedangkan sequence mempersoalkan “when” di dalam perencanaan kurikulum.
William B. Ragan mendiskripsikan secara umum bahwa scope ditentukan kegiatan-kegiatan dasar yang dikerjakan orang, nilai-nilai dalam masyarakat, dan masalah-masalah utama yang nampak.[2]
2.      Menentukan Scope dalam Kurikulum
Dalam menentukan Scope, yaitu apa yang harus diajarkan merupakan masalah yang semakin sulit seiring berjalannya waktu. Beberapa penyebabnya antara lain :
Ø  Bahan pelajaran cepat bertambah luas karena eksplosi ilmu pengetahuan. Spesialisasi dalam pendidikan semakin meluas dan tiap spesialisasi memerlukan bahan pelajaran tambahan. Selain itu, waktu belajar terbatas demikian pula kemampuan anak untuk menguasai bahan pelajaran
Ø  Belum ada kriteria yang pasti tentang bahan apa yang perlu diajarkan. Juga belum ada cara tentang mengorganisasi kurikulum yang dapat diterima oleh semua
Ø  Matapelajaran yang tradisional tidak lagi memadai. Timbul pula tujuan baru seperti berpikir kritis dan kreatif, memahami lingkungan social dan memahami dunia internasional.
Mata pelajaran baru ditambahkan sedangkan matapelajaran lama masih disampaikan sehingga beban belajar anak bertambah berat dan membuat pengetahuan anak tersebut dangkal tentang aneka ragam bidang.[3]
Ada sejumlah kriteria yang digunakan untuk memilih bahan pelajaran, namun setiap kriteria ini mempunyai kelemahan. Kriteria tersebut antara lain :
1.      Bahan pelajaran harus dipilih berdasarkan tujuan yang hendak dicapai.
2.      Bahan pelajaran dipilih karena dianggap berharga sebagai warisan generasi lampau.
3.      Bahan pelajaran dipilih karena berguna untuk menguasai suatu disiplin.
4.   Bahan pelajaran yang dipilih karena dianggap berharga bagi manusia dalam hidupnya.
5.   Bahan pelajaran dipilih karena sesuai dengan kebutuhan dan minat anak.
Dalam memilih bahan pelajaran perlu kita perhatikan pendapat Hilda Taba yakni bahwa untuk mencapai suatu tujuan pendidikan kita tidak cukup hanya memperhatikan isi atau bahan pelajaran akan tetapi juga proses pelajaran atau pengalaman belajar. Ia berpendirian bahwa bahan pelajaran tidak boleh dipisahkan dari pengalaman belajar. Karena itu lebih baik pelajaran dipusatkan pada sejumlah pokok yang terbatas yang dapat mengembangkan keterampilan mental daripada berusaha meliputi sejumlah bahan yang aluas yang hanya dihafal secara mendangkal tetapi tidak mengembangkan kesanggupan mental itu.
Dalam penentuan bahan pelajaran para penyusun kurikulum dipengaruhi oleh aliran yang dianutnya. Mereka yang mengutamakan subject curriculum akan mementingkan bahan yang terkandung dalam disiplin. Penganut aliran “progresif” akan menetukan bahan pelajaran terutama berdasarkan minat anak atau pemuda. Mereka yang mengutamakan fungsi sosial sekolah mengambl aspek-aspek kehidupan sosial sebagai dasar untuk menentukan bahan pelajaran.Dalam pembinaan kurikulumhendaknya kita perhatikan semua faktor yang turut mempengaruhinya, yaitu faktor anak, masyarakat, maupun disiplin ilmu pengetahuan.
Cara yang dipilih banyak bergantung pada nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh mereka yang menentukan kurikulum.Serasi tidaknya bahan pelajaran bergantung pada tujuan yang ingin dicapai. Berikut ini beberapa prosedur yang diikuti dalam penentuan bahan pelajaran :
a.       Prosedur menerima otoritas para ahli
Lebih dahulu dirumuskan tujuan pendidikan agar dapat ditentukan bahan pelajaran yang kiranya paling serasi untuk mencapainya. Tujuan pendidikan dapat diselidiki berdasarkan undang-undang dan dokumen-dokumen resmi, dapat juga berdasarkan studi tentang sosiologi, politik, sejarah, dan sebagainya.Kemudian diadakan diskusi untuk merumuskan dengan jelas tujuan-tujuan pendidikan itu.
b.      Prosedur eksperimental
Bahan pelajaran dapat ditentukan secara eksperimental dengan mengadakan penelitian hingga manakah bahan itu memang serasi untuk mencapai sasarannya.Biasanya metode ini digunakan untuk menyelidiki keserasian bahan yang khusus untuk tujuan yang spesifik agar dapat dikuasai faktor-faktor yang mempengaruhi dan keilmiahannya dapat dipertahankan.
c.       Prosedur ilmiah atau analitis
Bahan pelajaran dapat ditentukan dengan menganalisis situasi-situasi di mana bahan pelajaran itu diperlukan. Dapat dianalisis kegiatan manusia dewasa dalam kehidupannya sehari-hari, dapat pula dianalisis berbagai jabatan, misalnya jabatan jururawat, guru penerbang dan sebagainya. Dengan mengetahui kegiatan, ketrampilan, sikap, pengetahuan dan kompetensi-kompetensi yang diperlukan untuk melakukan pekerjaan itu dengan baik, dapat pula ditentukan bahan pelajaran yang serasi untuk itu.
