Malaysia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 31 Agustus
1957. Tidak lama kemudian, pada tanggal 16 September 1963, Malaysia membentuk
negara federal yang meliputi Malaya,
Serawak, Sabah, dan Singapura. Selanjutnya pada tahun 1965, Singapura memisahkan diri dari negara
federal Malaysia. Sekarang ini Malaysia mencakup beberapa negara bagian, yaitu
Malaysia (329.758 km2), Semenanjung Malaysia (131.598 km2),
Serawak (124.449 km2) dan Sabah (73.711 km2). Berdasarkan
sensus tahun 1990, populasi total penduduk Malaysia sekitar 50.292.000 penduduk
tiap negara bagian mempunyai gubernur terpilihnya sendiri-sendiri. Kepala
Tertinggi Federal Malaysia adalah Yang Dipertuan Agung, yang dipilih melalui
konferensi para pemerintah di antara mereka, untuk masa kematian dan
pengunduran dirinya. Yang Dipertuan Agung juga merupakan Komandan Tertinggi
Angkatan Bersenjata yang bertindak atas nasihat Parlemen dan Kabinet.
Mayoritas penduduk Malaysia beragama Islam (6.918.307). sisanya
beragama Budha (2.265.456), Konfusius(1.518.683), Hindu (920.393), Kristen
(842.990), tidak beragama (275.338), Kaum Suku (259.455), dan lain-lain
(69.750). malaysia berkomposisi penduduk yang multietnis, terdiri atas orang
Melayu (55%), Cina (30%), India (7%), Dayak, Eropa, dan lain-lain. Penduduk
asli Malaysia berkaitan erat dengan orang Philipina dan Indonesia. Selain itu,
terdapat penduduk Cina, India, Pakistan, Srilangka, Bangladesh, serta beberapa
suku asli yang kebanyakan tinggal di Serawak dan Sabah. Bahasa nasional
Malaysia adalah bahasa Malaysia (Melayu). Namun, sebagai negara yang
multirasial, komunikasi dengan bahasa
lain, seperti bahasa Inggris dan beragam dialek setempat,lazim digunakan
sehari-hari. Bahkan, sekolah-sekolah di Malaysia mewajibkan masuknya mata
pelajaran bahasa Inggris.
Lebih dari sepertiga suplai timah dunia berasal dari Malaysia.
Selain timah, Malaysia juga penghasil besi, bauksit, dan kayu. Industri kayu
Malaysia kian meluas dan menjadi
penghasil ekspor ke luar negeri terbesar ketiga bagi ekonomi Malaysia. Kayu
tersebut merupakan produksi dari Malaysia Timur ataupuun Barat. Di samping itu,
masih ada hasil ekspor dan produksi niaga terbesar lainnya di Malaysia, yakni
minyak kelapa. Pohon kelapa banyak ditemukan di negeri ini, khususnya sepanjang
tepi pantai. Kelapa ini dipasarkan dalam bentuk kelapa segar untuk bahan
makanan, tetapi sebagian besarnya dijual dalam bentuk kopra kepada industri
penggilinggan minyak, baik untuk dalam maupun luar negeri. Demikian luasnya
lahan perkebunan kelapa ini hingga banyak tenaga kerjanya yang didatangkan dari
luar negeri, misalnya Indonesia, untuk bekerja di sana. Tidak mengherankan bila
40% penduduk Malaysia bermata pencaharian sebagai petani. Malaysia memiliki
tanah yang subur dan didukung oleh iklim yang kondusif. Malaysia umumnya
beriklim khatulistiwa dengan suhu yang umumnya tinggi, curah hujan lebat,
khususnya selama akhir musim gugur dan awal musim dingin. Rata-rata hujannya
lebih dari 240 cm per tahun. Siang hari panas dan lembab, sedangkan malam hari
sejuk karena angin laut. Sementara suhu di pegunungan lebih sejuk dan
kelembaban berkurang.
