MAKALAH
AHLI
WARIS DAN PEMBAGIAN
DZAWIL
FURUDL, ASHABAH DAN DZAWIL ARHAM
Disusun guna
memenuhi tugas :
Mata Kuliah :
Fiqih III
Dosen Pengampu
: Ambar Hermawan,
Disusun oleh :
Dani Robbina 202 1112 137
Ibrohim 202 1112 184
Naili Akmalia 202 1112 192
Syafa’atul Azmi 202 1112 019
Kelas :
JURUSAN
TARBIYAH PROGAM STUDI PAI
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN)
PEKALONGAN
2014
A.
Pengertian Ahli Waris
Kata “ahli waris” dalam
bahasa arab disebut “الوارث “ –yang secara bahasa berarti keluarga–tidak secara otomatis ia dapat
mewarisi harta peninggalan pewarisnya yang meninggal dunia. Karena
kedekatan hubungan keluarga juga dapat mempengaruhi kedudukan dan hak-haknya
untuk mendapatkan warisan. Terkadang yang dekat menghalangi yang jauh, atau ada
juga yang dekat tetapi tidak dikategorikan sebagi ahli waris yang berhak
menerima warisan, karena jalur yang dilaluinya perempuan.
Sedangkan pengertian ahli
waris (الوارث ) secara istilah adalah
orang yang menerima atau memiliki hak warisan dari tirkah (harta
peninggalan) orang yang meninggal dunia (pewaris). Untuk berhaknya
dia menerima harta warisan itu diisyaratkan dia telah dan hidup saat terjadinya
kematian pewaris. Dalam hal ini termasuk pengertian ahli waris janin yang telah
hidup dalam kandungan, meskipun kepastian haknya baru ada setelah ia lahir
dalam keadaan hidup. Hal ini juga berlaku terhadap seseorang yang belum pasti
kematiannya. Tidak semua ahli waris mempunyai kedudukan yang
sama, melainkan mempunyai tingkatan yang berbeda-beda secara tertib sesuai
dengan hubungnnya dengan si mayit.
B.
Klasifikasi ahli waris
Pembahasan mengenai klasifikasi ahli
waris sebenarnya dapat dilihat dari pelbagai segi. Pertama, jenis
kelamin ; yaitu kelompok ahli waris laki-laki dan perempuan. Kedua,
kelompok ahli waris malalui hubungan kekerabatan dan kelompok ahli waris karena pernikahan
(suami atau istri). Ketiga, kelompok ahli waris dari segi keutamaan
dalam medapat bagian; kelompok ini dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok
ahli waris yang mendapat bagian tertentu dan ahli waris yang tidak mendapat
bagian tertentu.
Dalam kaitannya dengan hal ini
patrilianisme. Merinci atas tiga macam yaitu : dzawil furudl, ashabah, dan dzawil
arham..
1.
Dzawil Furud
Dzawul al-Furud
adalah Golongan yang hak warisnya mengandung kepastian, berdasarkan ittifaq
oleh para ulama atau sarjana hukum Islam.
Golongan ahli waris yang telah disepakati hak warisnya terdiri atas
15 orang laki-laki dan 10 orang perempuan.
1.
Kelompok
ahli waris laki-laki :
a.
Anak
cucu laki-laki.
b.
Cucu
laki-laki dari anak laki-laki dan seterusnya kebawah.
c.
Ayah.
d.
Kakek
(dari ayah) dan seterusnya keatas.
e.
Saudara
laki-laki seibu seayah.
f.
Saudara
laki-laki seayah.
g.
Saudara
laki-laki seibu.
h.
Kemenakan
laki-laki (anak laki-laki dari huruf e).
i.
Kemenakan
laki-laki (anak laki-laki dari huruf f) seterusnya kebawah berturut-turut yang
keluar dari jurusan laki-laki.
j.
Saudara
ayah (paman) yang seibu seayah.
k.
Saudara ayah (paman) yang seayah.
l.
Huruf
j dan k tersebut, dan seterusnya keatas berturut-turut dari jurusan laki-laki
termasuk di dalamnya, paman ayah, paman kakek dan seterusnya.
m.
Anak paman yang seibu seayah (anak laki-laki
dari huruf j).
n.
Anak paman yang seayah (anak laki-laki dari
huruf k).
o.
Huruf
L & M tersebut, dan seterusnya ke bawah berturut-turut dari jurusan
laki-laki.
p.
