PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan
adalah proses dimana masyarakat melalui lembaga-lembaga pendidikan
(sekolah, perguruan tinggi, atau lembaga-lembaga lain), dengan sengaja
mentransformasikan warisan budayanya, yaitu pengetahuan, nilai-nilai dan keterampilan-keterampilan, dari generasi ke
generasi.Semakin berkembang peradaban manusia, semakin berkembang pula
permasalahan yang dihadapi pendidikan, sehingga semakin menuntut kemajuan
manusia dalam pemikiran-pemikiran yang sistematik tentang pendidikan.
Hal tersebut
tentu saja menyebabkan pembentukan kurikulum yang ada dalam pembelajaran untuk
peserta didik harus menyesuaikankepada peserta
didik dan kemajuan manusia dalam pemikiran-pemikiran yang sistematis.
Namun, apa yang
ada di sekitar para pengajar masih banyak yang belum mengetahui atau memahami
tentang pembentukan kurikulum yang sesuai dengan peserta didik mereka. Oleh
karena itu makalah ini akan membahas tentang “Scope, Balance dan Sequence dalam Pengembangan Kurikulum” agar kita para pengajar mengerti kurikulum
yang bagaimana yang akan kita berikan kepada peserta didik.
BAB II
PEMBAHASAN
A. SCOPE (RUANG LINGKUP)
Scope yaitu ruang lingkup
keseluruhan pengalaman belajar yang akan diberikan kepada siswa yang sudah
berbentuk bidang studi, misal bidang studi IPA untuk SMP (biologi) yang
diperinci menjadi pokok bahasan dan sub pokok bahasan yang mengandung ruang
lingkup bahannya sendiri. Untuk mendapat bahan yang lebih jelas dapat diperoleh
dari buku, buku paket atau sumber pokok dari pelajaran[1]
Scope merupakan pemilihan
pengalaman belajar yang bersifat melintang atau meluas (latitudinal axis)
dan memikirkan “what” dari kurikulum, yang menurut curriculum
planning tepat untuk merealisasikan tujuan pendidikan. Sedangkan sequence
mempersoalkan “when” di dalam perencanaan kurikulum.
William B. Ragan
mendiskripsikan secara umum bahwa scope ditentukan kegiatan-kegiatan dasar yang
dikerjakan orang, nilai-nilai dalam masyarakat, dan masalah-masalah utama yang
nampak.[2]
2.
Menentukan Scope dalam Kurikulum
Dalam menentukan Scope,
yaitu apa yang
harus diajarkan merupakan masalah yang semakin sulit seiring berjalannya waktu.
Beberapa penyebabnya antara lain :
Ø Bahan pelajaran
cepat bertambah luas karena eksplosi ilmu pengetahuan. Spesialisasi dalam
pendidikan semakin meluas dan tiap spesialisasi memerlukan bahan pelajaran
tambahan. Selain itu, waktu belajar terbatas demikian pula kemampuan anak untuk
menguasai bahan pelajaran
Ø Belum ada
kriteria yang pasti tentang bahan apa yang perlu diajarkan. Juga belum ada cara
tentang mengorganisasi kurikulum yang dapat diterima oleh semua
Ø Matapelajaran
yang tradisional tidak lagi memadai. Timbul pula tujuan baru seperti berpikir
kritis dan kreatif, memahami lingkungan social dan memahami dunia
internasional.
Mata pelajaran baru
ditambahkan sedangkan matapelajaran lama masih disampaikan sehingga beban
belajar anak bertambah berat dan membuat pengetahuan anak tersebut dangkal
tentang aneka ragam bidang.[3]
Ada
sejumlah kriteria yang digunakan untuk memilih bahan pelajaran, namun setiap
kriteria ini mempunyai kelemahan. Kriteria tersebut antara lain :
1.
Bahan pelajaran harus dipilih berdasarkan
tujuan yang hendak dicapai.
2.
Bahan pelajaran dipilih karena dianggap
berharga sebagai warisan generasi lampau.
3.
Bahan pelajaran dipilih karena berguna untuk
menguasai suatu disiplin.
4. Bahan pelajaran yang
dipilih karena dianggap berharga bagi manusia dalam hidupnya.
