BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Buya Hamka adalah sosok cendekiawan Indonesia yang
memiliki pemikiran membumi dan bervisi masa depan. Keterlibatan Hamka di
berbagai aspek keilmuan menunjukkan bahwa beliau adalah sosok yang cerdas,
penuh inspiratif dan masih banyak hal lain yang dapat kita adopsi untuk
mencetak generasi-generasi masa depan seperti Hamka.
Pandangan Hamka tentang
pendidikan adalah bahwa pendidikan sebagai sarana yang dapat menunjang dan
menimbulkan serta menjadi dasar bagi kemajuan dan kejayaan hidup manusia dalam
berbagai ilmu pengetahuan. Pendidikan tersebut tergabung dalam dua prinsip yang
saling mendukung, yaitu prinsip keberanian dan kemerdekaan berfikir. Bagi Hamka,
ilmu yang tidak diikuti dengan amal dan perbuatan tidak berguna bagi kehidupan.
Ilmu pengetahuan mesti diamalkan, bukan hanya untuk dipelajari saja.
Makalah
yang secara spesifik membahas kajian tokoh ini berusaha memberikan gambaran
bagaimana biografi Hamka, dan bagaimana pemikiran dan pengaruhnya terhadap
pendidkan Islam.
B. Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana biografi dari Hamka?
2.
Bagaimana setting sosial dari Hamka?
3.
Bagaimana pemikiran pendidikan Islam menurut Hamka?
C. Tujuan
1.
Mengetahui dan mendiskripsikan biografi dari
Hamka.
2.
Mengetahui dan mendiskripsikan setting sosial dari
Hamka.
3.
Mengetahui dan mendiskripsikan pemikiran
pendidikan Islam
menurut Hamka.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Biografi
Hamka adalah singkatan nama dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah
Datuk Indomo. Ia lahir di Sungai Batang Maninjau Sumatra Barat, pada tanggal 16
Februari 1908 M bertepatan dengan tanggal 13 Muharram 1326 H. Lahir dari
pasangan Haji Abdul Karim Amrullah dan Shafiyah Tanjung, sebuah keluarga yang
taat beragama. Ayahnya adalah seorang ulama besar dan pembawa paham-paham
pembaruan Islam di Minangkabau. Ia meninggal pada tanggal 22 Juli 1981 di Rumah
Sakit Pertamina Jakarta dalam usia 72 tahun.[1]
B.
Setting Sosial
Secara formal, pendidikan yang ditempuh HAMKA tidaklah tinggi. Hanya
sampai kelas 3 di sekolah desa. Lalu,
sekolah agama yang ia jalani di Padang panjang
dan Parabek juga tak lama, hanya selama tiga tahun.
Di usia yang sangat muda HAMKA sudah melalangbuana. Tatkala usianya
masih 16 tahun (pada tahun 1924), ia sudah meninggalkan Minangkabau, menuju
Jawa. Di Yogyakarta, ia berkenalan dan menimba ilmu tentang pergerakan kepada
para aktivisnya, seperti Haji Oemar Said Tjokroaminoto (Sarekat Islam), Ki
Bagus Hadikusumo (Ketua Muhammadiyah), K.H. Fakhrudin, dan RM Soerjopranoto.
HAMKA, bersama kaum muda aktivis, ikut kursus-kursus tentang pergerakan. Beberapa
bulan berikutnya ia pergi ke Pekalongan dan mukim di tempatnya A.R. Sutan
Mansyur, tokoh Muhammadiyah Pekalongan yang juga kakak iparnya. Di sini HAMKA
berkenalan lebih jauh dengan para tokoh Muhammadiyah di kota batik itu. Pertengahan
tahun 1925, HAMKA kembali ke Padangpanjang dan ikut mendirikan Tabligh
Muhammadiyah di rumah ayahnya.
Dua tahun setelah kembalinya dari Jawa, HAMKA pergi ke Mekkah untuk
menunaikan ibadah haji. Kesempatan ibadah haji itu ia manfaatkan untuk
memeperluas pergaulan dan bekerja. Selama enam bulan ia bekerja di bidang
percetakan Mekkah. Pulang dari Mekkah pada akhir tahun 1927. Ketika diadakan
Muktamar Muhammadiyah di Solo 1928 ia
menjadi peserta. Muktamar ini menjadikannya sebagai titik pijak untuk berkhidmat
di Muhammadiyah. Dari keaktifannya di Muhammadiyah tersebut ternyata telah
mengantarkannya ke berbagai daerah, termasuk Medan, tahun 1936. Di Medan inilah
peran HAMKA sebagai intelektual ulama dan ulama intelektual mulai terbentuk.