Suami.
q.
Orang
laki-laki yang memerdekakannya.
Tetapi andaikata semua ahli waris tersebut diatas ada semuanya,
tidaklah semuanya mendapatkan warisan, hanya ada tiga orang saja yang mendapatkan
warisan, yakni;
a.
Ayah
b.
Anak
c.
Suami
2.
Kelompok
Ahli Waris Perempuan :
a.
Anak
Perempuan.
b.
Anak
perempuan dari laki-laki & seterusnya ke bawah berturut-turut dari jurusan
laki-laki.
c.
Ibu
d.
Nenek
Perempuan (ibunya ibu) dan seterusnya berturut-turut dari jurusan perempuan.
e.
Nenek
Perempuan (ibunya ayah) dan seterusnya ke atas yang melulu dari jurusan ayah
(laki-laki).
f.
Saudara
Perempuan yang seibu seayah.
g.
Saudara
Perempuan yang seayah.
h.
Saudara
Perempuan yang seibu
i.
Isteri.
j.
Orang
Perempuan yang memerdekakannya. Kalau seandainya sepuluh orang tersebut
semuanya ada, maka yang mendapatkan warisan hanya lima orang saja, yaitu :
· Anak Perempuan.
· Anak Perempuan dari anak laki-laki.
· Ibu.
· Saudara perempuan seibu ayah, dan
· Isteri.
Andaikata semua ahli waris dua puluh lima orang tersebut semuanya
ada, maka yang mendapatkan warisan ialah :
a.
Ayah.
b.
Ibu.
c.
Anak
laki-laki
d.
Anak
perempuan.
e. Suami/Istri.
Ashhabul Furudh
Ashhabul furudh adalah orang yang memiliki satu diantara enam bagian yang telah
ditentukan, yaitu ½, ¼, 1/8, 1/3, 2/3 dan 1/6.
Ashhabul furudh ada dua belas orang, empat diantaranya laki-laki, yaitu bapak,
kakek yang sah dan terus ke atas, saudara laki-laki seibu dan suami. Dan
delapan diantaranya perempuan, yaitu istri, anak perempuan, saudara perempuan
sekandung (sebapak seibu), saudara perempuan sebapak, saudara perempuan seibu,
anak perempuan dari anak laki-laki, ibu, dan nenek yang sah dan terus ke atas.
Berikut ini
penjelasan tentang bagian masing-masing dari mereka secara terperinci.
1.
Bapak
Bapak memiliki
tiga kondisi : satu kondisi yang didalamnya dia mewarisi dengan bagian yang
telah ditentukan, satu kondisi yang didalamnya dia mewarisi sebagai ‘ashabah,
dan satu kondisi yang didalamnya dia mewarisi dengan bagian yang telah
ditentukan dan sebagai ‘ashabah sekaligus.
Kondisi
pertama, bapak mewarisi dengan bagian yang telah ditentukan jika bersamanya
terdapat cabang laki-laki yang mewarisi, baik sendirian maupun bersama yang
lain. Dalam kondisi ini, bagian bapak adalah seperenam.
Kondisi kedua,
bapak mewarisi sebagai ‘ashabah jika si mayit tidak memiliki cabang
laki-laki yang mewarisi. Bapak mengambil semua warisan jika dia sendirian atau
mengambil sisa ashhabul furudh jika bersamanya ada seorang diantara
mereka.
Kondisi ketiga,
bapak mewarisi dengan bagian yang telah ditentukan dan sebagai ‘ashabah
sekaligus jika bersamanya ada cabang perempuan yang mewarisi. Dalam kondisi
ini, bapak mengambil bagian seperenam, lalu mengambil sisa dari ashhabul
furudh sebagai ‘ashabah.
2.
Kakek
yang Sah
Kakek ada yang
sah dan ada yang tidak sah. Kakek yang sah adalah yang mungkin dinisbatkan
kepada si mayit tanpa diselai dengan seorang perempuan, seperti bapak dari
bapak. Dan kakek yang tidak sah adalah yang tidak dinisbatkan kepada si mayit
kecuali disela oleh seorang perempuan, seperti bapak dari ibu.
