Diberdayakan oleh Blogger.

pencarian

Total Tayangan

Post Populer

Blogger templates

Blogroll

Senin, 04 Mei 2015

MAKALAH PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM HAMKA

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Buya Hamka adalah sosok cendekiawan Indonesia yang memiliki pemikiran membumi dan bervisi masa depan. Keterlibatan Hamka di berbagai aspek keilmuan menunjukkan bahwa beliau adalah sosok yang cerdas, penuh inspiratif dan masih banyak hal lain yang dapat kita adopsi untuk mencetak generasi-generasi masa depan seperti Hamka.

Pandangan Hamka tentang pendidikan adalah bahwa pendidikan sebagai sarana yang dapat menunjang dan menimbulkan serta menjadi dasar bagi kemajuan dan kejayaan hidup manusia dalam berbagai ilmu pengetahuan. Pendidikan tersebut tergabung dalam dua prinsip yang saling mendukung, yaitu prinsip keberanian dan kemerdekaan berfikir. Bagi Hamka, ilmu yang tidak diikuti dengan amal dan perbuatan tidak berguna bagi kehidupan. Ilmu pengetahuan mesti diamalkan, bukan hanya untuk dipelajari saja.
Makalah yang secara spesifik membahas kajian tokoh ini berusaha memberikan gambaran bagaimana biografi Hamka, dan bagaimana pemikiran dan pengaruhnya terhadap pendidkan Islam.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana biografi dari Hamka?
2.      Bagaimana setting sosial dari Hamka?
3.      Bagaimana pemikiran pendidikan Islam menurut Hamka?

C.     Tujuan
1.      Mengetahui dan mendiskripsikan biografi dari Hamka.
2.      Mengetahui dan mendiskripsikan setting sosial dari Hamka.
3.      Mengetahui dan mendiskripsikan pemikiran pendidikan Islam menurut Hamka.

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Biografi
Hamka adalah singkatan nama dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah Datuk Indomo. Ia lahir di Sungai Batang Maninjau Sumatra Barat, pada tanggal 16 Februari 1908 M bertepatan dengan tanggal 13 Muharram 1326 H. Lahir dari pasangan Haji Abdul Karim Amrullah dan Shafiyah Tanjung, sebuah keluarga yang taat beragama. Ayahnya adalah seorang ulama besar dan pembawa paham-paham pembaruan Islam di Minangkabau. Ia meninggal pada tanggal 22 Juli 1981 di Rumah Sakit Pertamina Jakarta dalam usia 72 tahun.[1]