Hal tersebut bisa kita jumpai dari kesaksian Rusydi HAMKA, salah seorang
putranya.
Di Medan HAMKA memang bisa optimal mengaktualisasikan dirinya,
melalui Pedoman Masyarakat. Ia punya modal yang dibutuhkan oleh seorang intelektual
dan ulama sekaligus. Ia seorang mubaligh, ahli agama, sastrawan, sekaligus
wartawan. Di Medan pula ia berkenalan dengan beragam pemikiran di dunia. Inilah
modal yang mendukungnya. Dengan modal itu pula ia bisa menulis apa saja, mulai
dari pemikiran, falsafah, sampai dengan berita-berita kunjungan ke daerah.
Tapi, nasib seorang anak manusia memang bukan dia yang menentukan.
Ketika Jepang datang, kondisinya jadi lain. Pedoman Masyarakat dibredel,
aktivitas masyarakat diawasi, dan bendera merah putih dilarang dikibarkan.
Masyarakat Medan kecewa berat dengan Jepang. Tapi, pada saat yang bersamaan,
Jepang berhasil “merangkul” HAMKA dengan cara mengangkatnya menjadi “Syu
Sangi Kai atau Dewan Perwakilan Rakyat pada tahun 1944. Dan ketika
Jepang kalah lalu menyerah pada sekutu, HAMKA pun menjadi sasaran kritik yang
tak berkesudahan. Inilah yang menyebabkan HAMKA keluar dari Medan, menuju
Sumatra Barat.
Suratan takdir nampaknya tak membuat HAMKA surut dari perjuanagan.
Ia tetap aktif menggalang kekuatan untuk mempertahankan kemerdekaan, sekaligus
tetap menjadi juru dakwah. Pada tahun 1950 , ia pindah ke Jakarta dan menekuni
dua profesi, sebagai ulama sekaligus seorang pujangga. Pada pemilu tahun 1955,
HAMKA terpilih sebagai anggota parlemen dari Masyumi mewakili unsur
Muhammadiyah.
Setelah Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit tahun 1959, HAMKA
kembali ke habitatnya semula, dengan tetap berdakwah di medan poerjuangan
melawan kediktatoran Soekarno.[2]
Tahun 1975, beliau juga menjadi penasihat Kementrian Agama. Juga
pada tahun yang sama, HAMKA diangkat menjadi ketua Majelis Ulama Indonesia.[3]
C.
Pemikiran HAMKA tentang Pendidikan Islam
1.
Urgensi pendidikan
Pentingnya manusia mencari ilmu pengetahuan, menurut Hamka, bukan
hanya untuk membantu manusia memperoleh penghidupan yang layak, tetapi lebih
dari itu, dengan ilmu manusia akan mampu mengenal tuhannya, memperluas
akhlaknya, dan berupaya mencari keridhaan Allah. Hanya dengan bentuk pendidikan
yang demikian, manusia akan memperoleh ketentraman (hikmat) dalam hidupnya.
Ini berarti pendidikan dalam pandangan Hamka ternbagi menjadi dua
bagian; pertama, pendidikan jasmani, yaitu pendidikan untuk pertumbuhan
dan kesempurnaan jasmani serta kekuatan jiwa dan akal. Kedua, pendidikan
ruhani, yaitu pendidikan untuk kesempurnaan fitrah manusia dengan ilmu pengetahuan
dan pengalaman yang didasarkan kepada ilmu. Kedua unsur tersebut memiliki
kecenderungan untuk berkembang, dan untuk menumbuhkembangkan keduanya adalah
melalui pendidikan karena pendidikan merupakan sarana yang paling tepat dalam
menentukan perkembangan secara optimal
kedua unsur tersebut. Dalam pandangan Islam, kedua unsur dasar tesebut
dikenal dengan istilah fitrah.
Menurut Hamka, fitrah setiap manusia pada dasarnya menuntun
untuk senantiasa berbuat kebajikan dan tunduk mengabdi pada khaliqnya. Jika ada
manusia yang tidak berbuat kebajikan, maka sesungguhnya ia telah menyimpang
dari fitrah tersebut. Menurutnya, pada diri manusia, terdapat tiga unsur
utama yang dapat menopang tugasya sebagai khalifah fil ard maupun
‘abd Allah.
