A. Naskh
1.
Pengertian Naskh
Kata Naskh menurut lughot bisa diartikan: النَّقْلُ(memindah atau menyalin), bisa juga diartikan: اْلاِزَالَةُ
(menghilangkan). Sedangkan menurut istilah ushuliyin adalah: “Khitob yang
menunjukan terhapusnya hukum yang ditetapkan oleh khitob terdahulu, dengan
gambaran seandainya tidak ada khitob kedua niscaya hukum tersebut akan tetap
berlaku sebagaimana semula, dan diisyaratkan khitob kedua lebih akhir daripada
khitob pertama”.[1]
Kata An-Nasikh berasal dari kata kerja “nasakh” (نَسَخَ) artinya, menghapus, dalam ilmu Nahwu kedudukannya adalah
sebagai isim fa’il (pelaku), yang menghapus, yang menghilangkan, yang
mencatat atau berubah. Sedangkan Al-Mansukh (اَلْمَنْسُوْخُ) dalam ilmu Nahwu kedudukanya adalah sebagai isim maf’ul
(penderita atau tujuan), artinya adalah yang dihapus, yang dihilangkan, yang
dicatat atau yang dirubah.
Maksudnya adalah bila ada satu ketentuan, peraturan, atau peraturan
yang menghapus ketentuan yang terdahulu itu disebut “mansukh” (اَلْمَنْسُوْخُ) artinya yang dihapus. Sedang yang datang kemudian, disebut “Al-Nasikh”
(اَلْناَسِخُ) artinya yang menghapus, peristiwa penghapusan disebut Nasakh
atau “Al-Naskhu” (اَلْنَسْخُ) menurut istilah ushul fiqih adalah :
رَفْعُ حُكْمِ شَرْعِيٍّ بِدَلِيْلٍ شَرْعِيٍّ مُتَاَخِرٍ
“Mengangkat suatu hukum syara’ dengan dalil syara’ yang datang
kemudian”
Maksudnya adalah, dengan datangnya hukum syara’ yang demikian itu,
maka terangkatlah atau batalah atau tidak berlaku hukum syara’ yang terdahulu.
Jadi berdasarkan ta’rif tersebut di atas, maka baik yang menghapus
ataupun yang dihapus adalah hukum syara’. Dengan demikian berarti tidak
termasuk hukum akal, hukum perasaan dan yang lainnya.[2]
Dari definisi tersebut, para ahli ushul fiqih mengemukakan bahwa naskh
itu baru dianggap benar apabila :
a.
Pembatalan itu dilakukan melalui tuntunan syara’ yang mengandung hokum
dari syara’ (Allah dan Rasul-Nya). Yang membatalkan ini disebut nasikh.
b.
Yang dibatalkan itu adalah hukum syara’, yang disebut mansukh.
c.
Hukum yang membatalakan hukum tedahulu, dan datangnya setelah hukum
yang pertama. [3]
2.
Adanya Naskh
Adanya naskh
dapat dibagi pada dua jenis, pertama, adanya naskh menurut akal,
dan kedua adanya naskh menurut naqal atau riwayat.
a.
Adanya Nasakh menurut akal telah disepakati oleh Ulama.
Dengan alasan bahwa, kepentingan manusia tidaklah selalu sama terus-menerus,
mungkin satu kepentingan hanya bermanfaat pada satu masa, sedang pada masa
sesudahnya membawa bahaya.
b.
Adanya Nasakh menurut riwayat adalah sebagaimana yang
disebutkan dalam riwayat Bukhari dan Muslim yang artinya sebagai berikut :
“Sesungguhnya Nabi SAW., berdiri menghadap ke Baitul Makdis dalam
shalat selama 16 bulan, kemudian di-nasakh (dihapuskan) yang demikian
dengan satu perintah untuk menghadap ke Ka’bah”. (HR. Bukhari dan Muslim).[4]
3.
Rukun Naskh
Dari uraian diatas, dapat diketahui bahwa rukun naskh ada
empat, yaitu :
a.
Adah al-naskh (اداة النسخ)
b.
Nasikh (الناسخ)
c.
Mansukh (المنسوخ)
4.
Syarat-syarat Nasakh
Mengenai hukum yang boleh dimansukh atau dihapus, para Ulama
memberikan beberapa syarat sebagai berikut :
a.