B.     Setting Sosial
Secara formal, pendidikan yang ditempuh HAMKA tidaklah tinggi. Hanya sampai kelas 3 di sekolah desa. Lalu, sekolah agama yang ia jalani di Padang panjang dan Parabek juga tak lama, hanya selama tiga tahun.
Di usia yang sangat muda HAMKA sudah melalangbuana. Tatkala usianya masih 16 tahun (pada tahun 1924), ia sudah meninggalkan Minangkabau, menuju Jawa. Di Yogyakarta, ia berkenalan dan menimba ilmu tentang pergerakan kepada para aktivisnya, seperti Haji Oemar Said Tjokroaminoto (Sarekat Islam), Ki Bagus Hadikusumo (Ketua Muhammadiyah), K.H. Fakhrudin, dan RM Soerjopranoto. HAMKA, bersama kaum muda aktivis, ikut kursus-kursus tentang pergerakan. Beberapa bulan berikutnya ia pergi ke Pekalongan dan mukim di tempatnya A.R. Sutan Mansyur, tokoh Muhammadiyah Pekalongan yang juga kakak iparnya. Di sini HAMKA berkenalan lebih jauh dengan para tokoh Muhammadiyah di kota batik itu. Pertengahan tahun 1925, HAMKA kembali ke Padangpanjang dan ikut mendirikan Tabligh Muhammadiyah di rumah ayahnya.
Dua tahun setelah kembalinya dari Jawa, HAMKA pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Kesempatan ibadah haji itu ia manfaatkan untuk memeperluas pergaulan dan bekerja. Selama enam bulan ia bekerja di bidang percetakan Mekkah. Pulang dari Mekkah pada akhir tahun 1927. Ketika diadakan Muktamar Muhammadiyah  di Solo 1928 ia menjadi peserta. Muktamar ini menjadikannya sebagai titik pijak untuk berkhidmat di Muhammadiyah. Dari keaktifannya di Muhammadiyah tersebut ternyata telah mengantarkannya ke berbagai daerah, termasuk Medan, tahun 1936. Di Medan inilah peran HAMKA sebagai intelektual ulama dan ulama intelektual mulai terbentuk. Hal tersebut bisa kita jumpai dari kesaksian Rusydi HAMKA, salah seorang putranya.
Di Medan HAMKA memang bisa optimal mengaktualisasikan dirinya, melalui Pedoman Masyarakat. Ia punya modal yang dibutuhkan oleh seorang intelektual dan ulama sekaligus. Ia seorang mubaligh, ahli agama, sastrawan, sekaligus wartawan. Di Medan pula ia berkenalan dengan beragam pemikiran di dunia. Inilah modal yang mendukungnya. Dengan modal itu pula ia bisa menulis apa saja, mulai dari pemikiran, falsafah, sampai dengan berita-berita kunjungan ke daerah.
Tapi, nasib seorang anak manusia memang bukan dia yang menentukan. Ketika Jepang datang, kondisinya jadi lain. Pedoman Masyarakat dibredel, aktivitas masyarakat diawasi, dan bendera merah putih dilarang dikibarkan. Masyarakat Medan kecewa berat dengan Jepang. Tapi, pada saat yang bersamaan, Jepang berhasil “merangkul” HAMKA dengan cara mengangkatnya menjadi “Syu Sangi Kai atau Dewan Perwakilan Rakyat pada tahun 1944. Dan ketika Jepang kalah lalu menyerah pada sekutu, HAMKA pun menjadi sasaran kritik yang tak berkesudahan. Inilah yang menyebabkan HAMKA keluar dari Medan, menuju Sumatra Barat.
Suratan takdir nampaknya tak membuat HAMKA surut dari perjuanagan. Ia tetap aktif menggalang kekuatan untuk mempertahankan kemerdekaan, sekaligus tetap menjadi juru dakwah. Pada tahun 1950 , ia pindah ke Jakarta dan menekuni dua profesi, sebagai ulama sekaligus seorang pujangga. Pada pemilu tahun 1955, HAMKA terpilih sebagai anggota parlemen dari Masyumi mewakili unsur Muhammadiyah.
Setelah Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit tahun 1959, HAMKA kembali ke habitatnya semula, dengan tetap berdakwah di medan poerjuangan melawan kediktatoran Soekarno.[2]
Tahun 1975, beliau juga menjadi penasihat Kementrian Agama. Juga pada tahun yang sama, HAMKA diangkat menjadi ketua Majelis Ulama Indonesia.[3]

