Diberdayakan oleh Blogger.

pencarian

Total Tayangan

Post Populer

Blogger templates

Blogroll

Kamis, 16 April 2015

MAKALAH USHUL FIQH NASKH, TARJIH SERTA PENGERTIAN DAN PEMBAGIAN HUKUM SYARA’

A.   Naskh
1.      Pengertian Naskh
Kata Naskh menurut lughot bisa diartikan:  النَّقْلُ(memindah atau menyalin), bisa juga diartikan: اْلاِزَالَةُ (menghilangkan). Sedangkan menurut istilah ushuliyin adalah: “Khitob yang menunjukan terhapusnya hukum yang ditetapkan oleh khitob terdahulu, dengan gambaran seandainya tidak ada khitob kedua niscaya hukum tersebut akan tetap berlaku sebagaimana semula, dan diisyaratkan khitob kedua lebih akhir daripada khitob pertama”.[1]
Kata An-Nasikh berasal dari kata kerja “nasakh(نَسَخَ) artinya, menghapus, dalam ilmu Nahwu kedudukannya adalah sebagai isim fa’il (pelaku), yang menghapus, yang menghilangkan, yang mencatat atau berubah. Sedangkan Al-Mansukh (اَلْمَنْسُوْخُ) dalam ilmu Nahwu kedudukanya adalah sebagai isim maf’ul (penderita atau tujuan), artinya adalah yang dihapus, yang dihilangkan, yang dicatat atau yang dirubah.
Maksudnya adalah bila ada satu ketentuan, peraturan, atau peraturan yang menghapus ketentuan yang terdahulu itu disebut “mansukh (اَلْمَنْسُوْخُ) artinya yang dihapus. Sedang yang datang kemudian, disebut “Al-Nasikh(اَلْناَسِخُ) artinya yang menghapus, peristiwa penghapusan disebut Nasakh atau  “Al-Naskhu (اَلْنَسْخُ) menurut istilah ushul fiqih adalah :
رَفْعُ حُكْمِ شَرْعِيٍّ بِدَلِيْلٍ شَرْعِيٍّ مُتَاَخِرٍ
“Mengangkat suatu hukum syara’ dengan dalil syara’ yang datang kemudian”
Maksudnya adalah, dengan datangnya hukum syara’ yang demikian itu, maka terangkatlah atau batalah atau tidak berlaku hukum syara’ yang terdahulu. Jadi berdasarkan ta’rif tersebut di atas, maka baik yang menghapus ataupun yang dihapus adalah hukum syara’. Dengan demikian berarti tidak termasuk hukum akal, hukum perasaan dan yang lainnya.[2]
Dari definisi tersebut, para ahli ushul fiqih mengemukakan bahwa naskh itu baru dianggap benar apabila :
a.       Pembatalan itu dilakukan melalui tuntunan syara’ yang mengandung hokum dari syara’ (Allah dan Rasul-Nya). Yang membatalkan ini disebut nasikh.
b.      Yang dibatalkan itu adalah hukum syara’, yang disebut mansukh.
c.       Hukum yang membatalakan hukum tedahulu, dan datangnya setelah hukum yang pertama. [3]
2.      Adanya Naskh
Adanya naskh dapat dibagi pada dua jenis, pertama, adanya naskh menurut akal, dan kedua adanya naskh menurut naqal atau riwayat.
a.       Adanya Nasakh menurut akal telah disepakati oleh Ulama. Dengan alasan bahwa, kepentingan manusia tidaklah selalu sama terus-menerus, mungkin satu kepentingan hanya bermanfaat pada satu masa, sedang pada masa sesudahnya membawa bahaya.
b.      Adanya Nasakh menurut riwayat adalah sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat Bukhari dan Muslim yang artinya sebagai berikut :
“Sesungguhnya Nabi SAW., berdiri menghadap ke Baitul Makdis dalam shalat selama 16 bulan, kemudian di-nasakh (dihapuskan) yang demikian dengan satu perintah untuk menghadap ke Ka’bah”. (HR. Bukhari dan Muslim).[4]
3.      Rukun Naskh
Dari uraian diatas, dapat diketahui bahwa rukun naskh ada empat, yaitu :
a.       Adah al-naskh (اداة النسخ)
b.      Nasikh (الناسخ)
c.       Mansukh (المنسوخ
d.      Mansukh ‘anhu (المنسوخ عنه)[5]