d.      Prosedur konsensus
Memperoleh konsensus dengan meminta pendapat orang-orang yang dianggap berwewenang, antara lain ahli-ahli dalam bidang studi tertentu, tokoh-tokoh masyarakat, perusahaan dan sebagainya.
e.       Prosedur-prosedur lainnya
Ø  Prosedur fungsi-fungsi sosial
Kurikilum ini mengutamakan aspek sosial dan tidak begitu menonjolkan soal kebutuhan dan minat pelajar, sekalipun tidak mengabaikannya.
Ø  Prosedure “persistent life situations
Prosedur ini memperhatikan kebutuhan, masalah dan minat anak dan pemuda menurut taraf perkembangan dalam dunia yang kompleks dan dinamis ini. Persistent yakni senantiasa pada hakikatnya sama, dulu, sekarang maupun di masa mendatang di mana saja di dunia ini, akan tetapi situasinya berbeda-beda dan berubah-ubah.
Ø  Prosedur kebutuhan atau masalah pemuda
Prosedur ini bertitik tolak dari kebutuhan pemuda atau masalah-masalah yang mereka hadapi.Prosedur ini diterapkan dalam “the Eight Year Study” yang mengadakan percobaan di 30 sekolah menengah di Amerika Serikat.[4]
Untuk menentukan scope tersebut, para pengembang kurikulum dihadapkan pada sejumlah permasalahan berikut:
a.       Pengorganisasian berbagai elemen dan hubungan antar elemen tersebut
bahwa unsur-unsur scope merupakan hal-hal pokok (actual point) yang harus dipelajari siswa di sekolah sehubungan dengan hal tersebut, maka Tyler menyarankan agar para pengembang kurikulum sebaiknya dapat mengorganisasikan hubungan antarelemen atau unsur scope tersebut, yang berupa konsep, ilmu pengetahuan, dan berbagai ketrampilan yang harus diberikan pada siswa. Dewasa ini, masalah yang dihadapi adalah tidak terbatasnya konsep, pengetahuan, dan ketrampilan tersebut.
b.      Pesatnya perkembangan IPTEK
Sebagai ujung tombak dari implementasi kurikulum, sudah sewajarnya guru terus mencermati keterbatasan materi pelajaran. Ini dikarenakan dewasa ini ilmu pengetahuan dan teknologi cenderung terus berkembang dan meningkat sedemikian pesatnya berkaitan dengan masalah ini.
c.       Penetapan prosedur tujuan
Caswel dan cambel (olivia, 1992) mengingatkan bahwa prosedur tujuan bukan hanya menyangkut pengalaman belajar, topik, maupun organisasi dan hubungan antar elemen, tetapi juga menyangkut lima tahapan berikut:
1.      Penetapan tujuan yang inklusif
2.      Tujuan umum tersebut harus dirumuskan lagi kedalam sejumlah pernyataan tujuan umum yang lebih “kecil”
3.      Sejumlah pernyataan tersebut diterjemahkan ke dalam tujuan intitusional
4.      Selanjutnya, tujuan institusional tersebut diuraikan ke dalam tujuan per mata pelajaran (bidang studi) dan
5.      Masing-masing tujuan per mata pelajaran atau bidang studi tersebut harus diuraikan ke dalam tujuan pembelajaran umum, yang selanjutnya dijabarkan lagi menjadi tujuan pembelajaran khusus pe pokok bahasan, dengan ketentuan bahwa pernyataaan tersebut dapat diukur.
6.      Pengambilan keputusan
masalah lain yang dihadapi dalam penentuan scope kurikulum adalah pengembilan keputusan tentang jadi atau tidaknya scope tersebut ditetapkan sebagai cakupan sebuah kurikulum. Dalam pengambilan keputusan (decision making) tersebut, olivia mengajukan sejumlah pertanyaan yanng harus dipertimbangkan, yaitu :
a.       Apa yang sebenarnya diperlukan agar siswa dapat sukses didalam masyarakat.
b.      Kebutuhan-kebutuhan apa yang diinginkan oleh daerah, bangsa, negara dan dunia
c.       Hal-hal esensial apa yang harus diajarkan.[5]
B.     BALANCE (KESEIMBANGAN)
Dalam sulitnya mendefinisikan kata balance atau keseimbangan, Oliva menunjukkan beberapa variabel yang harus dipertimbangkan, seperti :
1.      kurikulum yang berpusat pada siswa (child-centered curriculum) dan berpusat pada pelajaran (subject-centered curriculum)
2.      kebutuhan siswa dan kebutuhan masyarakat (needs as-sessments)
3.      pendidikan umum dan pendidikan khusus
4.      luas dan dalamnya kurikulum
5.      tiga domain penting pendidikan (kognitif, afektif, dan psikomotorik)
6.      pendidikan individual dan pendidikan masyarakat
7.      inovasi dan tradisi
8.      logis dan psikologis
9.      kebutuhan yang diharapkan dan tidak diharapkan siswa
10.  kebutuhan akademis yang diharapkan
11.  metode, pengalaman, dan strategi
12.  cepatnya perubahan dan pergantian waktu atau masa
13.  dunia kerja dan permainan