Kakek yang sah
berhak mendapatkan warisan berdasarkan ijma’. Imran bin Hushain
meriwayatkan bahwa seorang laki-laki datang kepada Nabi s.a.w. dan berkata,
“Sesungguhnya anak laki-laki dari anak laki-lakiku meninggal. Apa yang berhak
ku peroleh dari warisannya?” Beliau berkata, “Kamu berhak memperoleh
seperenam.” Ketika laki-laki itu hendak pergi, beliau memanggilnya dan berkata,
“Kamu berhak mendapatkan seperenam yang lain.” Ketika laki-laki itu hendak
pergi, beliau memanggilnya dan berkata, “Seperenam yang lain itu adalah
rezeki.”
Hak kakek yang
sah tanggal dengan keberadaan bapak. Dan kakek menggantikan posisi bapak ketika
bapak tidak ada, kecuali dalam tiga perkara berikut ini :
1.
Ibu dari
bapak tidak mewarisi bersama adanya bapak karena dia dinisbatkan kepada si
mayit melalui bapak, tetapi dia mewarisi bersama adanya kakek.
2.
Jika
si mayit meninggalkan bapak, ibu dan suami atau istri, maka ibu mendapatkan
sepertiga dari apa yang tersisa setelah suami atau istri mengambil bagiannya.
Adapun jika kakek menempati posisi bapak, maka ibu mendapatkan sepertiga dari
keseluruhan harta. Ini dinamakan degan perkara umariyyah karena umarlah
yang memutuskan perkara tersebut, sebagaimana juga dinamakan dengan gharra’iyyah
karena kemasyhurannya seperti bintang yang menonjol (Kaukabagharr).
Sementara itu, Ibnu Abbas menentang hal itu dan mengatakan bahwa ibu
mendapatkan sepertiga dari keseluruhan.
3.
Jika
bapak ada, maka dia menghalangi saudara-saudara laki-laki dan saudara-saudara
perempuan sekandung, serta saudara-saudara laki-laki dan saudara-saudara
perempuan sebapak. Adapun kakek, dia tidak menghalangi mereka. Ini pendapat
Asy-Syafi’i, Abu Yusuf, Muhammad, dan Malik. Sementara itu, Abu Hanifah
berpendapat bahwa kakek menghalangi mereka, sebagaimana bapak menghalangi
mereka. Tidak ada perbedaan di antara keduanya.
Undang-Undang
Warisan menganut pendapat pertama. Pada pasal 22 disebutkan, “Jika kakek
berkumpul dengan saudara-saudara laki-laki dan saudara-saudara perempuan
sebapak-seibu atau sebapak saja, maka dia memiliki dua kondisi. Pertama,
dia berbagi dengan mereka seperti seorang saudara laki-laki jika mereka adalah
para laki-laki, atau para laki-laki dan para perempuan, atau para perempuan
yang menjadi ‘ashabah karena adanya cabang perempuan yang mewarisi. Kedua,
dia mengambil sisa ashhabul furudh sebagai ‘ashabah jika dia
bersama saudara-saudara perempuan yang tidak menjadi ‘ashabah dengan
adanya saudara laki-laki atau dengan adanya cabng perempuan. Hanya saja, jika
pembagian dan pewarisan dengan cara yang telah disebutkan ini menghalangi kakek
dari warisan atau mengurangi haknya, maka dia dianggap sebagai pemilik bagian
seperenam. Dan dalam pembagian, saudara-saudara laki-laki dan saudara-saudara
perempuan sebapak yang terhalangi tidak diperhitungkan.
3.
Saudara
Seibu
Allah SWT
berfirman yang artinya :
“ . . . Jika
seseorang meninggal, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan
ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki
(seibu) atau seorang saudara perempuan (seibu), maka bagi masing-masing dari
kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu
lebih dari seorang, maka mereka bersama-sama dalam bagian yang sepertiganya itu
. .” (An-Nisa’ [4] : 12)
Yang dimaksud
dengan saudara laki-laki dan saudara perempuan di sini adalah saudara-saudara
seibu. Dan dari arti ayat ini tampak jelas bahwa mereka memiliki tiga kondisi
sebagai berikut :
1. Seorang saudara seibu, baik laki-laki maupun perempuan mendapatkan
seperenam.
2. Dua orang atau lebih saudara seibu mendapatkan sepertiga. Sama saja
antara laki-laki dan perempuan.
3. Mereka tidak mewarisi apa-apa dengan adanya cabang yang mewarisi,
seperti anak dan anak dari anak, dan dengan adanya pokok laki-laki yang
mewarisi seperti bapak dan kakek mereka tidak dihalangi oleh ibu atau nenek.