4.      Syarat-syarat Nasakh
Mengenai hukum yang boleh dimansukh atau dihapus, para Ulama memberikan beberapa syarat sebagai berikut : 
a.       Hendaklah yang dimansukh itu adalah hukum syara.
Maksudnya yang dimansukh itu tidak boleh keluar dari hukum syara’, atau dengan kata lain tidak boleh mengenai hukum yang lainnya seperti :
v  “Sesuatu yang diwajibkan karena zatnya” seperti iman atau yang dilarang karena zatnya seperti kufur.
v  Hukum akal, seperti alam itu baru.
v  Hukum perasaan, seperti api itu panas.
v  Cerita-cerita zaman dahulu seperti cerita-cerita Nabi dalam Al-Qur’an.
v  Tentang kejadian-kejadian yang akan datang, seperti berita tentang adanya hari kiamat.
b.      Hendaklah yang mennasakh adalah hukum syara’.
c.       Hendaklah yang dinasakh tidak terbatas atau dibatasi dengan waktu yang tertentu.
d.      Hendaklah yang menasakh terpisah dari yang dinasakh,(yang menasakh) lebih belakangan yang dinasakh.
e.       Hendaklah yang menasakh lebih kuat  dari yang dinasakh.
5.      Macam-macam Naskh
a.       Al-Kitab dinasakh oleh Al-Kitab
b.      Al-Kitab dinasakh dengan As-Sunnah
c.       As-Sunnah dinasakh oleh As-Sunnah
d.      As-Sunnah dinasakh oleh Al-Kitab[6]



6.      Pendapat para ulama tentang Naskh
Jumhur ulama berpendapat bahwa naskh menurut logika boleh saja dan secara syara’ telah terjadi. alasan mereka adalah firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 106 :
 $tB ô|¡YtR ô`ÏB >ptƒ#uä ÷rr& $ygÅ¡YçR ÏNù'tR 9Žösƒ¿2 !$pk÷]ÏiB ÷rr& !$ygÎ=÷WÏB 3 öNs9r& öNn=÷ès? ¨br& ©!$# 4n?tã Èe@ä. &äóÓx« 퍃Ïs% ÇÊÉÏÈ
“ayat mana saja yang Kami naskhkan atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya, tidaklah kamu mengetahui sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”.
Selanjutnya dengan kesepakatan para ulama dalam menyatakan bahwa syariat sebelum Islam telah dinaskhkan oleh syariat Islam, sebagaimana naskh itu sendiri telah terjadi dalam beberapa hukum islam. Misalnya pemalingan kiblat shalat dari arah baitul makdis ke Masjidil Haram, pergantian hukum khamr dengan bertahap dan lain sebagainya.
      Muhammad Abduh (mufasir dan tokoh pembaharu dari Mesir), setelah menganalisis ayat-ayat yang mengandung naskh yang dikemukakan jumhur ulama diatas, berpendapat bahwa naskh lebih tepat diartikan sebagai penggantian, pengalihan (pemindahan) ayat hukum yang ditempat ayat hukum lainnya. Dengan demikian, M. Quraish Shihab, mufasir Indonesia, pengertian ini akan membawa kesimpulan bahwa semua ayat-ayat al-Qur’an tetap berlaku, tidak ada yang kontradiktif, hanya saja terjadi pergantian hukum bagi masyarakat (orang tertentu), karena adanya kondisi yang berbeda. Namun ayat hukum yang tidak berlaku lagi bagi masyarakat tersebut tetap berlaku bagi masyarakat (orang lain) yang kondisinya sama dengan kondisi ketika hukum ayat yang diganti itu berlaku.