Hendaklah yang dimansukh itu adalah hukum syara.
Maksudnya yang
dimansukh itu tidak boleh keluar dari hukum syara’, atau dengan kata
lain tidak boleh mengenai hukum yang lainnya seperti :
v “Sesuatu yang
diwajibkan karena zatnya” seperti iman atau yang dilarang karena zatnya seperti
kufur.
v Hukum akal,
seperti alam itu baru.
v Hukum perasaan,
seperti api itu panas.
v Cerita-cerita
zaman dahulu seperti cerita-cerita Nabi dalam Al-Qur’an.
v Tentang
kejadian-kejadian yang akan datang, seperti berita tentang adanya hari kiamat.
b.
Hendaklah yang mennasakh adalah hukum syara’.
c.
Hendaklah yang dinasakh tidak terbatas atau dibatasi dengan
waktu yang tertentu.
d.
Hendaklah yang menasakh terpisah dari yang dinasakh,(yang
menasakh) lebih belakangan yang dinasakh.
e.
Hendaklah yang menasakh lebih kuat dari yang dinasakh.
5.
Macam-macam Naskh
a. Al-Kitab dinasakh
oleh Al-Kitab
b. Al-Kitab dinasakh
dengan As-Sunnah
c. As-Sunnah dinasakh
oleh As-Sunnah
d.
As-Sunnah dinasakh oleh Al-Kitab[6]
6.
Pendapat para ulama tentang Naskh
Jumhur ulama berpendapat bahwa naskh menurut logika boleh
saja dan secara syara’ telah terjadi. alasan mereka adalah firman Allah dalam
surat Al-Baqarah ayat 106 :
$tB
ô|¡YtR
ô`ÏB
>pt#uä
÷rr&
$ygÅ¡YçR
ÏNù'tR
9ös¿2
!$pk÷]ÏiB
÷rr&
!$ygÎ=÷WÏB
3 öNs9r&
öNn=÷ès?
¨br&
©!$#
4n?tã
Èe@ä.
&äóÓx«
íÏs%
ÇÊÉÏÈ
“ayat mana saja yang Kami naskhkan atau Kami jadikan (manusia) lupa
kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding
dengannya, tidaklah kamu mengetahui sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala
sesuatu”.
Selanjutnya dengan kesepakatan para ulama dalam menyatakan bahwa
syariat sebelum Islam telah dinaskhkan oleh syariat Islam, sebagaimana naskh
itu sendiri telah terjadi dalam beberapa hukum islam. Misalnya pemalingan
kiblat shalat dari arah baitul makdis ke Masjidil Haram, pergantian hukum khamr
dengan bertahap dan lain sebagainya.
Muhammad Abduh (mufasir
dan tokoh pembaharu dari Mesir), setelah menganalisis ayat-ayat yang mengandung
naskh yang dikemukakan jumhur ulama diatas, berpendapat bahwa naskh
lebih tepat diartikan sebagai penggantian, pengalihan (pemindahan) ayat hukum
yang ditempat ayat hukum lainnya. Dengan demikian, M. Quraish Shihab, mufasir
Indonesia, pengertian ini akan membawa kesimpulan bahwa semua ayat-ayat
al-Qur’an tetap berlaku, tidak ada yang kontradiktif, hanya saja terjadi
pergantian hukum bagi masyarakat (orang tertentu), karena adanya kondisi yang
berbeda. Namun ayat hukum yang tidak berlaku lagi bagi masyarakat tersebut
tetap berlaku bagi masyarakat (orang lain) yang kondisinya sama dengan kondisi
ketika hukum ayat yang diganti itu berlaku.
7.
Hikmah Naskh
Telah disepakati oleh ulama ushul fiqih, bahwa disyariatkan berbagai
hukum kepada manusia bertujuan untuk memelihara kemaslahatan manusia, baik di
dunia maupun di akhirat, selain tuntunan dari allah agar hambanya mematuhi
segala perintahnya dan menjauhi segala larangannya.
Dalam kaitan ini, syar’i(allah
SWT.) senantiasa memperhatikan dan mempertimbangkan kondisi yang ada di
masyarakat, sehingga kemaslahatan yang diinginkan syar’i itu bisa
tercipta dan terjamin. Kemungkinan saja, syar’i mensyariatkan satu hukum
pada suatu ayat, namun setelah ada perubahan situasi, kondisi dan lingkungan,
hukum itu tidak sejalan lagi dengan kemaslahatan yang dikehendaki syar’i.
