BAB II
PEMBAHASAN
Hadits
حَدَّثَنَا
عُثْمَانُ بْنُ صَالِحٍ الْبَغْدَادِيُّ حَدَّثَنَا أَبُو عَامِرٍ يَعْنِي
عَبْدَ الْمَلِكِ بْنَ عَمْرٍو حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ بِلَالٍ عَنْ
إِبْرَاهِيمَ بْنِ أَبِي أَسِيدٍ عَنْ جَدِّهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِيَّاكُمْ وَالْحَسَدَ
فَإِنَّ الْحَسَدَ يَأْكُلُ الْحَسَنَاتِ كَمَا تَأْكُلُ النَّارُ الْحَطَبَ
أَوْ قَالَ الْعُشْبَ
|
Artinya: Telah
menceritakan kepada kami Utsman bin Shalih Al Baghdadi berkata, telah
menceritakan kepada kami Abu Amir -maksudnya Abdul Malik bin Amru- berkata,
telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Bilal dari Ibrahim bin Abu Asid
dari Kakeknya dari Abu Hurairah bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda: "Jauhilah hasad (dengki), karena hasad dapat memakan kabaikan
seperti api memakan kayu bakar."
Penjelasan
Hasad bisa dikatakan dengki, dan
dengki itu timbul akibat dendam, sedangkan dendam adalah akibat Marah, sifat
tercela tersebut saling berkaitan, hakikat dari hasad atau dengki itu sendiri
ialah bila seseorang tidak menyukai nikamat Alah atas saudaranya sehingga ingin
nikmat itu hilang darinya.
Menurut Imam
Ghazali kedengkian itu ada tiga macam, yaitu:
a. Menginginkan agar kenikmatan orang lain itu hilang dan ia dapat menggantikannya.
b. Menginginkan agar kenikmatan orang lain itu hilang, sekalipun ia tidak dapat menggantikannya, baik karena merasa mustahil bahwa dirinya akan dapat menggantikannya atau memang kurang senang memperolehinya atau sebab Iain-Iain. Pokoknya asal orang itu jatuh, ia gembira. Ini adalah lebih jahat dari kedengkian yang pertama.
c. Tidak ingin kalau kenikmatan orang lain itu hilang, tetapi ia benci kalau orang itu akan melebihi kenikmatan yang dimilikinya sendiri. Inipun terlarang, sebab jelas tidak ridha dengan apa-apa yang telah dibagikan oleh Allah.
a. Menginginkan agar kenikmatan orang lain itu hilang dan ia dapat menggantikannya.
b. Menginginkan agar kenikmatan orang lain itu hilang, sekalipun ia tidak dapat menggantikannya, baik karena merasa mustahil bahwa dirinya akan dapat menggantikannya atau memang kurang senang memperolehinya atau sebab Iain-Iain. Pokoknya asal orang itu jatuh, ia gembira. Ini adalah lebih jahat dari kedengkian yang pertama.
c. Tidak ingin kalau kenikmatan orang lain itu hilang, tetapi ia benci kalau orang itu akan melebihi kenikmatan yang dimilikinya sendiri. Inipun terlarang, sebab jelas tidak ridha dengan apa-apa yang telah dibagikan oleh Allah.
Ada
suatu sifat lain yang bentuknya seolah-olah seperti dengki, tetapi samasekali
bukan termasuk kedengkian, bukan pula suatu sifat yang buruk dan jahat,
sebaliknya malahan merupakan sifat utama dan terpuji. Sifat itu dinamakan
ghibthah.