C.     Pemikiran HAMKA tentang Pendidikan Islam
1.   Urgensi pendidikan
Pentingnya manusia mencari ilmu pengetahuan, menurut Hamka, bukan hanya untuk membantu manusia memperoleh penghidupan yang layak, tetapi lebih dari itu, dengan ilmu manusia akan mampu mengenal tuhannya, memperluas akhlaknya, dan berupaya mencari keridhaan Allah. Hanya dengan bentuk pendidikan yang demikian, manusia akan memperoleh ketentraman (hikmat) dalam hidupnya.
Ini berarti pendidikan dalam pandangan Hamka ternbagi menjadi dua bagian; pertama, pendidikan jasmani, yaitu pendidikan untuk pertumbuhan dan kesempurnaan jasmani serta kekuatan jiwa dan akal. Kedua, pendidikan ruhani, yaitu pendidikan untuk kesempurnaan fitrah manusia dengan ilmu pengetahuan dan pengalaman yang didasarkan kepada ilmu. Kedua unsur tersebut memiliki kecenderungan untuk berkembang, dan untuk menumbuhkembangkan keduanya adalah melalui pendidikan karena pendidikan merupakan sarana yang paling tepat dalam menentukan perkembangan secara optimal  kedua unsur tersebut. Dalam pandangan Islam, kedua unsur dasar tesebut dikenal dengan istilah fitrah.
 Menurut Hamka, fitrah setiap manusia pada dasarnya menuntun untuk senantiasa berbuat kebajikan dan tunduk mengabdi pada khaliqnya. Jika ada manusia yang tidak berbuat kebajikan, maka sesungguhnya ia telah menyimpang dari fitrah tersebut. Menurutnya, pada diri manusia, terdapat tiga unsur utama yang dapat menopang tugasya sebagai khalifah fil ard maupun ‘abd Allah.
Ketiga unsur tersebut adalah akal, hati dan pancaindra yang terdapat pada jasad manusia. Perpaduan unsur tersebut membantu manusia memperoleh ilmu pengetahuan dan membangun peradabannya, memahami fungsi kekhalifahannya, serta menangkap tanda-tanda kebesaran Allah.[4]   
Dengan pendidikan, manusia akan dapat mempertajam fitrah akal dan mengontrol nafsunya. Proses ini selanjutnya akan membantu manusia (khususnya peserta didik) mampu mempertimbangkan perbuatannya dengan nilai baik dan buruk secara bertanggungjawab. Manusia hanya bisa menata kehidupan dan peradabannya apabila didukung dengan pendidikan yang baik.
Pentingnya pendidikan bagi manusia bukan hanya bagi pemenuhan kepentingan internal sebagai mahluk yang dinamis, akan tetapi juga bagi kepentingan eksternal, yaitu tertanya peradaban umat manusia secara kaffah dan harmonis. Untuk itu eksisitensi pendidikan merupakan suatu kemestian dan hajat hidup bagi setiap manusia. Melalui pendidikan manusia mampu menciptakan peradaban yang tinggi dan mengenal eksisitensi dirinya, baik sebagai mahluk individu, sosial, maupun bertuhan.[5]
2.   Pengertian dan Tujuan Pendidikan
Hamka membedakan makna pendidikan dan pengajaran. Menurutnya, pendidikan adalah “serangkaian upaya yang dilakukan pendidik untuk membantu membentuk watak, budi, akhlak, dan kepribadian peserta didik”. Sementara pengajaran adalah “upaya untuk mengisi intelektual peserta didik dengan sejumlah ilmu pengetahuan”. Perbedaan kedua pengertian tersebut sebetulnya hanya pada maknanya saja, namun secara esensi ia tidak membedakannya. Kedua kata tersebut memuat makna yang integral dan saling melengkapi dalam rangka mencapai tujuan yang sama. Sebab setiap proses pendidikan, didalamnya terdapat proses pengajaran. Demikian pula sebaliknya, proses pengajaran tidak akan banyak berarti apabila tidak dibarengi dengan proses pendidikan.
Adapun tujuan pendidikan menurut Hamka memiliki dua dimensi;  bahagia di dunia dan di akhirat. Untuk mencapai tujuan tersebut, manusia harus menjalankan tugasnya dengan baik, yaitu beribadah. Oleh karena itu, segala proses pendidikan pada akhirnya bertujuan agar dapat menuju dan menjadikan anak didik sebagai abdi Allah.
Dengan demikian, tujuan pendidikan Islam,  menurut Hamka, sama dengan tujuan penciptaan manusia itu sendiri, yaitu untuk mengabdi dan beribadah kepada Allah. Ia mengatakan bahwa ibadah adalah “mengakui diri sebagai budak atau hamba Allah, tunduk kepada kemauan-Nya, baik secara sukarela maupun terpaksa.”[6]
3.   Materi dan Metode Pendidikan
Materi pendidikan dalam pandangan Hamka pada dasarnya berkisar antara ilmu, amal, akhlak dan keadilan. Ketiga konsep sangat tersebut mendasari  proses pendidikan tersebut. Pertama, ilmu. Menurut Hamka ilmu ada dua macam, Ilmu yang bersumber dari dari wahyu dan mutlak kebenarannya, yang disebut dengan al-ulum an naqliyah, dan ilmu yang bersumber dari akal manusia yang relatif kebenarannya, biasanya disebut dengan al-‘ulum al-‘aqliyah.
Kedua, amal dan akhlak. Dalam pandangan Hamka, ternyata bahwa ilmu yang hanya dibarengi iman tidaklah cukup, namun harus pula diiringi dengan amal, kerja, atau usaha. Ketiga, keadilan. Hamka mendefinisikan keadilan dengan ‘tegak di tengah’. Dan secara lebih lengkap Hamka menjelaskan, keadilan sebagai pertahanan yang memikat hati dan menyebabkan orang takluk dan patuh dengan segala kerendahan hati.[7]
Dalam buku lain dijelaskan bahwa menurut Hamka, materi pendidikan Islam dapat dibagi kepada empat bentuk, yaitu:
a.       Ilmu-ilmu agama, seperti tauhid, fiqih, tafsir, hadits, nahwu, shorof, mantiq, dan lain-lain. Pelaksanaan pendidilkan agama merupakan suatu kemestian pada setiap lembaga pendidikan untuk menjadi alat kontrol dan pewarna kepribadian peserta didik.
b.      Ilmu umum, seperti sejarah, filsafat, kesusastraan, ilmu berhitung, falak, dan sebagainya. Dengan ilmu-ilmu tersebut, akan membuka wawasan keilmuan terhadap peserta didik dalam perkembangan zaman.
c.       Keterampilan, seperti berbaris akan menjadikan hidupnya teratur dan bisa diatur, sementara memanah, berperang, berenang, dan berkuda akan membuat tubuhnya sehat dan kuat.
d.      Kesenian, seperti ilmu musik, menggambar, menyanyi, dan memahat. Dengan ilmu ini peserta didik akan memiliki rasa keindahan dan akan memperhalus budi rasanya.
Agar proses pendidikan bisa terlaksana secara efektif dan efisien, seorang guru hendaknya mempergunakan berbagai macam pendekatan dan metode pendidikan yang bisa mengantarkan peserta didik memahami semua yang diajarkan secara baik. Diantara metode pendidikan itu adalah:
1.      Diskusi
proses bertukar pikiran antara dua belah pihak, proses ini bertujuan untuk mencari kebenaran melalui dialog dengan penuh keterbukaan dan persaudaraan.
2.      Karya wisata
mengajak anak mengenal lingkungannya, dengan ini sang anak akan memperoleh pengalaman langsung serta kepekaan terhadap sosial.