14. sekolah dan masyarakat sebagai sumber daya dalam pendidikan
15. didsiplin kelembagaan
16. tujuan kelembagaan
17. disiplin ilmu
Dikarenakan begitu banyaknya variabel yang menyangkut keseimbangan dalam pengembangan kurikulum tersebut, maka sudah dapat dipastikan bahwa hal ini juga telah menjadi suatu masalah yang tidak dapat diabaikan begitu juga oleh para pengembang kurikulum. Sebaliknya, justru merupakan masalah yang harus mendapat perhatian yang cukup maksimal.[6]
C.     SEQUENCE (URUTAN)
Sequence berarti susunan atau urutan pengelompokan kegiatan atau langkah-langkah yang dilakukan dalam perencanaan kurikulum. Bila scope mengacu pada “apa”, maka sequence lebih mengacu pada “kapan” dan “di mana” pokok-pokok bahasan tersebut ditempatkan dan dilaksanakan. Berikut adalah langkah-langkah sequence, sebagai berikut :
1.      Mulai dari yang paling sederhana menuju yang kompleks,
2.      Menurut alur kronologis,
3.      Balikan dari alur kronologis,
4.      Mulai dari keadaan geografis yang dekat sampai ke yang jauh,
5.      Dari jauh menuju ke dekat,
6.      Dari konkret ke abstrak,
7.      Dari umum menuju khusus, dan
8.      Dari khusus menuju umum.
Donald E. Orlosky dan B. Othanel Smith (Olivia, 1992) mengemukakan bahwa terdapat tiga konsep sequence yaitu sequnce menurut kebutuhan, sequence menurut makro, dan sequence mikro. Dalam proses sequnce, para pengembang kurikulum harus memperhatikan tingkat kedewasaan, latar belakang pengalaman, tingkat kematangan dan ketertarikan atau minat siswa, serta tingkat kegunaan dan kesukaran materi pelajaran.[7]
Sequence menentukan urutan bahan pelajaran disajikan, apa yang dahulu apa yang kemudian, dengan maksud agar proses belajar berjalan dengan baik. Faktor-faktor yang turut menentukan urutan bahan pelajaran antara lain:
1.      kematangan anak
2.      latar belakang pengalaman atau pengetahuan
3.      tingkat intelegensi
4.      minat
5.      kegunaan bahan
6.      kesulitan bahan pelajaran.
Squence atau urutan berkenaan dengan dua hal: urutan isi atau bahan pelajaran, dan urutan pengalaman belajar memerlukan pengetahuan tentang urutan perkembangan anak dalam menghadapi bahan pelajaran tertentu, misalnya memahami suatu konsep, sikap kejujuran, tanggung jawab, memecahkan suatu masalah.
Tentang urutan atau langkah-langkah menguasai bahan tertentu belum banyak kita ketahui. Kebanyakan diserahkan saja kepada guru tanpa dasar ilmiah menurut hasil penelitian, biasanya guru berpegang pada urutan, dari mudah yang sulit, dari yang sederhana kepada yang kompleks, dari keseluruhan kepada bagian-bagiannya, dari yang diketahui kepada yang belum diketahui.[8]
Menentukan Sequence Dalam Kurikulum Dengan sequence dimaksud urutan pengalaman belajar itu diberikan. Sering ini diartikan sebagai kapan pengalaman belajar atau bahan pelajaran itu harus diberikan, atau disempitkan menjadi di kelas berapa bahan pelajaran tertentu harus diajarkan.
Scope dan sequence erat hubungannya dalam penyusunan kurikulum, oleh sebab tiap bahan harus diberikan pada waktu yang setepat-tepatnya. J. Bruner mengatakan bahwa prinsip-prinsip tiap mata pelajaran dapat diajarkan kepada setiap orang pada setiap usaha dalam suatu bentuk tertentu oleh sebab ide-ide pokok yang mendasari setiap ilmu sebenarnya sederhana. J Piaget membuktikan bahwa anak-anak lebih cepat dapat berfikir secara formal daripada yang diduga semula.
Ada dua pendekatan Dalam penentuan urutan bahan pelajaran dapat diikuti antara lain:
1.      Menentukan bahan pelajaran untuk kelas-kelas tertentu
Pendekatan ini yang dipentingkan ialah bahan pelajaran dan anak harus menyesuaikan diri dengan bahan pelajaran untuk kelasnya.
2.      Menyesuaikan bahan pelajaran dengan taraf perkembangan anak
Untuk itu perlu diselidiki tingkat pengetahuan dan kemampuan anak agar dapat ditentukan bahan yang sesuai.[9]
Beberapa hal dapat diusahakan untuk membangkitkan motif belajar pada anak yaitu pemilihan bahan pengajaran yang berarti bagi anak, menciptakan kegiatan belajar yang dapat membangkitkan dorongan untuk menemukan (discovery), menerjemahkan apa yang akan diajarkan dalam bentuk pikiran yang sesuai dengan tingkat perkembangan anak. Sesuatu bahan pengajaran yang berarti bagi anak disajikan dalam bentuk yang sesuai dengan tingkat kemampuan berpikir anak, dan disampaikan dalam bentuk anak lebih aktif, anak banyak terlibat dalam proses belajar dapat membangkitkan motif belajar yang lebih berjangka panjang.[10]