5. Bahan pelajaran dipilih
karena sesuai dengan kebutuhan dan minat anak.
Dalam memilih bahan
pelajaran perlu kita perhatikan pendapat Hilda
Taba yakni bahwa untuk mencapai suatu tujuan pendidikan kita tidak cukup
hanya memperhatikan isi atau bahan pelajaran akan tetapi juga proses pelajaran atau
pengalaman belajar. Ia berpendirian bahwa bahan pelajaran tidak
boleh dipisahkan dari pengalaman belajar. Karena itu lebih baik pelajaran
dipusatkan pada sejumlah pokok yang terbatas yang dapat mengembangkan
keterampilan mental daripada berusaha meliputi sejumlah bahan yang aluas yang
hanya dihafal secara mendangkal tetapi tidak mengembangkan kesanggupan mental
itu.
Dalam
penentuan bahan pelajaran para penyusun kurikulum dipengaruhi oleh aliran yang
dianutnya. Mereka yang mengutamakan subject
curriculum akan
mementingkan bahan yang terkandung dalam disiplin. Penganut aliran “progresif”
akan menetukan bahan pelajaran terutama berdasarkan minat anak atau pemuda.
Mereka yang mengutamakan fungsi sosial sekolah mengambl aspek-aspek kehidupan
sosial sebagai dasar untuk menentukan bahan pelajaran.Dalam pembinaan
kurikulumhendaknya kita perhatikan semua faktor yang turut mempengaruhinya,
yaitu faktor anak, masyarakat, maupun disiplin ilmu pengetahuan.
Cara
yang dipilih banyak bergantung pada nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh
mereka yang menentukan kurikulum.Serasi tidaknya bahan pelajaran bergantung
pada tujuan yang ingin dicapai. Berikut ini beberapa prosedur yang diikuti
dalam penentuan bahan pelajaran :
a.
Prosedur menerima otoritas para ahli
Lebih dahulu dirumuskan tujuan pendidikan agar
dapat ditentukan bahan pelajaran yang kiranya paling serasi untuk mencapainya. Tujuan
pendidikan dapat diselidiki berdasarkan undang-undang dan dokumen-dokumen
resmi, dapat juga berdasarkan studi tentang sosiologi, politik, sejarah, dan
sebagainya.Kemudian diadakan diskusi untuk merumuskan dengan jelas
tujuan-tujuan pendidikan itu.
b.
Prosedur eksperimental
Bahan
pelajaran dapat ditentukan secara eksperimental dengan mengadakan penelitian
hingga manakah bahan itu memang serasi untuk mencapai sasarannya.Biasanya
metode ini digunakan untuk menyelidiki keserasian bahan yang khusus untuk
tujuan yang spesifik agar dapat dikuasai faktor-faktor yang mempengaruhi dan
keilmiahannya dapat dipertahankan.
c.
Prosedur ilmiah atau analitis
Bahan
pelajaran dapat ditentukan dengan menganalisis situasi-situasi di mana bahan
pelajaran itu diperlukan. Dapat
dianalisis kegiatan manusia dewasa dalam kehidupannya sehari-hari, dapat pula
dianalisis berbagai jabatan, misalnya jabatan jururawat, guru penerbang dan
sebagainya. Dengan mengetahui kegiatan, ketrampilan, sikap,
pengetahuan dan kompetensi-kompetensi yang diperlukan untuk melakukan pekerjaan
itu dengan baik, dapat pula ditentukan bahan pelajaran yang serasi untuk itu.
d.
Prosedur konsensus
Memperoleh
konsensus dengan meminta pendapat orang-orang yang dianggap berwewenang, antara
lain ahli-ahli dalam bidang studi tertentu, tokoh-tokoh masyarakat, perusahaan
dan sebagainya.
e.
Prosedur-prosedur lainnya
Ø Prosedur
fungsi-fungsi sosial
Kurikilum
ini mengutamakan aspek sosial dan tidak begitu menonjolkan soal kebutuhan dan
minat pelajar, sekalipun tidak mengabaikannya.
Ø Prosedure “persistent
life situations”
Prosedur
ini memperhatikan kebutuhan, masalah dan minat anak dan pemuda menurut taraf
perkembangan dalam dunia yang kompleks dan dinamis ini. Persistent yakni
senantiasa pada hakikatnya sama, dulu, sekarang maupun di masa mendatang di
mana saja di dunia ini, akan tetapi situasinya berbeda-beda dan berubah-ubah.