Menurut Wahbah al-Zuhaili, sesuai dengan kehendak syar’i dan
tujuan yang ingin dicapai, maka syar’i mengubah hukum tersebut atau
menggantinya denagn hukum lain. Akan tetapi, lanjutnya, perubahan situasi yang
ada di umat tersebut bukan berarti tidak diketahui syar’i, bahkan Dia
sendirilah yang membuat perubahan itu. Hal ini menunjukan bahwa syari’at Islam
itu diturunkan kepada umat Islam secara berangsur-angsur dan mengikuti kondisi
umat itu sendiri. Oleh karenanya, persoalan naskh hanya berlaku metika
Rasulullah SAW., masih hidup. Setelah Beliau wafat tidak ada lagi naskh.
Dengan demikian, menurut Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi, adanya
konsep naskh berkaitan erat dengan pemeliharaan kemasahatan umat dan
fleksibilitas hukum Islam yang disyariatkan kepada umat Islam secara bertahap. [7]
A.
TARJIH
1.
Pengertian Tarjih
Tarjih
secara etimologi berarti menguatkan. Konsep tarjih muncul ketika terjadinya
pertentangan secara lahir antara satu satu dalil dengan dalil lainnya yang
sederajat dan tidak bisa diselesaikan dengan cara al –jam’u wat taufiq. Dalil
yang dikuatkan disebut rajih, sedangkan dalil yang dilemahkan disebut dengan
marjuh.
Tarjih adalah
menguatkan salah satu diantara dua dalil yang bertentangan tersebut berdasarkan
beberapa indikasi yang dapat
mendukungnya. Secara terminologi, ada dua defenisi tarjih yang dikemukakan para
ushul fiqih, yaitu: yang pertama Menurut Hanafiyah: Menampakan kelebihan
bagi salah satu dari dua dalil yang serupa atas yang lain dengan sesutau yang
tidak berdiri sendiri. Yang kedua menurut Jumhur
Ulama: Menguatkan
salah satu indikator dalil yang zhanni
atas yang lainnya untuk diamalkan (diterapkan).
Menurut mereka,
dalil yang bertentangan itu harus dalam kualitas yang sama, seperti
peretentangan ayat dengan ayat. Kemudian dalil tambhan pendukung salah satu
dalil yang bertentangan itutentangan, kar tidak berdiri sendiri. Artinya, dalil
pendukung itu tidak terpisah dari dalil yang saling bertentangan, karena
apabila ada dalil yang berdiri sendiri berarti dalil itu dapat dipakai untuk
menetapkan hukum, bukan dalil yang saling bertentangan tersebut.
Dari pengertian di atas maka unsur-unsur yang ada dalam tarjih
adalah :
a.
Adanya dua dalil
b.
Adanya sesuatu yang menjadikan salah satu itu lebih utama dari yang
lain.[8]
2.
Syarat-syarat Tarjih
a.
Yang menjadi soal itu satu masalah, tidak boleh berlainan. Misalnya
soal haji tersebut di atas, maka semua riwayatnta urusan haji.
b.
Dalil-dalill yang berlawanan harus sam akekuatannya, seperti
Qur’an,Qur’an dengan hadits mutawatir, dan hadits mutawatir dengan hadits
mutawatir pula. Jika yang bertentangan itu antara hadits mutawatir dan hadits
ahad, maka tidak perlu ada tarjih,sebab yang didahulukan ialah hadits
mutawatir, dan itulsh yang dipakai.
c.
Harus ada persesuaian hukum antara
keduanya, baik waktunya, tempatnya dan keadaanya. Misalnya larangan jual
beli sesudah ada adzan Jum’at, diwaktu yang lain jual-beli dibolehkan. Disini
tidak ada pertentangan karena berbeda waktunya.[9]
3.
Metode Tarjih
Para ulama’ ushul fiqh menegemukakan cukup banyak cara pentarjihan
yang bisa dilakukan, apabila anatara dua dalil, secra zhahir, terdapat
pertentangan dan tidak mungkin dilakukan al-jam’u wa al-taufiq atau naskh.