BAB III
PENUTUP

SIMPULAN
Banyak hal dalam lingkungan peserta didik tanpa kita sadari merupakan bahan pelajaran dalam pembentukan kurikulum, bukan hanya isi disiplin ilmu berupa pengetahuan, melainkan juga prosesnya. Anak-anak harus dengan sengaja diajarkan proses berpikir kritis, proses penemuan, proses pemecahan masalah, dan sebagainya.
Untuk mencapai suatu tujuan pendidikan kita tidak cukup hanya memperhatikan isi atau bahan pelajaran akan tetapi juga proses pelajaran atau pengalaman belajar. Dan cara yang dipilih untuk menentukan bahan pelajaran banyak bergantung pada nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh mereka yang menentukan kurikulum. Serasi tidaknya bahan pelajaran bergantung pada tujuan yang ingin dicapai.
Oleh karena itu dalam pembelajaran haruslah ada pengembangan kurikulum yang meliputi Ruang lingkup (Scope), Keseimbangan (Balance) dan Urutan (Sequence), agar proses belajar mengajar dalam lingkungan sekolah menjadi lebih baik dan tecapai tujuan pendidikannya.












DAFTAR PUSTAKA


Wiryokusumo, Iskandar dan Usman Mulyadi. 1988. Dasar-dasar Pengembagan Kurikulum. Jakarta: Bina Aksara.
Soetopo, Hendayat dan Wasty soemanto. 1993. Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum. Jakarta: Bumi Aksara.
S. Nasution, 1994. Asas-asas Kurikulum. Jakarta: Bumi Aksara
Hamalik, Oemar. 2008. Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum. Bandung: PT Remaja Rosydakarya.
S. Nasution. 1993. Pengembangan Kurikulum. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Sukmadinata, Nana Syaodih. 2000. Pengembangan Kurikulum. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.




[1] Iskandar Wiryokusumo dan Usman Mulyadi, Dasar-dasar Pengembagan Kurikulum, (Jakarta: Bina Aksara, 1988), hal. 48
[2] Hendayat soetopo dan Wasty soemanto, Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 1993), hal. 75-76.
[3] S. Nasution, Asas-asas Kurikulum, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), hal. 230-231.
[4] Ibid, hal. 240-241
[5] Oemar Hamalik, Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum, (Bandung: PT Remaja Rosydakarya, 2008), hal. 42-44
[6]Ibid, hal. 45-46
[7] Ibid, hal. 48
[8] S. Nasution. Pengembangan Kurikulum, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1993 ),  hal. 118-120
[9] S. Nasution, Op. Cit. hal. 242-243
[10] Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000), hal. 146

3 komentar

Unknown 13 November 2015 pukul 18.22

Maksud dari sequens makro dan mikro itu sendri apa ???

Unknown 13 November 2015 pukul 18.26
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Dani Robbina 15 November 2015 pukul 23.57

itu sequens dalam pengembangan kurikulum,,, tidak ada hubungan dg makro & mikro

Posting Komentar