MAKALAH
EPISTEMOLOGI
PENDIDIKAN ISLAM MODERN
Makalah
Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas:
Mata
Kuliah: Metodologi Studi Islam
Dosen
Pengampu:
Disusun
Oleh:
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
PEKALONGAN
2012
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam
kajian epistemologi Barat, dikenal ada tiga aliran pemikiran, yakni empirisme,
rasionalisme, dan intuitisme. Sementara itu, dalam pemikiran filsafat Hindu
dinyatakan bahwa kebenaran bisa didapatkan dari tiga macam, yakni teks suci,
akal dan pengalaman pribadi.
Dalam
kajian pemikiran Islam terdapat juga beberapa aliran besar dalam kaitannya
dengan teori pengetahuan (epistimologi). Setidaknya ada tiga model system
berpikir dalam Islam, yakni bayani, irfani dan burhani, yang masing-masing
mempunyai pandangan yang sama sekali berbeda tentang pengetahuan.
BAB
II
PEMBAHASAN
1. Seputar Epistemologi
A. Pengertian Epistemologi
Secara etimologi, kata
“epistemologi” berasal dari bahasa yunani: “episteme” dan “logos”. Episteme
berarti pengetahuan, sedangkan logos berarti teori, uraian atau alasan. Jadi
epistemologi berarti sebuah teori tentang pengetahuan. Dalam bahasa inggris dikenal
dengan istilah “theori of knowledge”.
Epistemologi adalah sebuah ilmu
yang mempelajari hal-hal yang bersangkutan dengan pengetahuan dan dipelajari
secara substantif. Hal ini selaras dengan definisi epistemologi yang terdapat
didalam KBBI, epistemology adalah: “cabang ilmu filsafat tentang dasar-dasar
dan batas-batas pengetahuan.[1]
B. Objek dan Tujuan Epistemologi
Objek sama dengan sasaran sedangkan
tujuan sama dengan harapan. Objek mengantarkan sesuatu pada tercapainya tujuan.
Menurut Jujun S.
Sutriasumantri, objek epistemologi berupa “segenap proses yang terlibat dalam
usaha kita untuk memperoleh pengetahuan”. Proses untuk memperoleh pengetahuan
inilah yang menjadi sasaran epistemologi dan sekaligus berfungsi mengantarkan
tercapainya tujuan, sebab sasaran itu merupakan suatu tahap pengantara yang
harus dilalui dalam mewujudkan tujuan.[2]
Tujuan epistemologi bukan untuk
memperoleh pengetahuan(kendatipun keadaan ini tidak bisa dihindari), akan
tetapi yang menjadi pusat perhatian dari tujuan epistemologi adalah lebih
penting dari itu, yaitu ingin memiliki potensi untuk memperoleh pengetahuan.
Rumusan tersebut menumbuhkan kesadaran seseorang bahwa jangan sampai dia puas
dengan sekedar memperoleh pengetahuan tanpa disertai cara atau bekal untuk
memperoleh pengetahuan.[3]
C. Landasan Epistemologi
Landasan epistemologi ilmu disebut
metode ilmiah yaitu cara yang dilakukan ilmu dalam menyusun pengetahuan yang
benar. Metode ilmiah berperan dalam tataran transformasi dari wujud pengetahuan
menuju ilmu pengetahuan, metode ilmiah menjadi standar untuk menilai dan
mengukur kelayakan suatu ilmu pengetahuan. Metode ilmiah selalu disokong oleh
dua pilar pengetahuan, yaitu rasio dan fakta secara integratif. Penjelasan
semakin kuat apabila disertai bukti, begitu juga bukti akan semakin kuat
apabila disertai penjelasan yang rasional. Keduanya terdapat dalam apa yang
disebut dengan metode ilmiah.[4]
Peter R. Senn mengemukakan,”Metode
merupakan suatu prosedur atau cara mengetahui sesuatu yang mempunyai
langkah-langkah yang sistematis”. Sedangkan metodologi merupakan suatu
pengkajian dalam mempelajari peraturan-peraturan dalam metode tersebut, atau
ilmu yang mempelajari prosedur atau cara-cara mengetahui sesuatu.[5]
D. Pengaruh Epistemologi
Secara
global epistemologi berpengaruh terhadap peradaban manusia. Suatu peradaban
sudah tentu sibentuk oleh teori pengetahuannya. Epistemologi mengatur semua
aspek studi manusia, dari filsafat dan ilmu murni sampai ilmu sosial.