Kondisi ekonomi Malaysia, jika dibandingkan dengan negara
berkembang lainnya terutama untuk kawasan Asia Tenggara, tergolong tahan
banting. Meskipun krisis ekonomi yang melanda Asia berimbas pada ekonomi
Malaysia sehingga Malaysia mengalami kontraksi ekonomi sekitar 6,7% serta
kegiatan manufaktur dan kontruksi ikut terpukul, indikator investasi swasta pada paro 1998 menunjukkan beberapa
perbaikan. Dengan menerapkan Rencana Pemulihan Ekonomi Nasional (International
Economic Recovery Plan) pada Juli 1998, Malaysia mampu mengabaikan
pendekatan pengawasan IMF (International Monetary Fund). Dalam rencana
pemulihan ekonomi tersebut terdapat enam tujuan, yakni menstabilkan nilai tukar
ringgit, memulihkan kepercayaan pasar, menjaga kestabilan keuangan pasar,
memperkuat fundamental ekonomi, melanjutkan agenda nasional bagi peningkatan
pemerataan ekonomi-sosial masyarakat, serta melakukan revitalisasi beragai
sektor yang terkena dampak krisis.
Kebijakan Pendidikan
Setelah Perang Dunia II, saat Malaysia masih di tangan kekuasaan
Inggris, pada tahun 1955 di bentuk satu Komisi di bawah pimpinan atas A. Rezak
yang isinya mempersiapkan usul-usul bagi sistem pendidikan Malaysia. Di antara
usul tersebut ditetapkan bahwa bahasa Melayu dan Inggris dijadikan sebagai
bahasa wajib bagi semua murid di sekolah-sekolah, selain bahasa Tamil dan Cina.
Setelah kemerdekaan, pada tahun 1961, melalui hasil Komisi A. Rahman, bahasa
Melayu dan Inggris ditetapkan sebagai bahasa wajib yang diberikan sampai dengan
kelas enam sekolah dasar. Adapun bahasa Tamil dan Cina diberikan di
sekolah tingkat menengah.
Organisasi pendidikan di pusat terdiri atas Menteri Pendidikan.
Kementerian yang dikepalai oleh sekretaris tetap pendidikan bertanggung jawab
langsung untuk pendidikan sekolah menengah dan Purna Sekolah Menengah, Sekolah
Teknik dan pengawasan grant atau pemberian dana kepada negara-negara
bagian. Kementerian pendidikan ini terdiri atas dua bagian. Bagian administrasi
yang mengurus perencanaan, keuangan, administrasi, personil dan pelajaran
terpadu, dan pengawasan terhadap pelajaran agama Islam. Adapun bagian kedua
berada di bawah pimpinan Penasihat Kepala Bagian Pendidikan yang terdiri atas
inspektorat federal, pendidikan guru,bagian sekolah, sindikat ujian, pendidikan
teknis, registrasi guru, serta perencanaan pendidikan dan penelitian. Kepala
pendidikan di tiap negara bagian bertanggung jawab atas pengadministrasian
sekolah rendah dan menengah di tingkat wilayah dan mereka bertanggung jawab
kepada Kepala Kementerian yang tetap, yaitu sekretaris.
Pada tahun 1974, Malaysia membentuk Jawatan Kuasa Kabinet yang
bertugas mengkaji semua pelaksanaan pendidikan. Laporan Jawatan Kuasa Kabinet
ini telah mulai terbit sejak tahun 1979. Lalu, atas dasar laporan tersebut,
Kementerian Pendidikan melancarkan reformasi pendidikan dengan memperkenalkan
program KBSR pada tahun 1982/1983 diikuti dengan pelaksanaan KBSM pada tahun
1988/1989. Pada dekade 1990-an, Malaysia mengadakan perubahan kebijakan
pendidikannya secara berarti, di antaranya sebagai berikut:
1.
Memperkenalkan pendidikan persekolahan dalam sekolah rendah;
2.
Mengurangi tahun lama sekolah di sekolah rendah, dari 6 tahun
menjadi 5 tahun, bagi murid yang cerdas dan sebaliknya, menambah tahun lama
sekolah, menjadi 7 tahun, bagi murid yang lambat;
3.
Memberikan peluang pendidikan kepada semua pelajar dengan
melanjutkan waktu belajar mereka dari 9 hingga 12 tahun, yaitu sampai tingkat 5
di peringkat sekolah menengah;
4.
Mengutamakan pendidikan teknologi dengan tujuan melahirkan pelajar
yang mahir dalam bidang seni perusahaan, perdagangan, dan ekonomi;
5.
Mengubah sistem pemeriksaan SRP kepada Penilaian Menengah Rendah
(PMR).