4.
Suami
Allah SWT.
berfirman yang artinya :
“Dan bagianmu
(suami-suami) adalah seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu,
jika mereka tidak mempunyai anak. Jika mereka (istri-istrimu) itu mempunyai
anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya . .
.”(An-Nisa [4] : 12)
Arti ayat ini
menujukkan bahwa suami memiliki dua kondisi.
Kondisi
pertama, di dalamnya suami mewarisi setengah. Itu terjadi ketika tidak ada
cabang yang mewarisi, yaitu anak laki-laki dan terus ke bawah, anak perempuan,
dan anak perempuan dari anak laki-laki, baik darinya maupun dari suami yang
lain.
Kondisi kedua,
di dalamnya suami mewarisi seperempat. Itu terjadi ketika ada cabang yang
mewarisi.
5.
Istri
Allah SWT.
berfirman yang artinya :
“ . . . Para
istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak
mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh
seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan . . . “ (An-Nisa [4] : 12)
Arti ayat ini
menjelaskan bahwa istri memiliki dua kondisi berikut :
Kondisi
pertama, dia berhak memperoleh seperempat ketika tidak ada cabang yang
mewarisi, baik darinya maupun dari istri yang lain.
Kondisi kedua,
dia berhak memperoleh seperdelapan ketika ada cabang yang mewarisi.
Jika terdapat
lebih dari seorang istri, maka mereka berbagi sama rata dalam seperempat atau
seperdelapan itu.
Istri yang Ditalak
Istri yang
ditalak dengan talak raj’i mewarisi suaminya jika sang suami meninggal
sebelum iddahnya berakhir.
Para ulama
mazhab Hanbali berpendapat bahwa perempuan yang ditalak sebelum bercampur dan
berkhalwat mewarisi suaminya yang menalaknya ketika sedang sakit menjelang
kematian, jika sang suami meninggal dalam sakitnya itu, selama dia belum
menikah lagi. Begitu pula perempuan yang ditalak setelah berkhalwat, selama dia
belum menikah lagi dan sedang menjalani iddah kematian.
Undang Undang
baru menganggap perempuan yang ditalak dengan talak ba’in ketika suaminya
sedang sakit menjelang kematian sebagai istri, jika dia tidak ridha dengan
penalakan tersebut dan sang suami meninggal dalam sakitya itu ketika dia masih
dalam masa iddahnya.
6.
Anak
Perempuan
Allah SWT. berfirman yang artinya :
“Allah mensyariatkan (mewajibkan)
kepadamu tentang (pembagian warisan) untuk anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang
anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Dan jika anak itu
semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua
pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika dia (anak perempuan) itu seorang
saja, maka dia memperoleh setengah (harta yang ditinggalkan) . . . “ (An-Nisa
[4] :11)
Ayat ini menunjukkan bahwa anak
perempuan memiliki tiga kondisi berikut :
Kondisi pertama, dia mendapat
setengah jika hanya seorang diri.
Kondisi kedua, dua anak perempuan
atau lebih mendapatkan dua pertiga jika bersama mereka tidak ada seorang anak
laki-laki atau lebih. Ibnu Qudamah berkata, “ Para ulama sepakat bahwa bagian
dua anak perempuan adalah dua pertiga, kecuali riwayat yang aneh dari Ibnu
Abbas sama seperti perdapat Jumhur.”
Kondisi ketiga, dia mewarisi sebagai
‘ashabah jika bersamanya ada seorang anak laki-laki. Dan bagian seorang
anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Demikian pula
halnya jika jumlah anak perempuan lebih dari satu atau jumlah anak laki-laki
lebih dari satu.
7.
Saudara
Perempuan Sekandung
Saudara
perempuan sekandung memiliki lima kondisi sebagai berikut:
1.
Seorang
saudara perempuan sekandung yang sendirian mendapatkan setengah jika bersamanya
tidak ada anak, anak dari anak laki-laki, bapak, kakek, atau saudara laki-laki
sekandung.
2.
Dua
orang saudara perempuan sekandung atau lebih mendapatkan dua pertiga ketika
orang-orang yang kita sebutkan ini tidak ada.
3.
Jika
bersama mereka ada seorang saudara laki-laki sekandung, sedangkan yang lain
tidak ada, maka dia menjadikan mereka sebagai ‘ashabah. Dan bagian
seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua orang saudara perempuan.