7.      Hikmah Naskh
Telah disepakati oleh ulama ushul fiqih, bahwa disyariatkan berbagai hukum kepada manusia bertujuan untuk memelihara kemaslahatan manusia, baik di dunia maupun di akhirat, selain tuntunan dari allah agar hambanya mematuhi segala perintahnya dan menjauhi segala larangannya.
      Dalam kaitan ini, syar’i(allah SWT.) senantiasa memperhatikan dan mempertimbangkan kondisi yang ada di masyarakat, sehingga kemaslahatan yang diinginkan syar’i itu bisa tercipta dan terjamin. Kemungkinan saja, syar’i mensyariatkan satu hukum pada suatu ayat, namun setelah ada perubahan situasi, kondisi dan lingkungan, hukum itu tidak sejalan lagi dengan kemaslahatan yang dikehendaki syar’i.
Menurut Wahbah al-Zuhaili, sesuai dengan kehendak syar’i dan tujuan yang ingin dicapai, maka syar’i mengubah hukum tersebut atau menggantinya denagn hukum lain. Akan tetapi, lanjutnya, perubahan situasi yang ada di umat tersebut bukan berarti tidak diketahui syar’i, bahkan Dia sendirilah yang membuat perubahan itu. Hal ini menunjukan bahwa syari’at Islam itu diturunkan kepada umat Islam secara berangsur-angsur dan mengikuti kondisi umat itu sendiri. Oleh karenanya, persoalan naskh hanya berlaku metika Rasulullah SAW., masih hidup. Setelah Beliau wafat tidak ada lagi naskh.
Dengan demikian, menurut Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi, adanya konsep naskh berkaitan erat dengan pemeliharaan kemasahatan umat dan fleksibilitas hukum Islam yang disyariatkan kepada umat Islam secara bertahap. [7]
A.    TARJIH
1.    Pengertian Tarjih
Tarjih secara etimologi berarti menguatkan. Konsep tarjih muncul ketika terjadinya pertentangan secara lahir antara satu satu dalil dengan dalil lainnya yang sederajat dan tidak bisa diselesaikan dengan cara al –jam’u wat taufiq. Dalil yang dikuatkan disebut rajih, sedangkan dalil yang dilemahkan disebut dengan marjuh.
Tarjih adalah menguatkan salah satu diantara dua dalil yang bertentangan tersebut berdasarkan beberapa  indikasi yang dapat mendukungnya. Secara terminologi, ada dua defenisi tarjih yang dikemukakan para ushul fiqih, yaitu: yang pertama Menurut Hanafiyah: Menampakan kelebihan bagi salah satu dari dua dalil yang serupa atas yang lain dengan sesutau yang tidak berdiri sendiri. Yang kedua menurut Jumhur Ulama: Menguatkan salah satu indikator dalil yang zhanni  atas yang lainnya untuk diamalkan (diterapkan).
Menurut mereka, dalil yang bertentangan itu harus dalam kualitas yang sama, seperti peretentangan ayat dengan ayat. Kemudian dalil tambhan pendukung salah satu dalil yang bertentangan itutentangan, kar tidak berdiri sendiri. Artinya, dalil pendukung itu tidak terpisah dari dalil yang saling bertentangan, karena apabila ada dalil yang berdiri sendiri berarti dalil itu dapat dipakai untuk menetapkan hukum, bukan dalil yang saling bertentangan tersebut.
Dari pengertian di atas maka unsur-unsur yang ada dalam tarjih adalah :
a.    Adanya dua dalil
b.   Adanya sesuatu yang menjadikan salah satu itu lebih utama dari yang lain.[8]
2.      Syarat-syarat Tarjih
a.    Yang menjadi soal itu satu masalah, tidak boleh berlainan. Misalnya soal haji tersebut di atas, maka semua riwayatnta urusan haji.
b.   Dalil-dalill yang berlawanan harus sam akekuatannya, seperti Qur’an,Qur’an dengan hadits mutawatir, dan hadits mutawatir dengan hadits mutawatir pula. Jika yang bertentangan itu antara hadits mutawatir dan hadits ahad, maka tidak perlu ada tarjih,sebab yang didahulukan ialah hadits mutawatir, dan itulsh yang dipakai.
c.    Harus ada persesuaian hukum antara  keduanya, baik waktunya, tempatnya dan keadaanya. Misalnya larangan jual beli sesudah ada adzan Jum’at, diwaktu yang lain jual-beli dibolehkan. Disini tidak ada pertentangan karena berbeda waktunya.[9]
3.      Metode Tarjih
Para ulama’ ushul fiqh menegemukakan cukup banyak cara pentarjihan yang bisa dilakukan, apabila anatara dua dalil, secra zhahir, terdapat pertentangan dan tidak mungkin dilakukan al-jam’u wa al-taufiq atau naskh.
Cara pentarjihan tersebut yaitu ada dua pengelompokan besar, yaitu:
a.    Tarjih bain al-Nushush الترجح بين النصوص
Untuk mengetahui kuatnya salah satu nash yang saling bertentangan. Ada beberapa cara yang dikemuikakan para ulama’ ushul fiqh:
1)      Dari segi Sanad
Menurut Imam al-Syaukani, pentarjih dapat dilakukan dengan 42 cara, yang diantaranya di kelompokan kepada:
·         Menguatkan salah satu nash dari segi sanad-nya.
Untuk itu, bisa dilakukan dari segi kuantitas para perawi, yaitu menguatkan hadits yang sanadnya sedikit, karena kemungkinan terjadinya kesalahan dalam suatu riwayat yang diriwayatkan oleh banyak perawinya snagt kecil. Pendapat inidikemukakan oleh Jumhur Ulama’.
·         Pentarjihan dengan melihat riwayat itu sendiri
Yaitu hadits mutawatir dikuatkan dari hadis masyhur (hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah orang banyak, tetapi tidak sampai ke tingkat mutawatir) dan hadits masyhur lebih didahulukan dari hadis ahad. Yaitu bisa juga dilakukan dengan cara melihat oersambungan sanadnya brrsambung ke Rasulullah saw dari hadis yang sanadnya terputus.