Ø Prosedur
kebutuhan atau masalah pemuda
Prosedur
ini bertitik tolak dari kebutuhan pemuda atau masalah-masalah yang mereka
hadapi.Prosedur ini diterapkan dalam “the Eight Year Study” yang mengadakan
percobaan di 30 sekolah menengah di Amerika Serikat.[4]
Untuk menentukan scope tersebut, para pengembang kurikulum dihadapkan pada
sejumlah permasalahan berikut:
a. Pengorganisasian berbagai elemen dan hubungan antar elemen tersebut
bahwa unsur-unsur scope merupakan hal-hal
pokok (actual point) yang harus dipelajari siswa di sekolah sehubungan dengan
hal tersebut, maka Tyler menyarankan agar para pengembang kurikulum sebaiknya
dapat mengorganisasikan hubungan antarelemen atau unsur scope tersebut, yang
berupa konsep, ilmu pengetahuan, dan berbagai ketrampilan yang harus diberikan
pada siswa. Dewasa ini, masalah yang dihadapi adalah tidak terbatasnya konsep,
pengetahuan, dan ketrampilan tersebut.
b. Pesatnya perkembangan IPTEK
Sebagai ujung tombak dari implementasi
kurikulum, sudah sewajarnya guru terus mencermati keterbatasan materi
pelajaran. Ini dikarenakan dewasa ini ilmu pengetahuan dan teknologi cenderung
terus berkembang dan meningkat sedemikian pesatnya berkaitan dengan masalah
ini.
c. Penetapan prosedur tujuan
Caswel dan cambel (olivia, 1992) mengingatkan
bahwa prosedur tujuan bukan hanya menyangkut pengalaman belajar, topik, maupun
organisasi dan hubungan antar elemen, tetapi juga menyangkut lima tahapan
berikut:
1. Penetapan tujuan yang inklusif
2. Tujuan umum tersebut harus dirumuskan lagi kedalam sejumlah pernyataan
tujuan umum yang lebih “kecil”
3. Sejumlah pernyataan tersebut diterjemahkan ke dalam tujuan intitusional
4. Selanjutnya, tujuan institusional tersebut diuraikan ke dalam tujuan per
mata pelajaran (bidang studi) dan
5. Masing-masing tujuan per mata pelajaran atau bidang studi tersebut harus
diuraikan ke dalam tujuan pembelajaran umum, yang selanjutnya dijabarkan lagi
menjadi tujuan pembelajaran khusus pe pokok bahasan, dengan ketentuan bahwa
pernyataaan tersebut dapat diukur.
6. Pengambilan keputusan
masalah lain yang dihadapi dalam penentuan
scope kurikulum adalah pengembilan keputusan tentang jadi atau tidaknya scope
tersebut ditetapkan sebagai cakupan sebuah kurikulum. Dalam pengambilan
keputusan (decision making) tersebut, olivia mengajukan sejumlah
pertanyaan yanng harus dipertimbangkan, yaitu :
a. Apa yang sebenarnya diperlukan agar siswa dapat sukses didalam masyarakat.
b. Kebutuhan-kebutuhan apa yang diinginkan oleh daerah, bangsa, negara dan
dunia
c. Hal-hal esensial apa yang harus diajarkan.[5]
B. BALANCE (KESEIMBANGAN)
Dalam sulitnya mendefinisikan kata balance atau keseimbangan, Oliva
menunjukkan beberapa variabel yang harus dipertimbangkan, seperti :
1.
kurikulum
yang berpusat pada siswa (child-centered curriculum) dan berpusat pada
pelajaran (subject-centered curriculum)
2.
kebutuhan
siswa dan kebutuhan masyarakat (needs as-sessments)
3.
pendidikan
umum dan pendidikan khusus
4.
luas
dan dalamnya kurikulum
5.
tiga
domain penting pendidikan (kognitif, afektif, dan psikomotorik)
6.
pendidikan
individual dan pendidikan masyarakat
7.
inovasi
dan tradisi
8.
logis
dan psikologis
9.