4.
Mereka
menjadi ‘ashabah bersama anak-anak perempuan atau anak-anak perempuan
dari anak laki-laki. Mereka mengambil sisa warisan setelah dikurangi bagian
anak-anak perempuan atau anak-anak perempuan dari anak laki-laki.
5.
Mereka
tanggal dengan adanya cabang laki-laki yang mewarisi, seperti anak laki-laki
dan anak laki-laki dari anak laki-laki, dan dengan adanya pokok laki-laki yang
mewarisi, seperti bapak dan kakek. Tanggalnya mereka dengan adanya bapak telah
disepakati oleh ulama. Sementara itu, tanggalnya mereka dengan adanya kakek
adalah pendapat Abu Hanifah yang ditenteng oleh Abu Yusuf dan Muhammad. Dan perselisihan
pendapat ini telah dijelaskan di atas.
8.
Saudara
Perempuan Sebapak
Saudara-saudara
perempuan sebapak memiliki enam kondisi sebagai berikut :
1.
Seorang
saudara perempuan sebapak mendapatkan setengah ketika dia sendirian dan tidak
disertai oleh saudara perempuan sebapak sepertinya, saudara laki-laki sebapak,
atau saudara perempuan sekandung.
2.
Dua
orang saudara perempuan sebapak atau lebih mendapatkan dua pertiga.
3.
Mereka
mendapatkan seperenam jika bersama mereka ada seorang saudara perempuan
sekandung yang sendirian untuk menggenapkan dua pertiga.
4.
Mereka
mewarisi sebagai ‘ashabah jika bersama mereka ada seorang atau lebih
saudara laki-laki sebapak. Dan bagian seorang saudara laki-laki sama dengan
bagian dua orang saudara perempuan.
5.
Mereka
mewarisi sebagai ‘ashabah jika bersama mereka ada seorang atau lebih
anak perempuan atau anak perempuan dari anak laki-laki. Mereka mendapatkan sisa
setelah di kurangi bagian anak prempuan atau anak perempuan dari anak
laki-laki.
6.
Mereka
tanggal dengan adanya orang-orang berikut ini :
·
Pokok
atau cabang laki-laki yang mewarisi.
·
Saudara
laki-laki sekandung.
·
Saudara
perempuan sekandung jika dia menjadi ‘ashabah bersama anak perempuan
atau anak perempuan dari anak laki-laki. Dalam kondisi ini saudara perempuan
sekandung menduduki posisi saudara laki-laki sekandung. Oleh karena itu, dia
didahulukan atas saudara laki-laki sebapak dan saudara perempuan sebapak.
·
Dua
orang saudara perempuan sekandung. Kecuali jika bersama mereka (saudara-saudara
perempuan sebapak) dalam tingkatan yang sama ada seorang saudara laki-laki
sebapak, maka dia menjadikan mereka sebagai ‘ashabah. Sisa warisan dibagi di
antara mereka. Dan bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua
orang saudara perempuan. Dengan demikian, jika si mayit meninggalkan dua orang
saudara perempuan sekandung, beberapa orang saudara perempuan sebapak, dan
seorang saudara laki-laki sebapak, maka kedua orang saudara perempuan sekandung
mendapatkan dua pertiga. Dan sisanya dibagi di antara saudara-saudara perempuan
dan laki-laki sebapak. Bagian seorang saudara laki-laki sebapak sama dengan
bagian dua orang saudara perempuan sebapak.
9.
Anak
Perempuan dari Anak Laki-laki
Anak-anak
perempuan dari anak laki-laki memiliki lima kondisi berikut ini :
1.
Seorang
anak perempuan dari anak laki-laki mendapatkan setengah ketika tidak ada anak
kandung.
2.
Dua
orang anak perempuan dari anak laki-laki mendapatkan dua pertiga ketika tidak
ada anak kandung.
3.
Seorang
atau lebih anak perempuan dari anak laki-laki mendapatkan seperenam ketika
bersama seorang anak perempuan kandung untuk menggenapkan dua pertiga. Kecuali
jika bersama mereka ada seorang cucu laki-laki yang setingkat dengan mereka,
maka dia menjadikan mereka sebagai ‘ashabah. Setelah dikurangi bagian
anak perempuan, sisa warisan dibagi di antara cucu-cucu ini. Bagian seorang
cucu laki-laki sama dengan bagian dua orang cucu perempuan.