·         Pentarjihan melalui cara menerima hadis itu dari Rasulullah
Yaitu menguatkan hadis yang langsung didengar oleh Rasulullah dari pada hadis yang didengar melalui perantara orang lainatau tulisan. Dikuatkannya juga riwayat yang lafal langsung dari Rasulullah ynag menunjukan kata kerj, seperti lafal naha, amara, dan adzina.
2)      Dari segi Matan (Teks)
Matan yang dimaksudkan di sini adalah teks ayat,hadis atau ijma’. Al Amidi menegemukakannya menjadi 51 cara, diantaranya:
·         Teks yang mengandung larangan lebih didahulukan dari teks yang mengandung oerintah, karena menolak segala kemundaratan lebih didahulukan dari mengambil manfaat.
·         Teks yang mengandung perintah didahulukan dari teks yang menunjukan kebolehan saja, karena dengan melaksanakan perintah, hukumnya bolehnya telah terbawasekaligus.
·         Makna hakikat dari suatru lafal lebih didahulukan dari makna majaznua, karena makna hakikat tersebut tidak memerlukan indikasi yang lain untuk menguatkannya.
·         Dalil khusus lebih didahulukan dari dalikl yang umum
·         Teks yang yang sharih (jelas) didahulukan dari teks yang bersifat sindiran (kinayah).
3)      Segi Hukum atau Kandungan Teks
Dari segi hukum atau kandungan teks, al-Amidi mengemukakan sebelas cra pentarjihan, sedangkan as-Syaukani menyederhanaknnya menjadi sembilan; diantaranya:
·         Apabila salah satu hukum teks itu mengandung bahaya, sedagkan teks lain menyatakan kebolehan saja, menurut jumhur yang mengandung bahaya itulah yang harus di dahulukan.
·         Apabila hukum yang dikandung suatu teks bersifat menetapkan, sedangkan yang lain bersifat meniadakan, maka dalam seperti ini terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama’. Menurut Syafi’iyah teks yang bersifat meniadakan lebih didahulukan dari teks yang bersifat menetapkan. Sedangkan menurut jumhur teks yang sifatnya menetapkan lebih di dahulukan.
·         Apabila teks yang bertentangan itu salah satunya mengandung hukum menghindarkan terpidana dari hukum, sedangkan teks yang lain mengandung hukum mewajibkan pelaksanaan hukuman terhadap terpidana tersebut, maka teks yang mengandung hukum menghindarkan itu lebih didahulukan, karena dengan adanya dua kemungkinan ini hukuman tidak dapat dilaksanakan, sesuai dengan sabda Rosulullah SAW:
إدرؤوا الحدود بالشبهاة
Tolaklah hukuman dalam jarimah hudud apabila terdapat keraguan”. (HR al-Baihaqi)
4)   Pentarjihan dengan Menggunakan Faktor (dalil) lain di luar Nash
Al-Amidi mengemukakan lima belas cara pentarjiahn dengan menggunakan faktor di luar nash dan Imam Syaukani meringkasnya menjadi sepuluh cara, diantaranya:
·      Mendahulukan salah satu dalil yang mendapatkan dukungan dari dalil lain, baik itu al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, Qiyas, maupun logika.
·      Mendahulukan salah satu dalil yang sesuai dengan amalan penduduk Madinah atau yang diamalkan al-Khulafa al-Rasyidun hal ini dikarenakan penduduk Madinah lebih banyak mengetahui persoalan Turunnya al-Qur’an dan penafsiran ayat-ayat al-Qur’annya.
·      Dikuatkan nash yang menyebutkan illat hukumnya dari nash yang todak menyebutkan illatnya.
·      Menguatkan dalil yang kandungannya menurut sikap waspada (Ihkstiyat) daripada dalil lainnya yang tidak demikian.
·      Mendahulukan nash yang dibarengi dengan perkataan atau perbuatan dari perawinya dari nash yang tidak demikian halnya.
b.      Tarjih bain al-Aqyisah الترجح بين الأقيسة
Imam al-Syaukani mengemukakan tujuh belas macam pentarjihan dalam persoalan qiyas yang saling bertentangan, namun Wahbah Zuhaily meringkasnya menjadi dua belas, diantarnya:
1)   Dari segi hukum asal, yaitu dengan menguatkan qiyas yang hukum asalnya qath’i dari qiyas yang hukum asalnya bersifat zhanni, karena yang qath’i lebih kuat dari pada yang zhanni. Lalu yang selanjutnya menguatkan landasan dalilnya adalah ijma’ dari qiyas yang landasan dalilnya nash, karena nash bisa di takhsis, di ta’wil dan di nasakh. Sedanglan ijma’ tidak bisa di khususkan, dita’wilkan dan dibatasi.
2)   Dari segi hukum  furu’ (cabang), yaitu dengan menguatkan hukum furu’ yang kemudian dari asalnya (qiyas) yang hukum furu’nya lebih dahulu dari hukum asalnya, kemudian juga dikuatkan hukum furu’ yang illat nya diketahui secara qath’i dari hukum furu’ yang illat nya bersifat zhanni.
3)   Dari segi illat, yaitu salah satunya dengan menguatkan illat yang disebutkan dalam nash atau illat yang disepakati dari illat yang tidak disebutkan dalam nash atau tidak disepakati keberadaannya sebagai illat, dan lain-lain.
4)   Pentarjihan qiyas melalui faktor luar, yaitu dengan menguatkan qiyas yang didukung oleh sejumlah illat dari qiyas yang hanya didukung satu illat. Lalu yang selanjutnya harus dikuatkan qiyas yang didukung oleh fatwa sahabat.[10]