Ketiga unsur tersebut adalah
akal, hati dan pancaindra yang terdapat pada jasad manusia. Perpaduan unsur
tersebut membantu manusia memperoleh ilmu
pengetahuan dan membangun peradabannya,
memahami fungsi kekhalifahannya, serta menangkap tanda-tanda kebesaran Allah.[4]
Dengan pendidikan, manusia akan dapat mempertajam fitrah akal dan
mengontrol
nafsunya. Proses ini selanjutnya akan membantu manusia (khususnya peserta
didik) mampu mempertimbangkan perbuatannya dengan nilai baik dan buruk secara
bertanggungjawab. Manusia hanya bisa menata kehidupan dan peradabannya
apabila didukung dengan pendidikan yang baik.
Pentingnya pendidikan bagi manusia bukan hanya bagi pemenuhan
kepentingan internal sebagai mahluk yang dinamis, akan tetapi juga bagi
kepentingan eksternal, yaitu tertanya peradaban umat manusia secara kaffah dan
harmonis. Untuk itu eksisitensi pendidikan merupakan suatu kemestian dan hajat
hidup bagi setiap manusia. Melalui pendidikan manusia mampu menciptakan
peradaban yang tinggi dan mengenal eksisitensi dirinya, baik sebagai mahluk
individu, sosial, maupun bertuhan.[5]
2.
Pengertian dan Tujuan Pendidikan
Hamka
membedakan makna pendidikan dan pengajaran. Menurutnya, pendidikan adalah “serangkaian
upaya yang dilakukan pendidik untuk membantu membentuk watak, budi, akhlak, dan
kepribadian peserta didik”. Sementara pengajaran adalah “upaya untuk mengisi
intelektual peserta didik dengan sejumlah ilmu pengetahuan”. Perbedaan kedua
pengertian tersebut sebetulnya hanya pada maknanya saja, namun secara esensi ia
tidak membedakannya. Kedua kata tersebut memuat makna yang integral dan saling
melengkapi dalam rangka mencapai tujuan yang sama. Sebab setiap proses
pendidikan, didalamnya terdapat proses pengajaran. Demikian pula sebaliknya,
proses pengajaran tidak akan banyak berarti apabila tidak dibarengi dengan
proses pendidikan.
Adapun tujuan
pendidikan menurut Hamka memiliki dua dimensi;
bahagia di dunia dan di akhirat. Untuk mencapai tujuan tersebut, manusia
harus menjalankan tugasnya dengan baik, yaitu beribadah. Oleh karena itu, segala
proses pendidikan pada akhirnya bertujuan agar dapat menuju dan menjadikan anak
didik sebagai abdi Allah.
Dengan demikian,
tujuan pendidikan Islam, menurut Hamka, sama dengan tujuan penciptaan
manusia itu sendiri, yaitu untuk mengabdi dan beribadah kepada Allah. Ia
mengatakan bahwa ibadah adalah “mengakui diri sebagai budak atau hamba Allah,
tunduk kepada kemauan-Nya, baik secara sukarela maupun terpaksa.”[6]
3.
Materi dan Metode Pendidikan
Materi pendidikan dalam pandangan Hamka pada dasarnya berkisar
antara ilmu, amal, akhlak dan keadilan. Ketiga konsep sangat tersebut
mendasari proses pendidikan tersebut. Pertama,
ilmu. Menurut Hamka ilmu ada dua macam, Ilmu yang bersumber dari dari wahyu dan
mutlak kebenarannya, yang disebut dengan al-ulum an naqliyah, dan ilmu
yang bersumber dari akal manusia yang relatif kebenarannya, biasanya disebut
dengan al-‘ulum al-‘aqliyah.
Kedua, amal dan
akhlak. Dalam pandangan Hamka, ternyata bahwa ilmu yang hanya dibarengi iman
tidaklah cukup, namun harus pula diiringi dengan amal, kerja, atau usaha. Ketiga,
keadilan. Hamka mendefinisikan keadilan dengan ‘tegak di tengah’. Dan
secara lebih lengkap Hamka menjelaskan, keadilan sebagai pertahanan yang
memikat hati dan menyebabkan orang takluk dan patuh dengan segala kerendahan hati.[7]
Dalam buku lain
dijelaskan bahwa menurut Hamka, materi pendidikan Islam dapat dibagi kepada
empat bentuk, yaitu:
a.
Ilmu-ilmu agama,
seperti tauhid, fiqih, tafsir, hadits, nahwu, shorof, mantiq, dan lain-lain.