Cara
pentarjihan tersebut yaitu ada dua pengelompokan besar, yaitu:
a.
Tarjih bain al-Nushush الترجح بين النصوص
Untuk mengetahui kuatnya salah satu nash yang saling bertentangan.
Ada beberapa cara yang dikemuikakan para ulama’ ushul fiqh:
1)
Dari segi Sanad
Menurut
Imam al-Syaukani, pentarjih dapat dilakukan dengan 42 cara, yang diantaranya di
kelompokan kepada:
·
Menguatkan salah satu nash dari segi sanad-nya.
Untuk
itu, bisa dilakukan dari segi kuantitas para perawi, yaitu menguatkan hadits
yang sanadnya sedikit, karena kemungkinan terjadinya kesalahan dalam suatu
riwayat yang diriwayatkan oleh banyak perawinya snagt kecil. Pendapat
inidikemukakan oleh Jumhur Ulama’.
·
Pentarjihan dengan melihat riwayat itu sendiri
Yaitu
hadits mutawatir dikuatkan dari hadis masyhur (hadits yang diriwayatkan oleh
sejumlah orang banyak, tetapi tidak sampai ke tingkat mutawatir) dan hadits
masyhur lebih didahulukan dari hadis ahad. Yaitu bisa juga dilakukan dengan
cara melihat oersambungan sanadnya brrsambung ke Rasulullah saw dari hadis yang
sanadnya terputus.
·
Pentarjihan melalui cara menerima hadis itu dari Rasulullah
Yaitu menguatkan hadis yang langsung didengar oleh Rasulullah dari
pada hadis yang didengar melalui perantara orang lainatau tulisan. Dikuatkannya
juga riwayat yang lafal langsung dari Rasulullah ynag menunjukan kata kerj,
seperti lafal naha, amara, dan adzina.
2)
Dari segi Matan (Teks)
Matan
yang dimaksudkan di sini adalah teks ayat,hadis atau ijma’. Al Amidi
menegemukakannya menjadi 51 cara, diantaranya:
·
Teks yang mengandung larangan lebih didahulukan dari teks yang
mengandung oerintah, karena menolak segala kemundaratan lebih didahulukan dari
mengambil manfaat.
·
Teks yang mengandung perintah didahulukan dari teks yang menunjukan
kebolehan saja, karena dengan melaksanakan perintah, hukumnya bolehnya telah
terbawasekaligus.
·
Makna hakikat dari suatru lafal lebih didahulukan dari makna
majaznua, karena makna hakikat tersebut tidak memerlukan indikasi yang lain
untuk menguatkannya.
·
Dalil khusus lebih didahulukan dari dalikl yang umum
·
Teks yang yang sharih (jelas) didahulukan dari teks yang bersifat
sindiran (kinayah).
3)
Segi Hukum atau Kandungan Teks
Dari
segi hukum atau kandungan teks, al-Amidi mengemukakan sebelas cra pentarjihan,
sedangkan as-Syaukani menyederhanaknnya menjadi sembilan; diantaranya:
·
Apabila
salah satu hukum teks itu mengandung bahaya, sedagkan teks lain menyatakan
kebolehan saja, menurut jumhur yang mengandung bahaya itulah yang harus di
dahulukan.
·
Apabila
hukum yang dikandung suatu teks bersifat menetapkan, sedangkan yang lain
bersifat meniadakan, maka dalam seperti ini terjadi perbedaan pendapat
dikalangan ulama’. Menurut Syafi’iyah teks yang bersifat meniadakan
lebih didahulukan dari teks yang bersifat menetapkan. Sedangkan menurut
jumhur teks yang sifatnya menetapkan lebih di dahulukan.
·
Apabila teks
yang bertentangan itu salah satunya mengandung hukum menghindarkan terpidana
dari hukum, sedangkan teks yang lain mengandung hukum mewajibkan pelaksanaan
hukuman terhadap terpidana tersebut, maka teks yang mengandung hukum
menghindarkan itu lebih didahulukan, karena dengan adanya dua kemungkinan ini
hukuman tidak dapat dilaksanakan, sesuai dengan sabda Rosulullah SAW:
إدرؤوا الحدود بالشبهاة
“Tolaklah hukuman dalam jarimah hudud apabila terdapat keraguan”. (HR al-Baihaqi)
4)
Pentarjihan
dengan Menggunakan Faktor (dalil) lain di luar Nash
Al-Amidi mengemukakan lima belas
cara pentarjiahn dengan menggunakan faktor di luar nash dan Imam Syaukani meringkasnya
menjadi sepuluh cara, diantaranya:
·
Mendahulukan
salah satu dalil yang mendapatkan dukungan dari dalil lain, baik itu al-Qur’an,
Sunnah, Ijma’, Qiyas, maupun logika.