B.     Hukum Taklifi
1.      Pengertian
Adalah sebuah hukum yang mengandung tuntutan (suruhan atau larangan) yakni: hukum yang dibebabnkan oleh oleh syara’ untuk dikerjakan atau untuk ditinggalkan.[11]
2.      Pembagian hukum taklifi
a.       Wajib   dalam pandangan jumhur ’ulama‘ wajib murodif (sinonim) dengan Fardhu yaitu tuntutan syara’ yang bersifat untuk melaksanakan sesuatu dan tidak boleh ditinggalkan, orang yang meninggalkan akan terkena sanksi.
b.      Sunnah atau mandub adalah sesuatu yang terpuji orang yang melakukannya, dan tidak tercela orang yang meninggakannya.
c.       Haram atau mahdhur adalah sesuatu yang tercela orang yang melakukannya, dan terpuji orang yang meninggalkannya.
d.      Makruh adalah tuntutan untuk melakukan sesuatu perbuatan, tetapi tuntutan itu diungkapkan melalui redaksi yang tidak bersifat memaksa.
e.       Mubah adalah sesuatu yang mengandung pilihan, mengandung pilihan antara berbuat dan tidak berbuat secara sama.[12]
 Pembagian hukum taklifi menurut ulama hanafiyyah
a.       Fardlu adalah tuntunan Allah terhadap mukallaf yang bersifat memaksa dengan berdasarkan dalil yang Qoth’i.
b.      Wajib adalah tuntutan kepada mukallaf untuk melakukan suatu perbuatan, tetapi melalui dalil yang bersifat dhonni.
c.       Mandub disini sama dengan nadb atau sunnah yang dikemukakan oleh jumhur ulama.
d.      Ibahah juga sama
e.       Karohah tanzihiyyah adalah tuntutan Allah kepada mukallaf untuk meninggalkan suatu pekerjaan, tetapi tuntutannya tidak bersifat memaksa.
f.       Karohah tahrimiyyah adalah tuntutan Allah kepada mukallaf untuk meninggalkan suatu perbuatan dengan cara memaksa, tetapi didasarkan kepada dalil yang dhonni.
g.      Tahrim adaah tuntutan kepada mukallaf untuk meninggalkan suatu pekerjaan dengan cara memaksa didasarkan pada dalil yang qoth’i.
3.      Pembagian bentuk-bentuk hukum taklifi
a.       Pembagian hukum wajib.
1.      Dilihat dari segi waktu, hukum wajib terdiri atas dua bagian, yaitu wajib muthlaq dan wajib muaqqot. Wajib muthlaq adalah sesuatu yang dituntut syar’i utuk ditentukan waktunya, dan tidak tercela jika diakhirkan ke waktu lain meskipun mampu melakukan secara segera. Wajib muaqqot adalah kewajiban yang harus dilaksanakan orang mukallaf pada waktu-waktu tertentu, seperti sholat dan puasa romadlon.
2.      Dilihat dari segi ukuran yang duwajibkan, hukum wajib dibagi menjadi dua macam, yaitu wajib muhaddad dan wajib ghoiru muhaddad. Wajib muhaddad adalah suatu kewajiban yang  ditentukan ukurannya oleh syara’ dengan ukuran tertentu. Seperti jumlah roka’at dalam sholat. Wajib ghoiru muhaddad adalah kewajiban yang tidak ditentukan oleh syara’ ukuran dan jumlahnya, tetapi diserahkan kepada para ulama’ dan pemimpin ummat untuk menentukannya. Sebagia contoh adalah adanya penentuan hukuman tindak pidana yang diserahkan kepada para hakim.
3.      Dilihat dari yang dibebani kewajiban, hukum wajib dibagi menjadi wajib ’aini dan wajib kifa’i. Wajib ’aini adalah kewajiban yang ditujukan kepada setiap pribadi orang mukallaf. Seperti kewajiban sholat atas mukallaf. Wajib kifa’i kewajiban yang ditujukan kepada seluruh orang mukallaf, tetapi bila telah dikerjakan oleh sebagaian dari mereka, maka kewajiban itu telah terpenuhi dan orang yang tidak mengejakannya tidak dituntut untuk melaksanakannya. Seperti dalam pelaksanaan sholat jenazah.
4.      Dilihat dari segi kandungan perintah, hukum wajib terbagi atasa wajib mu’ayyan dan wajib mukhayyar. Wajib mu’ayyan adalah kewajiban yang terkait dengan sesuatu yang diperintahkan, seperti membayar hutang, memenuhi janji. Wajib mukhayyar adalah suatu kewajiban tertentu yang  bisa dipilih oleh orang mukallaf. Seperti dalam pilihan kifarat yang telah difirmankan oleh Allah dalam surat al-Maidah. Yang mengemukakan bahwa kifarat sumpah itu terdiri atas –memberi makan sepuluh orang fakir miskin, -atau memberi pakaian kepada mereka, -atau memerdekakan budak.
b.      Pembagian hukum mandub
Hukum mandub terdiri atas beberapa macam
1.      Sunnah muakkadah, pekerjaan yang apabila dikerjakan mendapat pahal dan apabila tidak dikerjakan tidak mendapat dosa, tetapi yang meninggalkannya mendapat celaan. Misalnya adzan, sholat rowatib, sholat dengan berjamaah.
2.      Sunnah ghoiru muakkadah, perbuatan yang apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan tidak mendapat dosa serta tidak mendapat celaan. Seperti halnya dalam kita melakukan shodaqoh.
3.      Sunnah zaidah adalah suatu pekerjaan untuk mengikuti apa yang dilakukan oleh Rosulullah, sehingga apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila tidak dikerjakan tidak mendapat dosa serta tidak mendapat cela. Pekerjaan-pekerjaan ini merupakan sikap dan tindak-tanduk Rosullullah sebagai manusia biasa, seperti cara tidur, cara berpakaian, cara makan.
c.       Pembagian hukum haram
Haram dapat dibagi atas dua macam, haram li dzatihi dan haram li ghoirihi.
1.      Haram li dzatihi adalah suatu keharaman langsung sejak semula ditentukan oleh syar’i. Misalnya berzina, memakan harta anak yatim.
2.      Haram li ghoirihi adalah suatu yang pada mulanya adalah di syari’atkan, tetapi karena dibarengi sesuatu yang bersifat madhorot bagi manusia, maka diharamkan. Keharamannya adalah disebabkan adanya madhorot tersebut. Seperti sholat mamakai pakaian hasil ghoshob, berpuasa pada hari raya ’idul fithri.
d.      Makruh
Menurut ’ulama‘ Hanafiyyah membagi hukum makruh kedalam dua macam yaitu makruh tanzih dan makruh tahrim.
1.      Makruh tanzih adalah sesuatu yang dituntut syar’i untuk ditinggalkan, tetapi dengan tuntutan yang dhonni.
2.      Makruh tahrim adalah tuntutan syar’i untuk meninggalkan suatu perbuatan , dan tuntutan itu bersifat qoth’i, akan tetapi didasarkan pada dalil yang dhonni. Seperti larangan mengenakan sutera, emas dan perak bagi laki-laki.
e.       Mubah
Hukum mubah terbagi atas beberapa macam
1.      Mubah yang apabila dilakukan tidak menimbulkan madhorot. Seperti makan, minum.
2.      Mubah yang apabila dilakukan mukallaf tidak ada madhorotnya, sedangkan perbuatan tu sendiri pada dasarnya diharamkan. Seperti melakukan sesuatu dalam keadaan terpaksa.
3.      Sesuatu yang pada dasarnya bersifat madhorot dan tidak boleh dilakukan menurut syara’, tetapi Allah memaafkan pelakunya, sehingga perbuatan itu menjadi mubah.