kebutuhan
yang diharapkan dan tidak diharapkan siswa
10.
kebutuhan
akademis yang diharapkan
11.
metode,
pengalaman, dan strategi
12.
cepatnya
perubahan dan pergantian waktu atau masa
13.
dunia
kerja dan permainan
14. sekolah dan masyarakat sebagai sumber daya dalam pendidikan
15. didsiplin kelembagaan
16. tujuan kelembagaan
17. disiplin ilmu
Dikarenakan
begitu banyaknya variabel yang menyangkut keseimbangan dalam pengembangan
kurikulum tersebut, maka sudah dapat dipastikan bahwa hal ini juga telah
menjadi suatu masalah yang tidak dapat diabaikan begitu juga oleh para
pengembang kurikulum. Sebaliknya, justru merupakan masalah yang harus mendapat
perhatian yang cukup maksimal.[6]
C. SEQUENCE (URUTAN)
Sequence berarti susunan atau urutan pengelompokan kegiatan atau
langkah-langkah yang dilakukan dalam perencanaan kurikulum. Bila scope mengacu
pada “apa”, maka sequence lebih mengacu pada “kapan” dan “di mana” pokok-pokok
bahasan tersebut ditempatkan dan dilaksanakan. Berikut adalah langkah-langkah
sequence, sebagai berikut :
1.
Mulai
dari yang paling sederhana menuju yang kompleks,
2.
Menurut
alur kronologis,
3.
Balikan
dari alur kronologis,
4.
Mulai
dari keadaan geografis yang dekat sampai ke yang jauh,
5.
Dari
jauh menuju ke dekat,
6.
Dari
konkret ke abstrak,
7.
Dari
umum menuju khusus, dan
8.
Dari
khusus menuju umum.
Donald E. Orlosky dan B. Othanel Smith (Olivia, 1992) mengemukakan
bahwa terdapat tiga konsep sequence yaitu sequnce menurut kebutuhan, sequence
menurut makro, dan sequence mikro. Dalam proses sequnce, para pengembang
kurikulum harus memperhatikan tingkat kedewasaan, latar belakang pengalaman,
tingkat kematangan dan ketertarikan atau minat siswa, serta tingkat kegunaan dan
kesukaran materi pelajaran.[7]
Sequence menentukan urutan bahan pelajaran disajikan, apa yang
dahulu apa yang kemudian, dengan maksud agar proses belajar berjalan dengan
baik. Faktor-faktor yang turut menentukan urutan bahan pelajaran antara lain:
1.
kematangan
anak
2.
latar
belakang pengalaman atau pengetahuan
3.
tingkat
intelegensi
4.
minat
5.
kegunaan
bahan
6.
kesulitan
bahan pelajaran.
Squence atau urutan berkenaan dengan dua hal: urutan isi atau bahan
pelajaran, dan urutan pengalaman belajar memerlukan pengetahuan tentang urutan
perkembangan anak dalam menghadapi bahan pelajaran tertentu, misalnya memahami
suatu konsep, sikap kejujuran, tanggung jawab, memecahkan suatu masalah.
Tentang urutan atau langkah-langkah menguasai bahan tertentu belum
banyak kita ketahui. Kebanyakan diserahkan saja kepada guru tanpa dasar ilmiah menurut hasil penelitian, biasanya guru berpegang pada urutan, dari
mudah yang sulit, dari yang sederhana kepada yang kompleks, dari keseluruhan
kepada bagian-bagiannya, dari yang diketahui kepada yang belum diketahui.[8]
Menentukan Sequence Dalam Kurikulum Dengan sequence
dimaksud urutan pengalaman belajar itu diberikan. Sering ini diartikan sebagai
kapan pengalaman belajar atau bahan pelajaran itu harus diberikan, atau
disempitkan menjadi di kelas berapa bahan pelajaran tertentu harus diajarkan.
Scope dan sequence erat
hubungannya dalam penyusunan kurikulum, oleh sebab tiap bahan harus diberikan
pada waktu yang setepat-tepatnya. J. Bruner mengatakan bahwa prinsip-prinsip
tiap mata pelajaran dapat diajarkan kepada setiap orang pada setiap usaha dalam
suatu bentuk tertentu oleh sebab ide-ide pokok yang mendasari setiap ilmu
sebenarnya sederhana. J Piaget membuktikan bahwa anak-anak lebih cepat dapat
berfikir secara formal daripada yang diduga semula.