3.      Resitasi
Memberikan tugas seperti menyerahkan sejumlah soal untuk dikerjakan, dimaksudkan agar anak didik memiliki rasa tanggung jawab terhadap amanat yang diberikan kepadanya.[8]
Dalam buku lain dijelaskan metode pendidikan menurut Hamka, yaitu:
1.      Amar ma’ruf nahi mungkar, menyuruh berbuat baik dan mencegah berbuat jahat.
2.      Observasi, memberikan penjelasan dan pemahaman tauhid kepada peserta didik. Metode ini digunakan agar peserta didik lebih mengenal Tuhannya.[9]
4.      Tugas dan Tanggung Jawab Pendidik
Tugas pendidik secara umum adalah memantau  mempersiapkan dan mengantarkan peserta didik untuk memiliki ilmu pengetahuan yang luas, berakhlak mulia dan bermanfaat bagi kehidupan masyarakat secara luas. Dengan pelaksanaan pendidikan yang demikian peserta didik diharapkan mampu mewujudkan tujuan hidupnya baik secara horizontal (kholifah fil ard) maupun vertikal (‘abd Allah). Dalam hal ini setidaknya ada tiga intitusi atau pihak yang ikut andil dalam bertugas dan bertanggungjawab dalam pelaksanaan pendidikan yaitu:
a.    Lembaga pendidikan informal
Keluarga merupakan lembaga yang mempengaruhi perkembangan akhlak dan pola pikir anak, dan hanya keluarga yang demokratis akan mampu mengembangkan dinamika secara maksimal.
b.    Lembaga pendidikan formal
            Sekolah merupakan lembaga pendidikan yang tersusun secara terencana dan sistematis. Sekolah bertugas mengembangkan seluruh potensi yang ada dalam peserta didik secara maksimal sehingga memiliki sejumlah kemampuan yang dapat dipergunakan untuk melaksanakan fungsinya di tengah-tengah masyarakat. Dalam hal ini seorang guru bertugas membimbing peserta didiknya untuk memiliki ilmu yang luas, berakhlak mulia, dan bermanfaat bagi masyarakat luas.
c.   Lembaga pendidikan non formal
Masyarakat merupakan lembaga pendidikan yang sangat luas dan berpengaruh dalam proses pembentukan kepribadian seorang anak. Lembaga ini merupakan lembaga pendukung dalam pelaksanaan proses pendidikan secara praktis. Sesuai dengan fitrahnya yakni makhluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa adanya interaksi  dan membutuhkan bantuan orang lain yang ada di sekitarnya.[10]
5.      Tugas dan Tanggung Jawab peserta didik
Menurut Buya Hamka tugas dan tanggung jawab peserta didik ialah berupaya mengembangkan potensi yang dimilikinya dengan seperangkat ilmu pengatahuan sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan yang telah dianugerahkan oleh Allah SWT melalui fitrah-Nya. Sebagai seorang yang berupaya mencari ilmu pengetahuan maka peserta didik dituntut untuk:
a. Jangan putus asa.
b. Jangan lalai.
c. jangan merasa terhalang karena faktor usia.
d. berusaha agar tingkah lakunya sesuai dengan ilmu yang dimiliki.
e. Memperbagus tulisan agar mudah dibaca.
f. Sabar dan meneguhkan hati.
g. Mempererat hubungan dengan guru.
h. Khusyu’dan tekun.
i. Berbuat baik pada orang tua dan abdikan ilmu untuk maslahat umat.
j. Jangan menjawab sesuatu yang tidak berfaedah.
k. Menganalisa fenomena alam semesta secara seksama dan bertafakur[11]
6.      Analisa pemikiran
Dengan penjelasan pemikiran pendidikan Hamka di atas dapat diketahui  Pendidikan pada dasarnya berkisar antara ilmu, amal, akhlak, dan keadilan. Ketiganya merupakan suatu konsep yang harus saling keterkaitan dalam proses pendidikan. Dan pendidikan bagi manusia bukan hanya bagi pemenuhan kepentingan internal sebagai makhluk yang dinamis, akan tetapi juga kepentingan eksternal, yaitu tertatanya peradaban umat manusia secara kaffah dan harmonis.
Melalui pemikirannya, Hamka memperlihatkan relevansi yang harmonis antara ilmu-ilmu agama dan umum. Eksistensi agama bukan hanya sekedar melegitimasi sistem sosial yang ada, melainkan juga perlu memperhatikan dan mengontrol perilaku manusia secara baik. Perilaku sistem sosial akan lebih hidup tatkala pendidikan yang dilaksanakan ikut mempertimbangakan dan mengayomi dinamika fitrah peserta didik serta mengintegralkan perkembangan ilmu-ilmu agama dan umum secara profesional. Dengan pendekatan seperti ini pendidikan akan dapat memainkan peranannya sebagai motivator dan sekaligus pengendali sistem sosial (social control) secara efektif.