Pembagian mubah dari segi statusnya yang bersifat khusus dan umum
1.      Mubah bi al-Juz’i mathlub al-fi’li bi al-kulli seperti makan dan menikah. Tidak boleh meninggalkan keduanya secara keseluruhan.
2.      Mubah bi al-juz’i mathlub al-tarki bi al-kulli. Artinya hukum mubah secara juz’i berubah menjadi harus ditinggalkan keseluruhannya. Misalnya bermain dan mendengarkan musik.
3.      Mubah bi al-juz’i mathlub bi al-kulli ‘ala jihat al-mandub. Artinya hukum secara juz’i berubah menjadi mandub jika dilihat secara kulli. Seperti makan dan minum yang berlebihan.
4.      Mubah bi al-juz’i makruh bi al-kulli. Artinya mubah bisa menjadi makruh bila dilihat dari akibat perbuatan itu secara kulli. Seperti menyanyi hingga meninggalkan yang lebih manfaat atau menurunkan nilai kesopanan.[13]
C.    Hukum Wadh’i
1.      Pengertian
Menurut Khudhori Bek dan al-Syaukani, Hukum Wadh’i adalah Firman Allah yang menuntut untuk menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang dari sesuatu yang lain.
Pembagian hukum wadh’i meliputi sebab, syarat, mani (penghalang)  serta batal.