Ada dua pendekatan
Dalam penentuan
urutan bahan pelajaran dapat diikuti antara lain:
1.
Menentukan bahan pelajaran untuk kelas-kelas
tertentu
Pendekatan
ini yang dipentingkan ialah bahan pelajaran dan anak harus menyesuaikan diri
dengan bahan pelajaran untuk kelasnya.
2.
Menyesuaikan bahan pelajaran dengan taraf
perkembangan anak
Untuk
itu perlu diselidiki tingkat pengetahuan dan kemampuan anak agar dapat
ditentukan bahan yang sesuai.[9]
Beberapa hal dapat
diusahakan untuk membangkitkan motif belajar pada anak yaitu pemilihan bahan
pengajaran yang berarti bagi anak, menciptakan kegiatan belajar yang dapat
membangkitkan dorongan untuk menemukan (discovery), menerjemahkan apa
yang akan diajarkan dalam bentuk pikiran yang sesuai dengan tingkat
perkembangan anak. Sesuatu bahan pengajaran yang berarti bagi anak disajikan
dalam bentuk yang sesuai dengan tingkat kemampuan berpikir anak, dan
disampaikan dalam bentuk anak lebih aktif, anak banyak terlibat dalam proses
belajar dapat membangkitkan motif belajar yang lebih berjangka panjang.[10]
BAB III
PENUTUP
SIMPULAN
Banyak hal dalam lingkungan peserta didik tanpa kita sadari merupakan bahan
pelajaran dalam pembentukan kurikulum, bukan hanya isi disiplin ilmu berupa
pengetahuan, melainkan juga prosesnya. Anak-anak harus dengan sengaja diajarkan proses
berpikir kritis, proses penemuan, proses pemecahan masalah, dan sebagainya.
Untuk mencapai
suatu tujuan pendidikan kita tidak cukup hanya memperhatikan isi atau bahan
pelajaran akan tetapi juga proses pelajaran atau pengalaman belajar. Dan cara
yang dipilih untuk menentukan bahan pelajaran banyak bergantung pada
nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh mereka yang menentukan kurikulum. Serasi
tidaknya bahan pelajaran bergantung pada tujuan yang ingin dicapai.
Oleh karena itu dalam pembelajaran haruslah ada pengembangan kurikulum yang
meliputi Ruang lingkup (Scope), Keseimbangan (Balance) dan Urutan (Sequence),
agar proses belajar mengajar dalam lingkungan sekolah menjadi lebih baik dan
tecapai tujuan pendidikannya.
DAFTAR PUSTAKA
Wiryokusumo, Iskandar dan Usman Mulyadi. 1988. Dasar-dasar
Pengembagan Kurikulum. Jakarta: Bina Aksara.
Soetopo, Hendayat dan Wasty soemanto. 1993. Pembinaan
dan Pengembangan Kurikulum. Jakarta: Bumi Aksara.
S. Nasution, 1994. Asas-asas Kurikulum. Jakarta:
Bumi Aksara
Hamalik, Oemar.
2008. Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum. Bandung:
PT Remaja Rosydakarya.
S. Nasution. 1993. Pengembangan Kurikulum. Bandung:
PT Citra Aditya Bakti.
Sukmadinata, Nana Syaodih. 2000. Pengembangan Kurikulum. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
[1] Iskandar Wiryokusumo dan Usman
Mulyadi, Dasar-dasar Pengembagan Kurikulum, (Jakarta: Bina Aksara, 1988),
hal. 48
[2] Hendayat soetopo dan Wasty
soemanto, Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum, (Jakarta: PT Bumi
Aksara, 1993), hal. 75-76.
[5]
Oemar Hamalik, Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum, (Bandung: PT Remaja
Rosydakarya, 2008), hal. 42-44
[9]
S. Nasution, Op. Cit. hal.
242-243
[10]
Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan
Kurikulum, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000), hal. 146
3 komentar
Maksud dari sequens makro dan mikro itu sendri apa ???
itu sequens dalam pengembangan kurikulum,,, tidak ada hubungan dg makro & mikro
Posting Komentar