Pelaksanaan pendidilkan agama merupakan suatu kemestian pada setiap lembaga
pendidikan untuk menjadi alat kontrol dan pewarna kepribadian peserta didik.
b.
Ilmu umum,
seperti sejarah, filsafat, kesusastraan, ilmu berhitung, falak, dan sebagainya.
Dengan ilmu-ilmu tersebut, akan membuka wawasan keilmuan terhadap peserta didik
dalam perkembangan zaman.
c.
Keterampilan, seperti
berbaris akan menjadikan hidupnya teratur dan bisa diatur, sementara memanah, berperang, berenang, dan
berkuda akan membuat tubuhnya sehat dan kuat.
d.
Kesenian, seperti
ilmu musik, menggambar, menyanyi, dan memahat. Dengan ilmu ini peserta didik
akan memiliki rasa keindahan dan akan memperhalus budi rasanya.
Agar proses
pendidikan bisa terlaksana secara efektif dan efisien, seorang guru hendaknya
mempergunakan berbagai macam pendekatan dan metode pendidikan yang bisa
mengantarkan peserta didik memahami semua yang diajarkan secara baik. Diantara metode
pendidikan itu adalah:
1. Diskusi
proses bertukar pikiran antara dua belah pihak,
proses ini bertujuan untuk mencari kebenaran melalui dialog dengan penuh
keterbukaan dan persaudaraan.
2. Karya wisata
mengajak anak
mengenal lingkungannya, dengan ini sang anak akan memperoleh pengalaman
langsung serta kepekaan terhadap sosial.
3. Resitasi
Memberikan
tugas seperti menyerahkan sejumlah soal untuk dikerjakan, dimaksudkan agar anak
didik memiliki rasa tanggung jawab terhadap amanat yang diberikan kepadanya.[8]
Dalam buku lain
dijelaskan metode pendidikan menurut Hamka, yaitu:
1.
Amar ma’ruf
nahi mungkar, menyuruh berbuat baik dan mencegah berbuat jahat.
2.
Observasi,
memberikan penjelasan dan pemahaman tauhid kepada peserta didik. Metode ini
digunakan agar peserta didik lebih mengenal Tuhannya.[9]
4. Tugas dan Tanggung Jawab Pendidik
Tugas pendidik
secara umum adalah memantau mempersiapkan dan mengantarkan peserta didik
untuk memiliki ilmu pengetahuan yang luas, berakhlak mulia dan bermanfaat bagi
kehidupan masyarakat secara luas. Dengan pelaksanaan pendidikan yang demikian
peserta didik diharapkan mampu mewujudkan tujuan hidupnya baik secara
horizontal (kholifah fil ard) maupun vertikal (‘abd Allah). Dalam
hal ini setidaknya ada tiga intitusi atau pihak yang ikut andil dalam bertugas
dan bertanggungjawab dalam pelaksanaan pendidikan yaitu:
a.
Lembaga
pendidikan informal
Keluarga
merupakan lembaga yang mempengaruhi perkembangan akhlak dan pola pikir anak, dan
hanya keluarga yang demokratis akan mampu mengembangkan dinamika secara
maksimal.
b.
Lembaga pendidikan formal
Sekolah merupakan lembaga pendidikan yang
tersusun secara terencana dan sistematis. Sekolah bertugas mengembangkan
seluruh potensi yang ada dalam peserta didik secara maksimal sehingga memiliki
sejumlah kemampuan yang dapat dipergunakan untuk melaksanakan fungsinya di tengah-tengah
masyarakat. Dalam hal ini seorang guru bertugas membimbing peserta didiknya
untuk memiliki ilmu yang luas, berakhlak mulia, dan bermanfaat bagi masyarakat
luas.
c. Lembaga
pendidikan non formal
Masyarakat merupakan lembaga pendidikan yang
sangat luas dan berpengaruh dalam proses pembentukan kepribadian seorang anak. Lembaga ini merupakan lembaga pendukung dalam
pelaksanaan proses pendidikan secara praktis. Sesuai dengan fitrahnya yakni
makhluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa adanya interaksi dan
membutuhkan bantuan orang lain yang ada di sekitarnya.[10]
5. Tugas dan Tanggung Jawab peserta didik
Menurut Buya
Hamka tugas dan tanggung jawab peserta didik ialah berupaya mengembangkan
potensi yang dimilikinya dengan seperangkat ilmu pengatahuan sesuai dengan
nilai-nilai kemanusiaan yang telah dianugerahkan oleh Allah SWT melalui
fitrah-Nya. Sebagai seorang yang berupaya mencari ilmu pengetahuan maka peserta
didik dituntut untuk:
a. Jangan putus asa.