Pendidikan di Malaysia bertujuan mengembangkan potensi individu
secara menyeluruh dan terpadu untuk mewujudkan insan yang seimbang dan harmonis
dari segi intelek, rohani, emosi, dan jasmani, berdasarkan kepercayaan dan
kepatuhan kepada Tuhan. Tujuan ini dimaksudkan agar dapat melahirkan rakyat
Malaysia yang berilmu pengetahuan, berketerampilan, berakhlak mulia, dan
bertanggung jawab terhadap masyarakat dan negara.
Pendidikan Islam
Sejak merdeka pada tahun 1957, ilmu pengetahuan agama Islam telah
dijadikan sebagai kurikulum pendidikan nasional di Malaysia; diberikan selama
120 menit per minggunya. Akan tetapi, karena pemerintah tidak melakukan
penekanan atau kewajiban lulus ujian ilmu pengetahuan agama Islam, pelajaran
ini tidak mendapat perhatian serius dari siswa. Lalu pada tahun 1975, berbagai
langkah penting untuk memperkuat
pendidikan Islam di negara ini telah ditempuh oleh Departemen Pendidikan. Pada
tahun 1982, Perdana Menteri Mahathir Muhammad mengambil keputusan untuk
menjalankan kebijakan penanaman nilai-nilai Islam di pemerintahan. Dengan
demikian, peran Islam kian penting dalam negara. Islamisasi pemerintahan ini
bisa dibuktikan dengan adanya pembentukan Bank Islam, Sistem Asuransi Islam,
Universitas Islam Internasional Penyempurnaan Keagamaan Islam, dan lain-lain.
Setahun kemudian, pada tahun 1983, Departemen Pendidikan menyatakan bahwa
nilai-nilai moral akan diajarkan kepada pelajar nonmuslim, sementara ilmu
pengetahuan agama akan diajarkan kepada para pelajar muslim. Apa akibatnya?
Sebagaimana diamati oleh Claudia Derichs menjelang akhir tahun
1990-an, secara drastis jumlah mahasiswi yang memakai tudung atau jilbab kian
meningkat, sementara kaum lelakinya memakai kopiah. Para guru mengakui bahwa
kecenderungan menyatakan identitas sebagai seorang muslim telah muncul
sedemikian rupa hingga guru perempuan yang tidak bertudung adalah perilaku
perkecualian karena banyaknya yang memakai tudung.
Perkembangan masjid dan surau di Malaysia mencerminkan semaraknya
aktivitas umat Islam. Bandar Baru Bangi (sekitar 25 km dari Kuala Lumpur),
misalnya, merupakan daerah yang memiliki masjid dan surau dengan perkembangan
pesat. Seiring dengan makin meluasnya pemukiman penduduk, perkantoran,
pertokoan, dan industrialisasi, jumlah masjid dan surau pun bertambah.
Masjid-masjid itu bukan saja untuk melaksanakan praktik ibadah salat, melainkan
juga sebagai lembaga pendidikan Islam. Surau an-Nur di Bandar Baru Bangi, misalnya, merupakan tempat kajian Alqur’an
dan Tafsir, baik bagi lelaki maupun perempuan. Kadang kala diadakan tahlil
serta perbincangan keagamaan yang terjadwal secara sistematis tentang segala
hal yang berkaitan dengan masalah spiritual dan problem yang dihadapi
masyarakat masa kini.
Agaknya corak Islami ini tidak hanya terjadi dibidang pendidikan
semata. Di lingkungan elite politik dan parpol seolah juga terjadi perlombaan
dalam menyatakan ciri keislamannya. Sebagai contoh partai yang sedang berkuasa dimalaysia,
yakni the United Malays’ Nasional Organization (UMNO) pimpinan Mahathir
Muhammad, telah membuka website untuk mennjukkan berbagai upaya
jihadnya. Upaya menciptakan website demikian, apapun isinya, akhir-akhir
ini mengindikasikan hadirnya kompetisi untuk “menjadi Islami” di Malaysia. Karena
didukung oleh parpol, Islamisasi di Malaysia pun menjadi isu politik dari pada
sebagai akibat langsung dari munculnya gerakan sosial.[1]
[1] Abd.Rahman Assegaf, Internasionalisasi Pendidikan, (Yogyakarta:
Gama Media, 2003), hlm. 112- 122.
0 komentar
Posting Komentar