4.
Mereka
tidak mewarisi jika ada anak laki-laki.
5.
Mereka
tidak mewarisi ketika ada dua anak perempuan kandung atau lebih. Kecuali jika
bersama mereka ada seorang anak laki-laki dari anak laki-laki yang sejajar
dengan mereka atau dari tingkatan di bawah mereka, maka dia menjadikan mereka
sebagai ‘ashabah.
10.
Ibu
Ibu memiliki
tiga kondisi berikut ini :
1.
Dia
mengambil seperenam jika bersamanya ada seorang anak, seorang anak dari anak
laki-laki, atau dua orang saudara laki-laki atau dua orang saudara perempuan
secara mutlak, baik sebapak dan seibu, sebapak saja, maupun seibu saja.
2.
Dia
mengambil sepertiga dari keseluruhan harta jika orang-orang yang telah
disebutkan ini tidak ada.
3.
Dia
mengambil sepertiga dari sisa ketika orang-orang yang telah disebutkan itu
tidak ada setelah dikurangi bagian suami atau istri. Ini terjadi dalam dua
perkara yang dinamakan gharra’iyyah. Perkara pertama, ketika si mayit
meninggalkan suami dan kedua orang tua. Perkara kedua, ketika si mayit
meninggalkan istri dan kedua orang tua.
11.
Nenek
Para nenek yang
sah memiliki tiga kondisi berikut ini :
1.
Bagian
mereka adalah seperenam. Jika hanya ada seorang nenek, maka dia memiliki bagian
ini sendirian. Dan jika ada lebih dari seorang nenek, maka mereka bersekutu di
dalamnya, dengan syarat tingkatan mereka sama, seperti ibu dari ibu dan ibu
dari bapak.
2.
Nenek
yang dekat, dari pihak mana pun, menghalangi nenek yang jauh. Ibu dari ibu,
misalnya menghalangi ibu dari ibu dari ibu dan juga menghalangi ibu dari bapak
dari bapak.
3.
Para
nenek, dari pihak mana pun, tanggal dengan adanya ibu. Nenek dari pihak bapak
juga tanggal dengan adanya bapak, tetapi nenek dari pihak ibu tidak tanggal
dengannya. Dan kakek juga menghalangi ibunya karena dia dinisbatkan kepada si
mayit melalui kakek.
‘Ashabah
Kata ‘ashabah
adalah jamak dari ‘ashib, seperti kata thalib dan thalabah.
Mereka adalah anak-anak dan kerabat seseorang dari pihak bapak. Dinamai
demikian karena sebagian dari mereka menguatkan sebagian yang lain.
Lafadz ini
diambil dari perkataan orang-orang Arab : ‘Ashaba al-qaumu bi fulan
(kaum itu mengelilingi fulan). Anak adalah satu ujung dan bapak adalah ujung
yang lain. Saudara adalah satu sisi dan paman adalah sisi yang lain.
Dan yang
dimaksud dengan ‘ashabah disini adalah orang-orang yang kepada mereka
sisa warisan diberikan setelah ‘ashhabul furudh mengambil bagian yang
telah ditentukan bagi mereka. Jika tidak ada sedikit pun yang tersisa, maka ‘ashabah
tidak mengambil apa-apa. Kecuali jika yang menjadi ‘ashabah adalah anak,
maka dia sama sekali tidak bisa dihalangi.
‘Ashabah juga adalah orang-orang yang berhak mendapatkan seluruh warisan
jika tidak ada seorang pun dari ‘ashabul furudh.
Ibnu Abbas
meriwayatkan bahwa Nabi s.a.w. Bersabda
“Berikanlah
bagian-bagian warisan kepada para pemiliknya. Dan apa saja yang tersisa, maka
itu adalah milik laki-laki yang paling dekat.”
Abu Hurairah
r.a meriwayatkan bahwa Nabi s.a.w. bersabda
“Tidak ada
seorang mukmin pun kecuali aku lebih utama baginya di dunia dan akhirat.
Bacalah jika kalian mau, ‘Nabi itu lebih utama bagi orang-orang mukmin daripada
diri mereka sendiri.’ Orang mukmin mana saja yang mati dan meninggalkan harta,
maka hendaklah dia diwarisi oleh ‘ashabahnya, siapa pun mereka. Dan barang
siapa meninggalkan utang atau dhaya, maka hendaklah dia datang kepadaku. Akulah
penolongnya.”