b. Jangan lalai.
c. jangan merasa
terhalang karena faktor usia.
d. berusaha
agar tingkah
lakunya sesuai dengan ilmu yang dimiliki.
e. Memperbagus
tulisan agar mudah dibaca.
f. Sabar dan meneguhkan hati.
g. Mempererat
hubungan dengan guru.
h. Khusyu’dan
tekun.
i. Berbuat baik pada orang tua dan abdikan ilmu
untuk maslahat umat.
j. Jangan menjawab sesuatu yang tidak berfaedah.
6. Analisa pemikiran
Dengan penjelasan pemikiran pendidikan Hamka di atas dapat diketahui Pendidikan pada dasarnya berkisar antara ilmu, amal, akhlak,
dan keadilan. Ketiganya merupakan suatu konsep yang harus saling keterkaitan
dalam proses pendidikan. Dan pendidikan bagi manusia bukan hanya bagi pemenuhan
kepentingan internal sebagai makhluk yang dinamis, akan tetapi juga kepentingan
eksternal, yaitu tertatanya peradaban umat manusia secara kaffah dan harmonis.
Melalui pemikirannya, Hamka memperlihatkan
relevansi yang harmonis antara ilmu-ilmu agama dan umum. Eksistensi agama bukan
hanya sekedar melegitimasi sistem sosial yang ada, melainkan juga perlu
memperhatikan dan mengontrol perilaku manusia secara baik. Perilaku sistem
sosial akan lebih hidup tatkala pendidikan yang dilaksanakan ikut
mempertimbangakan dan mengayomi dinamika fitrah peserta didik serta
mengintegralkan perkembangan ilmu-ilmu agama dan umum secara profesional.
Dengan pendekatan seperti ini pendidikan akan dapat memainkan peranannya
sebagai motivator dan sekaligus pengendali sistem sosial (social control)
secara efektif.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Hamka adalah singkatan nama dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah
Datuk Indomo. Ia lahir di Sungai Batang Maninjau Sumatra Barat, pada tanggal 16
Februari 1908 M. Ia meninggal pada tanggal 22 Juli 1981 di Rumah Sakit
Pertamina Jakarta dalam usia 72 tahun.
Secara formal, pendidikan yang ditempuh HAMKA tidaklah tinggi.
Hanya sampai kelas 3 di sekolah desa. Di
usia yang sangat muda HAMKA sudah melalangbuana. Hingga sampai di usia tua ia sukses dalam segala
bidang yang ia tekuni. Ia seorang
mubaligh, ahli agama, sastrawan, sekaligus wartawan.
Pemikiran HAMKA dalam bidang pendidikan lebih
menekankan pada ilmu pegetahuan yang menuju kebahagiaan dunia dan akhirat di
mana di dalamnya ia mempunyai pemikiran tentang urgensi pendidikan, pengertian
dan tujuan, materi dan metode pendidikan, tugas dan tanggung jawab pendidik,
serta tugas dan tanggung jawab peserta didik.
B.
Saran
Penulis mengharapkan agar apa yang sudah dijelaskan di atas dapat
dipahami oleh pembaca. Selanjutnya kritik dan saran dari pembaca sebagai
pembangun sangat diharapkan guna perbaikan dalam pembuatan makalh selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Kurniawan, Samsul dan Erwin Mahrus.
2011. Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Mohammad, Herry. 2006. Tokoh-tokoh
Islam Yang Berpengaruh Abad 20. Jakarta: Gema Insani
Ramayulis dan Samsul Nizar. 2005. Ensiklopedi
Tokoh Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Ciputat Press Group.
Susanto, A. 2009. Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta:
Bumi Aksara.
[2] Herry Mohammad, dkk, Tokoh-Tokoh Islam Yang Berpengaruh Abad 20 (Jakarta:
Gema Insani Press, 2006), hlm. 60-62
[3] A.Susanto, Op. Cit., hlm. 103
[4] A. Susanto, Op. Cit, hlm. 105-106
[5] Ramayulis dan Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Ciputat Press Group, 2002), hlm. 265
[6] Syamsul Kurniawan dan Erwin Mahrus, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hlm.
230-231
[7] A. Sutanto, Op. Cit, hlm. 107- 109
1 komentar
Lanjutkan,dan lebih ditingkatkan kreativitas
Posting Komentar