Epistemologilah yang menentukan kemajuan sains dan teknologi. Wujud sains dan
teknologi yang maju disuatu negara, karena didukung oleh penguasaan dan
pengembangan epistemologi.[6]
2.
Epistemologi
Bayani, Irfani dan Burhani
A. Epistemologi Bayani
Bayani
adalah metode pemikiran khas Arab yang didasarkan atas otoritas teks (nash),
secara langsung atau tidak langsung. Secara langsung artinya memahami teks
sebagai pengetahuan jadi dan langsung
mengaplikasikan tanpa pemikiran. Secara
tidak langsung artinya memahami teks sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu
pemikiran.[7]
Menurut
Al-Jabiry, corak epistemologi bayani didukung oleh pola pikir fikih dan kalam.
Corak pemikiran keislaman model bayani sangatlah mendominasi dan bersifat
hegemonik sehingga sulit berdialog dengan tradisi epistemologi irfani dan
burhani. Oleh karena itu, pola pikir tekstual bayani lebih dominan secara
politis dan membentuk mainstream pemikiran keislaman yang hegemonik.
Sebagaimana akibatnya pola pemikiran keagamaan islam model bayani menjadi kaku
dan rigid. Otoritas teks dan otoritas salaf yang dibakukan dalam kaidah-kaidah metodologi
ushul fikih klasik lebih diunggulkan daripada sumber otoritas keilmuan yang
lain seperti alam (kauniyah), akal (aqliyyah) dan intuisi (widaniyah).
Kelemahan yang paling mencolok dari tradisi nalar epistemologi bayani atau tradisi berpikir tekstual keagamaan adalah
ketika ia harus berhadapan dengan teks-teks keagamaan yang dimiliki oleh
komunitas, kultur, bangsa atau masyarakat yang beragama lain. Sebagaimana
dimaklumi bahwa kebenaran teks yang dipahami dan diakui oleh aliran, kelompok
atau organisasi lain yang menganut agama yang sama. Sejak dari dulu pola pikir
bayani lebih mendahulukan dan mengutamakan qiyas dan bukannya mantiq lewat
silogisme dan premis-premis logika.[8]
B. Pengertian
epistemology irfani
Irfan
dalam bahasa Arab merupakan masdar dari arafa yang semakna dengan ma’rifah.
Dalam kamus lisan al-‘Arab, Al-irfan diartikan dengan al-alim. Di kalangan para
sufi, kata irfan
digunakan untuk menunjukkan jenis pengetahuan tertinggi, yang dihadirkan dalam qalbu
dengan cara kasyf atau ilham.[9]
Irfan
atau makrifat berkaitan dengan pengetahuan langsung lewat pengalaman.
Secara terminologi irfan diartikan sebagai pengungkapan atas pengetahuan yang diperoleh lewat penyinaran hakikat oleh Tuhan kepada hamba-Nya setelah adanya olah rohani yang dilakukan atas dasar cinta.[10]
Secara terminologi irfan diartikan sebagai pengungkapan atas pengetahuan yang diperoleh lewat penyinaran hakikat oleh Tuhan kepada hamba-Nya setelah adanya olah rohani yang dilakukan atas dasar cinta.[10]
Pola
epistemologi irfani lebih bersumber pada intuisi dan bukannya teks. Menurut
sejarahnya, epistemologi ini telah ada baik di Persia maupun yunani jauh
sebelum datangnya teks-teks keagamaan
baik oleh yahudi, Kristen maupun islam. Status
dan keabsahan irfani selalu di pertanyakan baik oleh tradisi berpikir
bayani atau burhani. Jika sumber terpokok ilmu pungetahuan dalam tradisi bayani
adalah “teks” (wahyu), maka sumber terpokok ilmu pengetahuan dalam tradisi
berpikir irfani adalah “ experience” (pengalaman). Pengalaman hidup sehari-hari
yang otentik, sesungguhnya merupakan pelajaran yang tak ternilai harganya.