2.
Ashabah
Ahli waris ashabah ialah ahli waris yang tidak
ditentukan bagiannya, kadangkala mendapat bagian sisa (kalau ada dzawil
furudl), kadangkala tidak menerima sama sekali (kalau tidak ada sisa), tetapi
juga bisa mendapat semua harta jika tidak ada dzawil furudl.
Ahabah dibagi menjadi tiga macam: ahabah
karena dirinya sendiri (Ahabah bi nafsihi), ashabah karena yang lain (ashabah
bil-ghairi), dan ashabah bersama
yang lai (ashabah ma’al ghair).
1)
Ashabah
bi nafsihi
Ashabah bi nafs, yaitu laki-laki yang nasabnya kepada
pewaris tidak tercampuri kaum wanita, mempunyai empat arah :
a)
Arah
anak, mencakup seluruh laki-laki keturunan anak laki-laki mulai cucu, cicit,
dan seterusnya.
b)
Arah
bapak, mencakup ayah, kakek, dan seterusnya, yang pasti hanya dari pihak
laki-laki, misalnya: ayah dari bapak, ayah dari kakak, dan seterusnya.
c)
Arah
saudara laki-laki, mencakup saudara kandung laki-laki, saudara laki-laki
seayah, anak laki-laki keturunan saudara laki-laki seayah, dan seterusnya.
d)
Arah
paman, mancakup paman (saudara laki-laki ayah) kandung maupun yang seayah,
termasuk keturunan mereka, dan seterusnya.
Keempat arah
ashabah bi nafs tersebut kekuatannya sesuai urutan diatas. Arah anak lebih
didahulukan (lebih kuat) dari pada arah ayah, dan arah ayah lebih kuat dari
pada arah saudara.
2)
Ashabah
bi Ghairihi
Ashabah
ini hanya terbatas pada empat orang ahli waris yang kesemuanya wanita:
a)
Anak
perempuan, akan menjadi ashabah bila bersamaan dengan saudara laki-lakinya
(yakni anak laki-laki).
b)
Cucu
perempuan keturunan anak laki-laki akan menjadi ashabah bila berbarengan dengan
saudara laki-lakinya, atau anak laki-laki pamannya (yakni cucu laki-laki
keturunan anak laki-laki), baik sederajat dengannya atau bahkan lebih
dibawahnya.
c)
Saudara
kandung perempuan akan menjadi ashabah bila bersama saudara kandung laki-laki.
d)
Saudara
perempuan seayah akan menjadi ashabah bila bersamaan dengan saudara
laki-lakinya, dan pembagiannya bagian laki-laki dua kalilipat bagi perempuan
(2:1).
3)
Ashabah
ma’al Ghairi.
Ashabah
ini khusus bagi para saudara kandung perempuan maupun saudara perempuan seayah
apabila mewarisi bersamaan dengan anak perempuan yang tidak mempunyai saudara
laki-laki. Jadi saudara kandung perempuan ataupun saudara perempuan seayah bila
berbarengan dengan anak perempuan atau cucu perempuan keturunan anak laki-laki
dan seterusnya akan menjadi ashabah.
3.
Dzawil
Arham.
Dzawil arham atau dzul arham adalah
orang-orang yang dihubungkan nasabnya dengan pewaris karena pewaris sebagai
leluhur yang menurunkannya. Pengertian ini
khusus dikenakan pada hubungan darah melalui garis wanita saja, sebgai
kebalikan dari pengertian ashabah yang khusu dihubungkan dengan garis
laki-laki.
Penetapan bagian
Dalam pembahasan mengenai penetapan bagian ahli waris, uraian di
bawah ini akan diarahkan pada ahli waris yang termasuk dalam kelompok dzawil
furudl. Sedangkan uraian khusus mengenai dzawil furudl ini karena mempunyai
begain-bagian tertentu sebagaimana telah tercantumkan dalam kelompok ayat
kewarisan inti, maka bagiannya cukup jelas. Dalam hal ini berkisar pada 6 angka
yaitu : 2/3, ½, ¼. 1/3, 1/6, dan 1/8.
Bagian 2/3 sebagaimana tersebut dalam QS An-Nisa’: 11 dikhususkan
bagi dua anak perempuan, dan untuk saudara perempuan baik sekandung atau seayah
dalam hal kalalah.
0 komentar
Posting Komentar