·
Mendahulukan
salah satu dalil yang sesuai dengan amalan penduduk Madinah atau yang diamalkan
al-Khulafa al-Rasyidun hal ini dikarenakan penduduk Madinah lebih banyak
mengetahui persoalan Turunnya al-Qur’an dan penafsiran ayat-ayat
al-Qur’annya.
·
Dikuatkan nash
yang menyebutkan illat hukumnya dari nash yang todak menyebutkan illatnya.
·
Menguatkan
dalil yang kandungannya menurut sikap waspada (Ihkstiyat) daripada dalil
lainnya yang tidak demikian.
·
Mendahulukan
nash yang dibarengi dengan perkataan atau perbuatan dari perawinya dari nash
yang tidak demikian halnya.
b. Tarjih bain
al-Aqyisah الترجح بين الأقيسة
Imam al-Syaukani
mengemukakan tujuh belas macam pentarjihan dalam persoalan qiyas yang
saling bertentangan, namun Wahbah Zuhaily meringkasnya menjadi dua belas,
diantarnya:
1)
Dari segi
hukum asal, yaitu dengan menguatkan qiyas yang hukum asalnya qath’i
dari qiyas yang hukum asalnya bersifat zhanni, karena yang qath’i
lebih kuat dari pada yang zhanni. Lalu yang selanjutnya menguatkan
landasan dalilnya adalah ijma’ dari qiyas yang landasan dalilnya nash,
karena nash bisa di takhsis, di ta’wil dan di nasakh. Sedanglan ijma’
tidak bisa di khususkan, dita’wilkan dan dibatasi.
2)
Dari segi
hukum furu’ (cabang), yaitu dengan menguatkan hukum furu’
yang kemudian dari asalnya (qiyas) yang hukum furu’nya lebih dahulu dari
hukum asalnya, kemudian juga dikuatkan hukum furu’ yang illat nya diketahui
secara qath’i dari hukum furu’ yang illat nya bersifat zhanni.
3)
Dari segi
illat, yaitu salah satunya dengan menguatkan illat yang disebutkan dalam nash
atau illat yang disepakati dari illat yang tidak disebutkan dalam nash atau
tidak disepakati keberadaannya sebagai illat, dan lain-lain.
4)
Pentarjihan qiyas
melalui faktor luar, yaitu dengan menguatkan qiyas yang didukung oleh
sejumlah illat dari qiyas yang hanya didukung satu illat. Lalu
yang selanjutnya harus dikuatkan qiyas yang didukung oleh fatwa sahabat.[10]
B.
Hukum Taklifi
1.
Pengertian
Adalah
sebuah hukum yang mengandung tuntutan (suruhan atau larangan) yakni: hukum yang
dibebabnkan oleh oleh syara’ untuk dikerjakan atau untuk ditinggalkan.[11]
2.
Pembagian hukum taklifi
a.
Wajib dalam pandangan jumhur
’ulama‘ wajib murodif (sinonim) dengan Fardhu yaitu tuntutan syara’ yang
bersifat untuk melaksanakan sesuatu dan tidak boleh ditinggalkan, orang yang
meninggalkan akan terkena sanksi.
b.
Sunnah atau mandub adalah sesuatu yang terpuji orang yang
melakukannya, dan tidak tercela orang yang meninggakannya.
c.
Haram atau mahdhur adalah sesuatu yang tercela orang yang
melakukannya, dan terpuji orang yang meninggalkannya.
d.
Makruh adalah tuntutan untuk melakukan sesuatu perbuatan, tetapi
tuntutan itu diungkapkan melalui redaksi yang tidak bersifat memaksa.
e.
Mubah adalah sesuatu yang mengandung pilihan, mengandung pilihan
antara berbuat dan tidak berbuat secara sama.[12]
Pembagian hukum taklifi
menurut ulama hanafiyyah
a.