Ketika manusia memghadapi alam semesta yang cukup mengagumkan dalam lubuk
hatinya yang terdalam telah dapat mengetahui telah adanya Dzat yang Maha Suci
dan Segalanya. Untuk mengetahui Dzat yang Maha Pengasih dan Penyayang, orang
tidak perlu menunggu turunnya “teks”. Pengalaman konkrit, pahitnya konflik,
kekerasan dan desintegrasi sosial dan akibat yang ditimbulkannya dapat dirasakan
oleh siapapun, tanpa harus di persyaratkan mengenal jenis-jenis teks keagamaan
yang biasa dibacanya.
C. Epistemologi Burhani
Al
Burhani secara sederhana bisa diartikan sebagai suatu aktifitas berpikir untuk
menetapkan kebenaran proposisi(qadliyah) melalui pendekatan
deduktif(al-istintaj).
Menurut Al-Jabiri, prinsip-prinsip burhani pertama kali dibangun oleh Aristoteles yang dikenal dengan istilah metode analitik(tahlili). Cara berpikir analitik Aristoteles ini masuk kedalam pemikiran Islam pertama kali lewat program penterjemahan buku filsafat yang gencar dilakukan pada masa khalifah Al-Ma’mun.[11]
Menurut Al-Jabiri, prinsip-prinsip burhani pertama kali dibangun oleh Aristoteles yang dikenal dengan istilah metode analitik(tahlili). Cara berpikir analitik Aristoteles ini masuk kedalam pemikiran Islam pertama kali lewat program penterjemahan buku filsafat yang gencar dilakukan pada masa khalifah Al-Ma’mun.[11]
Secara
etimologi, al-burhan dalam bahasa arab, adalah argumentasi yang kuat dan jelas
(al-hujjat al-fashilat al-bayyinat). Dalam bahasa inggris, al-burhan disebut
demonstration, berasal dari bahasa latin demonstrate yang berarti isyarat,
sifat, keterangan dan menampakkan.[12]
Al-burhan dapat juga diartikan sebagai pembuktian yang tegas (desive proof) dan
keterangan yang jelas.[13]
Burhani adalah pengetahuan
yang diperoleh dari indra percobaan dan hukum-hukum logika. Burhani atau
pendekatan rasional argumentatif adalah pendekatan yang mendasarkan diri pada
kekuatan rasio melalui lnstrumen logika dan metode diskursif (batiniyah).
Pendekatan ini menjadikan realitas maupun teks dan hubungan antara keduanya
sebagai sumber kajian. Realitas yang dimaksud mencakup realitas alam, sejarah,
social dan budaya. Dalam pendekatan ini, teks dan realitas (konteks) berada
dalam satu wilayah yang saling mempengaruhi.[14]
Jika
sumber ilmu dari corak epistemologi bayani adalah teks, sedangkan irfani adalah
pengalaman langsung, maka epistemology burhanibersumber pada realita (al-waqi’)
baik realitas alam, social, humanitas maupun keagamaan. Ilmu-ilmu yang muncul
dari tradisi burhani disebut sebagai al-ilm al-husuli, yakni ilmu yang
dikonsep, disusun dan disistematiskan lewat premis-premis logika atau
al-mantiq, dan bukannya lewat otoritas teks atau salaf dan bukan pula lewat
otoritas intuisi.
Tolak
ukur validitas keilmuan burhani pun sangat berbeda dari nalar bayani dan
irfani. Dalam nalar burhani yang ditekankan adalah korespondensi, yakni
kesesuaian antara rumus-rumus yang diciptakan oleh akal manusia dan hukum alam
selain korespondensi, juga ditekankan aspek koherensi (keruntutan dan
keteraturan berpikir logis).[15]
3.