a.       Sebab
Secara bahasa, sebab adalah sesuatu yang dapat menyampaikan  suatu tujuan. Secara istilah sebab adalah suatu sifat yang dijadikan syari’(pembuat hukum) sebagai tanda adanya hukum.[14]
Kadang-kadang sebab itu adalah sebab bagi hukum taklifi. Seperti waktu oleh syari’ dijadikan sebab bagi wajibnya mengerjakan sholat. Kadang-kadang sebab itu merupakan sebab untuk menetapkan hak milik, atau menghalalkan atau menghilangkan keduanya. Seperti jual beli untuk menetapkan hak milik, akad nikah untuk menghalalkan. Kadang-kadang bagi mukallaf sebab perbuatan itu maqdur (diadakan penilaian) seperti pembunuhan yang direncanakan itu adalah sebab untuk mewajibkan qisas.
Kadang-kadang ada hal yang tudak ada ukuranya bagi mukallaf karena bukan pada perbuatannya. Seperti belum cukup umur untuk menetapkan perwalian bagi anak kecil.[15]
b.      Syarat
Menurut khudhari bek, syarat adalah sesuatu yang beradadi luar hukum syara’, tetapi keberadaan hukkum syara’ bergantung padanya.oleh karena itu suatu hukum taklifi tidak dapat diterapkan kecuali telah memenuhi syarat yang telah ditetapkan syara’. Terkaadang syarat itu diisyaratkan dengan hukum  yang dinamakan syarat syar’i, misalnya wudhu meruapan syarat sah sholat, shalat tidak dapat dilakukan tanpa wudhu.terkadang juga syarat itu diisyaratkan dengan kegiatan mukallaf seperti  memerdekakan budak bagi orang yang mampu.[16]
c.       Mani’ (penghalang)
Yang di maksud dengan Mani’ dalam ilmu Ushul Fiqh adalah sesuatu yang adanya memastikan tidak adanya hukum. Sebagai contoh, seorang perempuan yang sedang dalam haidh atau nifas dilarang melakukan sholat. Jadi mani’nya disini adalah haidh atau nifas, karena adanya haidh atau nifas itu, maka tidak ada kewajiaban sholat.
d.      Batal
Batal dalam pengertian syarat adalah kebalikan dari pengertian sah. Sah adalah sesuatu perbuatan yang sesuai ketentuan-ketentuan syara’, sedangkan batal adalah perbuatan yang menyalahi ketentuan-ketentuan syara’.
Sebagian ulama’ menganggap sama antara batal dengan fasad karena batal dan fasad itu adalah lafal murodif (sinonim). Abu Hanifah membedakan antara batal dan fasad. Batal menurut Imam Abu Hanifah adalah apabila sesutau yang dilarang itu termasuk bagian atau menyangkut asal dari perbuatan sendiri. Seperti melakuakan shalat tanpa ruku’ atau menjual binatang yang masih dalam kandungan induknya. Sedangkan fasad adalah bila  yang terlarang itu, menyangkut sifat yang terkandung dalam perbuatan tersebut. Dalam hal ini, bukan menyangkut asalnya seperti dilarangnya melakukan puasa dalam hari raya karena pada hari raya terkandung didalamnya sifat menerima tamu. Bila puasa pada hari itu berarti mengandung unsur menolak tamu.[17]