Fardlu adalah tuntunan Allah terhadap mukallaf yang bersifat
memaksa dengan berdasarkan dalil yang Qoth’i.
b.
Wajib adalah tuntutan kepada mukallaf untuk melakukan suatu
perbuatan, tetapi melalui dalil yang bersifat dhonni.
c.
Mandub disini sama dengan nadb atau sunnah yang dikemukakan oleh
jumhur ulama.
d.
Ibahah juga sama
e.
Karohah tanzihiyyah adalah tuntutan Allah kepada mukallaf untuk
meninggalkan suatu pekerjaan, tetapi tuntutannya tidak bersifat memaksa.
f.
Karohah tahrimiyyah adalah tuntutan Allah kepada mukallaf untuk
meninggalkan suatu perbuatan dengan cara memaksa, tetapi didasarkan kepada
dalil yang dhonni.
g.
Tahrim adaah tuntutan kepada mukallaf untuk meninggalkan suatu
pekerjaan dengan cara memaksa didasarkan pada dalil yang qoth’i.
3.
Pembagian bentuk-bentuk hukum taklifi
a.
Pembagian hukum wajib.
1.
Dilihat dari segi waktu, hukum wajib terdiri atas dua bagian, yaitu
wajib muthlaq dan wajib muaqqot. Wajib muthlaq adalah sesuatu yang dituntut syar’i
utuk ditentukan waktunya, dan tidak tercela jika diakhirkan ke waktu lain
meskipun mampu melakukan secara segera. Wajib muaqqot adalah kewajiban yang
harus dilaksanakan orang mukallaf pada waktu-waktu tertentu, seperti sholat dan
puasa romadlon.
2.
Dilihat dari segi ukuran yang duwajibkan, hukum wajib dibagi
menjadi dua macam, yaitu wajib muhaddad dan wajib ghoiru muhaddad. Wajib
muhaddad adalah suatu kewajiban yang
ditentukan ukurannya oleh syara’ dengan ukuran tertentu. Seperti jumlah
roka’at dalam sholat. Wajib ghoiru muhaddad adalah kewajiban yang tidak
ditentukan oleh syara’ ukuran dan jumlahnya, tetapi diserahkan kepada para
ulama’ dan pemimpin ummat untuk menentukannya. Sebagia contoh adalah adanya
penentuan hukuman tindak pidana yang diserahkan kepada para hakim.
3.
Dilihat dari yang dibebani kewajiban, hukum wajib dibagi menjadi
wajib ’aini dan wajib kifa’i. Wajib ’aini adalah kewajiban yang ditujukan
kepada setiap pribadi orang mukallaf. Seperti kewajiban sholat atas mukallaf.
Wajib kifa’i kewajiban yang ditujukan kepada seluruh orang mukallaf, tetapi
bila telah dikerjakan oleh sebagaian dari mereka, maka kewajiban itu telah
terpenuhi dan orang yang tidak mengejakannya tidak dituntut untuk
melaksanakannya. Seperti dalam pelaksanaan sholat jenazah.
4.
Dilihat dari segi kandungan perintah, hukum wajib terbagi atasa
wajib mu’ayyan dan wajib mukhayyar. Wajib mu’ayyan adalah kewajiban yang
terkait dengan sesuatu yang diperintahkan, seperti membayar hutang, memenuhi
janji. Wajib mukhayyar adalah suatu kewajiban tertentu yang bisa dipilih oleh orang mukallaf. Seperti
dalam pilihan kifarat yang telah difirmankan oleh Allah dalam surat al-Maidah.
Yang mengemukakan bahwa kifarat sumpah itu terdiri atas –memberi makan sepuluh
orang fakir miskin, -atau memberi pakaian kepada mereka, -atau memerdekakan
budak.
b.
Pembagian hukum mandub
Hukum mandub terdiri atas beberapa macam
1.
Sunnah muakkadah, pekerjaan yang apabila dikerjakan mendapat pahal
dan apabila tidak dikerjakan tidak mendapat dosa, tetapi yang meninggalkannya mendapat
celaan. Misalnya adzan, sholat rowatib, sholat dengan berjamaah.
2.