Ghibthah ialah suatu kesadaran atau suatu keinsafan yang tumbuh dari akal fikiran manusia yang berjiwa besar dan luhur. la sadar dan insaf akan kekurangan atau kemunduran yang ada di dalam dirinya, kemudian setelah menyadari dan menginsafi hal itu, lalu ia bekerja keras, berusaha mati-matian agar dapat sampai kepada apa-apa yang telah dapat dicapai kawannya, tanpa disertai kedengkian dan iri hati. Sekalipun ia menginginkan mendapatkan apa yang telah didapatkan oleh orang lain, namun hatinya tetapi bersih, sedikitpun tidak mengharapkan agar kenikmatan orang lain lenyap atau hilang daripadanya. Manusia yang bersifat ghibthah senantiasa menginginkan petunjuk dan nasihat, bagaimana dan jalan apa yang wajib ditempuhnya untuk menuju cita -citanyaitu
Dari uraian di atas, kita dapat mengerti bahwa manakala dengki itu hanya dimiliki oleh manusia yang berjiwa rendah dan mendorongnya untuk berangan-angan kosong untuk mendapatkan kenikmatan yang dimiliki orang lain, tetapi ghibthah malahan sebaliknya itu, sebab ghibthah inilah pendorong utama untuk beramal dan berusaha agar mendapat kebaikan dan kenikmatan yang diidam-idamkan, samasekali tidak disertai rasa ingin melakukan sesuatu keburukan apapun pada orang lain, la ingin sama-sama hidup dan bekerjasama secara sebaik-baiknya.
Ghibthah ialah suatu kesadaran atau suatu keinsafan yang tumbuh dari akal fikiran manusia yang berjiwa besar dan luhur. la sadar dan insaf akan kekurangan atau kemunduran yang ada di dalam dirinya, kemudian setelah menyadari dan menginsafi hal itu, lalu ia bekerja keras, berusaha mati-matian agar dapat sampai kepada apa-apa yang telah dapat dicapai kawannya, tanpa disertai kedengkian dan iri hati. Sekalipun ia menginginkan mendapatkan apa yang telah didapatkan oleh orang lain, namun hatinya tetapi bersih, sedikitpun tidak mengharapkan agar kenikmatan orang lain lenyap atau hilang daripadanya. Manusia yang bersifat ghibthah senantiasa menginginkan petunjuk dan nasihat, bagaimana dan jalan apa yang wajib ditempuhnya untuk menuju cita -citanyaitu
Dari uraian di atas, kita dapat mengerti bahwa manakala dengki itu hanya dimiliki oleh manusia yang berjiwa rendah dan mendorongnya untuk berangan-angan kosong untuk mendapatkan kenikmatan yang dimiliki orang lain, tetapi ghibthah malahan sebaliknya itu, sebab ghibthah inilah pendorong utama untuk beramal dan berusaha agar mendapat kebaikan dan kenikmatan yang diidam-idamkan, samasekali tidak disertai rasa ingin melakukan sesuatu keburukan apapun pada orang lain, la ingin sama-sama hidup dan bekerjasama secara sebaik-baiknya.
perbedaan antara kedua macam sifat dan akhlak
itu jauh sekali, sejauh antara jarak langit dengan bumi. Dengki adalah tercela
dan pendengki adalah sangat terkutuk, sedangkan ghibthah adalah terpuji dan
pengghibthah adalah sangat terhormat.
Hadits
حَدَّثَنَا
عَبَّاسُ بْنُ مُحَمَّدٍ الدُّورِيُّ وَغَيْرُ وَاحِدٍ قَالُوا حَدَّثَنَا
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يَزِيدَ الْمُقْرِئُ حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ أَبِي
أَيُّوبَ حَدَّثَنِي أَبُو مَرْحُومٍ عَبْدُ الرَّحِيمِ بْنُ مَيْمُونٍ عَنْ
سَهْلِ بْنِ مُعَاذِ بْنِ أَنَسٍ الْجُهَنِيِّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ كَظَمَ غَيْظًا وَهُوَ يَسْتَطِيعُ
أَنْ يُنَفِّذَهُ دَعَاهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى رُءُوسِ
الْخَلَائِقِ حَتَّى يُخَيِّرَهُ فِي أَيِّ الْحُورِ شَاءَ قَالَ هَذَا حَدِيثٌ
حَسَنٌ غَرِيبٌ
|
Artinya: Telah
menceritakan Abbas bin Muhammad Ad Duri dan lebih dari satu orang perawi
berkata, Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Yazid Al Muqri Telah
menceritakan kepada kami Sa'id bin Abu Ayyub Telah menceritakan kepadaku Abu
Marhum Abdurrahim bin Maimun dari Sahl bin Mu'adz bin Anas Al Juhani dari
bapaknya dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda:
"Barangsiapa yang menahan amarahnya, sedangkan ia mampu untuk
menumpahkannya, maka Allah akan memanggilnya kelak pada hari kiamat di atas kepada
seluruh makhluk, sehingga Allah memberikannya pilihan yang ia inginkan."