DAFTAR PUSTAKA
Ashshiddieqy Hasbi, 1997. Pengantar Hukum Islam. Semarang: Pustaka Rizki Putra
Rohayana, Ade Dedi. Tanpa Tahun. Ilmu Ushul Fiqih. Pekalongan: Stain Press.
Kallaf, Abdul Wahhab. 1994. Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: Rineka Cipta
Jumantoro, Totok Dan Samsul Munir 2005. Kamus Islam Ushul Fiqih. Jakarta: Amzah
Rifa’i, Muh.1995. Ushul Fiqih, Bandung: Al-Ma’arif
Djalil. A. Basiq, 2010. Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua. Jakarta: Prenada Media Group



[1] M. Ridlwan Qoyyum sai’id, Terjemah Tashil Ath-Thuruqot Ushul Fiqih, (Kediri: Mitra Gayatri). Hlm. 73  
[2] A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih satu dan dua (Jakarta: Prenada Media Group, 2010),  hlm. 123-124  
[3] Nasrun Haroen, Ushul Fiqih I Cet. II (Jakarta: PT. LOGOS Wacana Ilmu, 1997), hlm. 182
[4] A. Basiq Djalil, Ibid., hlm. 124
[5] Nasrun Haroen, Loc. It., hlm. 183
[6] A. Basiq Djalil, Loc. It., hlm. 128-130
[7] Nasrun Haroen, Loc. It., hlm. 183-184
[8] Totok jumantoro dan samsul munir. Kamus Islam Ushul Fiqih. (Jakarta: Amzah, 2005) hal 32
[9]Muh rifa’i. Ushul Fiqih (Bandung: Al-Ma’arif,1995) hal 132

[10]  Nasrun Haroen, Loc. It., hlm. 197-205
[11]muhammad hasbi ash shiddieqy, Pengantar Hukum Islam. (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997) hlm. 200
[12]Ade Dedi Rohayana Ilmu Ushul Fiqih. Pekalongan: (Stain Press, Tanpa Tahun) Hal 256-257
[13]Ibid.  Hal 255-268
[14] Ibid. Hal 269
[15] Abdul wahab khalaf. Ilmu Ushul Fiqh ( Jakarta: Rineka Cipta, 1994) hal 140-141
[16] Ade Dedi Rohayana, Op. Cit hal 270
[17] A. Basiq djalil, Loc. It., hlm. 46-47

0 komentar

Posting Komentar