Sunnah ghoiru muakkadah, perbuatan yang apabila dikerjakan mendapat
pahala dan apabila ditinggalkan tidak mendapat dosa serta tidak mendapat
celaan. Seperti halnya dalam kita melakukan shodaqoh.
3.
Sunnah zaidah adalah suatu pekerjaan untuk mengikuti apa yang
dilakukan oleh Rosulullah, sehingga apabila dikerjakan mendapat pahala dan
apabila tidak dikerjakan tidak mendapat dosa serta tidak mendapat cela.
Pekerjaan-pekerjaan ini merupakan sikap dan tindak-tanduk Rosullullah sebagai
manusia biasa, seperti cara tidur, cara berpakaian, cara makan.
c.
Pembagian hukum haram
Haram dapat dibagi atas dua macam, haram li dzatihi dan haram li
ghoirihi.
1.
Haram li dzatihi adalah suatu keharaman langsung sejak semula
ditentukan oleh syar’i. Misalnya berzina, memakan harta anak yatim.
2.
Haram li ghoirihi adalah suatu yang pada mulanya adalah di
syari’atkan, tetapi karena dibarengi sesuatu yang bersifat madhorot bagi
manusia, maka diharamkan. Keharamannya adalah disebabkan adanya madhorot
tersebut. Seperti sholat mamakai pakaian hasil ghoshob, berpuasa pada hari raya
’idul fithri.
d.
Makruh
Menurut ’ulama‘ Hanafiyyah membagi hukum makruh kedalam dua macam
yaitu makruh tanzih dan makruh tahrim.
1.
Makruh tanzih adalah sesuatu yang dituntut syar’i untuk
ditinggalkan, tetapi dengan tuntutan yang dhonni.
2.
Makruh tahrim adalah tuntutan syar’i untuk meninggalkan suatu
perbuatan , dan tuntutan itu bersifat qoth’i, akan tetapi didasarkan pada dalil
yang dhonni. Seperti larangan mengenakan sutera, emas dan perak bagi laki-laki.
e.
Mubah
Hukum mubah terbagi atas beberapa macam
1.
Mubah yang apabila dilakukan tidak menimbulkan madhorot. Seperti
makan, minum.
2.
Mubah yang apabila dilakukan mukallaf tidak ada madhorotnya,
sedangkan perbuatan tu sendiri pada dasarnya diharamkan. Seperti melakukan
sesuatu dalam keadaan terpaksa.
3.
Sesuatu yang pada dasarnya bersifat madhorot dan tidak boleh
dilakukan menurut syara’, tetapi Allah memaafkan pelakunya, sehingga perbuatan
itu menjadi mubah.
Pembagian mubah dari segi statusnya yang bersifat khusus dan umum
1.
Mubah bi al-Juz’i mathlub al-fi’li bi al-kulli seperti makan dan menikah.
Tidak boleh meninggalkan keduanya secara keseluruhan.
2.
Mubah bi al-juz’i mathlub al-tarki bi al-kulli. Artinya hukum mubah
secara juz’i berubah menjadi harus ditinggalkan keseluruhannya. Misalnya
bermain dan mendengarkan musik.
3.
Mubah bi al-juz’i mathlub bi al-kulli ‘ala jihat al-mandub. Artinya
hukum secara juz’i berubah menjadi mandub jika dilihat secara kulli. Seperti makan
dan minum yang berlebihan.
4.
Mubah bi al-juz’i makruh bi al-kulli. Artinya mubah bisa menjadi
makruh bila dilihat dari akibat perbuatan itu secara kulli. Seperti menyanyi
hingga meninggalkan yang lebih manfaat atau menurunkan nilai kesopanan.[13]
C. Hukum Wadh’i
1. Pengertian
Menurut
Khudhori Bek dan al-Syaukani, Hukum Wadh’i adalah Firman Allah yang menuntut
untuk menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang dari sesuatu
yang lain.
Pembagian hukum wadh’i meliputi
sebab, syarat, mani (penghalang) serta batal.
a. Sebab
Secara bahasa, sebab adalah sesuatu yang
dapat menyampaikan suatu tujuan. Secara
istilah sebab adalah suatu sifat yang dijadikan syari’(pembuat hukum) sebagai
tanda adanya hukum.[14]
Kadang-kadang sebab itu adalah
sebab bagi hukum taklifi. Seperti waktu oleh syari’ dijadikan sebab bagi
wajibnya mengerjakan sholat. Kadang-kadang sebab itu merupakan sebab untuk
menetapkan hak milik, atau menghalalkan atau menghilangkan keduanya. Seperti
jual beli untuk menetapkan hak milik, akad nikah untuk menghalalkan. Kadang-kadang
bagi mukallaf sebab perbuatan itu maqdur (diadakan penilaian) seperti
pembunuhan yang direncanakan itu adalah sebab untuk mewajibkan qisas.