Penjelasan:
Sifat marah adalah kekuatan yang
timbul dari batinnya, Allah menciptakan didalam batin manusia. Tidak ada
manusia yang tak memiliki sifat amarah berapapun kadarnya. Hanya saja,
seberapa jauh, setiap orang memiliki kemampuan menahan dan mengendalikan sifat
amarah dalam dirinya. Sebagian orang mengatakan marah adalah
manusiawi, karena marah adalah bagian dari kehidupan kita. Tapi alangkah
baiknya bila kita bisa menjadi pribadi yang bisa menahan marah dan kalaupun
kita marah, maka marahnya kita tidak berlebihan.
Tiga
hal termasuk akhlak keimanan yaitu, orang yang jika marah, kemarahannya tidak
memasukkanya kedalam perkara batil, jika senang maka kesenangannya
tidak mengeluarkan dari kebenaran dan jika dia mampu dia tidak melakukan yang
tidak semestinya.
Maka
wajib bagi setiap muslim menempatkan nafsu amarahnya terhadap apa yang
dibolehkan oleh Allah Swt, tidak melampaui batas terhadap apa yang dilarang
sehingga nafsu amarahnya tidak mengarah kepada kemaksiatan, kemunafikan apalagi
sampai kepada kekafiran. Kita harus melatih diri kita agar tidak menjadi
orang yang mudah marah dan menahan marah kita agar kemarahan kita tidak
berlebihan.
Syeikh
Imam al-Ghazali, dalam Kitab Ihya’ Ulumuddin nya mengatakan, “Barangsiapa tidak
marah, maka ia lemah dari melatih diri. Yang baik adalah, mereka yang marah
namun bisa menahan dirinya.”
Cara Mengatasi Marah:
1.
Membaca
ta’awudz ketika marah
2.
Dengan duduk
3.
Tidak bicara
4.
berwudhu
Rasulullah Saw bersabda :
“Orang
kuat itu bukanlah yang menang dalam gulat tetapi orang kuat adalah yang mampu
menahan nafsu amarahnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hikmah
Menahan Marah
- Menurut
medis, orang yang tidak mampu menahan sifat amarahnya memiliki kecendrungan
terkena serangan penyakit kronis: Jantung dan darah tinggi.
- Menurut
al-Qur`an Ali Imron 133-134, Orang yang mampu menahan amarahnya
(Pemaaf) telah disediakan ampunan dari Allah dan Surga yang luasnya seluas
langit dan bumi.
- Orang yang
Pemaaf (menahan marah) termasuk di antara orang-orang yang bertakwa dan
orang yang disukai Allah.
Aspek tarbawi
1.
Janganlah
kita mempunyai sifat Hasad atau dengki terhadap teman kita
2.
Sifat hasad
termasuk sifat tercela yang di benci Allah SWT
3.
Belajarlah
menahan menahan marah, karena marah timbul dari godaan syetan
4.
Menahan
nafsu marah adalah salah satu jihad yang paling besar.
5.
Menahan
marah adalah termasuk akhlak keimanan terhadap Allah SWT.
0 komentar
Posting Komentar