BAB III

PENUTUP


A.    Simpulan
Hamka adalah singkatan nama dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah Datuk Indomo. Ia lahir di Sungai Batang Maninjau Sumatra Barat, pada tanggal 16 Februari 1908 M. Ia meninggal pada tanggal 22 Juli 1981 di Rumah Sakit Pertamina Jakarta dalam usia 72 tahun.
Secara formal, pendidikan yang ditempuh HAMKA tidaklah tinggi. Hanya sampai kelas 3 di sekolah desa. Di usia yang sangat muda HAMKA sudah melalangbuana. Hingga sampai di usia tua ia sukses dalam segala bidang yang ia tekuni. Ia seorang mubaligh, ahli agama, sastrawan, sekaligus wartawan.
Pemikiran HAMKA dalam bidang pendidikan lebih menekankan pada ilmu pegetahuan yang menuju kebahagiaan dunia dan akhirat di mana di dalamnya ia mempunyai pemikiran tentang urgensi pendidikan, pengertian dan tujuan, materi dan metode pendidikan, tugas dan tanggung jawab pendidik, serta tugas dan tanggung jawab peserta didik.

B.     Saran
Penulis mengharapkan agar apa yang sudah dijelaskan di atas dapat dipahami oleh pembaca. Selanjutnya kritik dan saran dari pembaca sebagai pembangun sangat diharapkan guna perbaikan dalam pembuatan makalh selanjutnya.
                









DAFTAR PUSTAKA


Kurniawan, Samsul dan Erwin Mahrus. 2011. Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Mohammad, Herry. 2006. Tokoh-tokoh Islam Yang Berpengaruh Abad 20. Jakarta: Gema Insani
Ramayulis dan Samsul Nizar. 2005. Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Ciputat Press Group.
Susanto, A. 2009. Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.



[1] A.Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam (Jakarta: Amzah, 2009), hlm. 100
[2] Herry Mohammad, dkk, Tokoh-Tokoh Islam Yang Berpengaruh Abad 20 (Jakarta: Gema Insani Press, 2006), hlm. 60-62
[3] A.Susanto, Op. Cit., hlm. 103
[4] A. Susanto, Op. Cit, hlm. 105-106
[5] Ramayulis dan Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Ciputat Press Group, 2002), hlm. 265
[6] Syamsul Kurniawan dan Erwin Mahrus, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hlm. 230-231
[7] A. Sutanto, Op. Cit, hlm. 107- 109
[8] Ramayulis dan Mamsul Nizar, Op.Cit. hlm. 278-282
[9] Syamsul Kurniawan dan Erwin Mahrus, Op. Cit, hlm 246
[10]  Ramayulis dan Samsul Nizar, Op.Cit. hlm. 268-274
[11]Ramayulis dan Samsul Nizar, Op.Cit. hlm. 274-277 

1 komentar

Gufran Ma'ruf 1 Juli 2019 pukul 20.36

Lanjutkan,dan lebih ditingkatkan kreativitas

Posting Komentar