Kadang-kadang ada hal yang tudak
ada ukuranya bagi mukallaf karena bukan pada perbuatannya. Seperti belum cukup
umur untuk menetapkan perwalian bagi anak kecil.[15]
b. Syarat
Menurut khudhari bek, syarat adalah
sesuatu yang beradadi luar hukum syara’, tetapi keberadaan hukkum syara’
bergantung padanya.oleh karena itu suatu hukum taklifi tidak dapat diterapkan
kecuali telah memenuhi syarat yang telah ditetapkan syara’. Terkaadang syarat
itu diisyaratkan dengan hukum yang
dinamakan syarat syar’i, misalnya wudhu meruapan syarat sah sholat, shalat
tidak dapat dilakukan tanpa wudhu.terkadang juga syarat itu diisyaratkan dengan
kegiatan mukallaf seperti memerdekakan
budak bagi orang yang mampu.[16]
c. Mani’ (penghalang)
Yang di maksud dengan Mani’ dalam
ilmu Ushul Fiqh adalah sesuatu yang adanya memastikan tidak adanya hukum.
Sebagai contoh, seorang perempuan yang sedang dalam haidh atau nifas dilarang
melakukan sholat. Jadi mani’nya disini adalah haidh atau nifas, karena adanya
haidh atau nifas itu, maka tidak ada kewajiaban sholat.
d. Batal
Batal dalam pengertian syarat
adalah kebalikan dari pengertian sah. Sah adalah sesuatu perbuatan yang sesuai
ketentuan-ketentuan syara’, sedangkan batal adalah perbuatan yang menyalahi
ketentuan-ketentuan syara’.
Sebagian ulama’ menganggap sama
antara batal dengan fasad karena batal dan fasad itu adalah lafal murodif
(sinonim). Abu Hanifah membedakan antara batal dan fasad. Batal menurut Imam
Abu Hanifah adalah apabila sesutau yang dilarang itu termasuk bagian atau
menyangkut asal dari perbuatan sendiri. Seperti melakuakan shalat tanpa ruku’
atau menjual binatang yang masih dalam kandungan induknya. Sedangkan fasad
adalah bila yang terlarang itu,
menyangkut sifat yang terkandung dalam perbuatan tersebut. Dalam hal ini, bukan
menyangkut asalnya seperti dilarangnya melakukan puasa dalam hari raya karena
pada hari raya terkandung didalamnya sifat menerima tamu. Bila puasa pada hari
itu berarti mengandung unsur menolak tamu.[17]
DAFTAR PUSTAKA
Ashshiddieqy Hasbi, 1997. Pengantar
Hukum Islam. Semarang: Pustaka Rizki Putra
Rohayana, Ade Dedi. Tanpa Tahun. Ilmu
Ushul Fiqih. Pekalongan: Stain Press.
Kallaf,
Abdul Wahhab. 1994. Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: Rineka Cipta
Jumantoro, Totok Dan Samsul Munir
2005. Kamus Islam Ushul Fiqih. Jakarta: Amzah
Rifa’i,
Muh.1995. Ushul Fiqih, Bandung: Al-Ma’arif
Djalil. A. Basiq, 2010. Ilmu Ushul Fiqih
Satu dan Dua. Jakarta: Prenada Media Group
[1] M. Ridlwan
Qoyyum sai’id, Terjemah Tashil Ath-Thuruqot Ushul Fiqih, (Kediri: Mitra
Gayatri). Hlm. 73
[2] A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih satu dan dua (Jakarta:
Prenada Media Group, 2010), hlm. 123-124
[11]muhammad hasbi ash shiddieqy, Pengantar Hukum Islam. (Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 1997) hlm. 200
[14] Ibid. Hal 269
[16] Ade Dedi Rohayana, Op. Cit hal 270
0 komentar
Posting Komentar