Perbedaan
Epistemologi Bayani, Irfani dan Burhani
Untuk
mempermudah mengetahui perbedaan epistemologi bayani, irfani dan burhani, dapat
dilihat dalam skema perbandingan antara epistemologi keilmuan bayani, irfani
dan burhani.
Pendekatan
Nalar Bayani
1
|
Origin
(sumber)
|
v Nash/ teks/ wahyu (otoritas teks)
·
Al-Khabar,
Al-Ijma’(otoritas salaf)
v Al-‘Ilm Al-tauqify
|
2
|
Metode
(proses dan prosedur)
|
v Ijtihadiyyah
·
Istinbatiyyah/
Istintajiyyah/ Qiyas
v Qiyas (qiyas al-ghaib ‘ala
al-shahid)
|
3
|
Approach
(pendekatan)
|
v Lughawiyah (bahasa)
·
Dalalah
Lughawiyyah
|
4
|
Theoretical
framework (kerangka teori)
|
v Al-asl al-far’
·
Istinbatiyyah
(pola pikir deduktif yang berpangkal pada teks)
·
Qiyas
al –‘illah (fiqih)
·
Qiyas
al-Dallah (kalam)
v Al-lafz al-ma’na
|
5
|
Fungsi
dan peran
|
v Akal sebagai pengekang/ pengatur hawa
nafsu bandingkan lisan al-Arab Ibn Manzur
v Justifikatif-repetitif-ihqlidiy
(pengukuh kebenaran/ otoritas teks)
v Al-Aql al-diniy
|
6
|
Types of argument
|
v Dialektik (jadaliyah): al-Uqul
mutanafisah
·
Defensif-apologatif-dogmatik
v Pengaruh pola logika stoia (bukan
logika Aristotle)
|
7
|
Tolak ukur validitas
keilmuan
|
v Keseruan/ kedekatan antara teks atau
nash dan realitas
|
8
|
Prinsip-prinsip
dasar
|
v Infisal (discontinue)= atomistic
v Tajwiz (keserbabolehan)=tidak ada
hukum kausalitas
v Muqarabah (kedekatan, keserupaan), analogi,
deduktif, qiyas
|
9
|
Kelompok
ilmu-ilmu pendukung
|
v Kalam
v Fikih
v Nahwu, balaghah
|
10
|
Hubungan subjek dan
objek
|
v Subjective
|
Pendekatan Nalar Irfani
1
|
Origin(sumber)
|
v Experience
·
Al-Ru’yah
Al-Mubasyiroh
·
Direct
experience; al-‘ilm al-huduri
·
Preverbal
|
2
|
Metode(proses
dan prosedur)
|
v Al-dzauqiyyah (al-tajribah,
al-bathiyyah)
v Al-riyadhah; Al-mujadah;
al-kusufiyyah; al-israqiyyah; al-laudaniyyah, penghayatan batin/ tasawuf
|
3
|
Approach(pendekatan)
|
v Psiko-ghis, intuitif ; Dzauq (qalb)
·
Al-La’aqlaniyyah
|
4
|
Theoretical
framework(kerangka teori)
|
v Zahir-batin
v Tanzil-takwil
v Nubuwwah-wilayah
v Haqiqi-majazi
|
5
|
Fungsi
dan peran akal
|
v Partisipatif
·
Al-hads
wa al-wijdan
·
bila
wasitah; bila hijab
|
6
|
Type
of argument
|
v Atifiyyah-widaniyyah
v Spirituality (esoterik)
|
7
|
Tolak
ukur validitas keilmuan
|
v Universal reciprocity
v Empati
v Simpati
v Understanding others
|
8
|
Prinsip-prinsip
dasar
|
v Al-ma’rifah
v Al-ittihad/al-fana’ (al-insan adzubu
fi al-Allah); al-insan (partikular) yadzubu
fi al-nas al-insaniyyah
v Al-hulul (Allahu nafsuhu yaghz al-nafs
al-insaniyyah fa yahulla fihawa yatahawalu al-insanu)
|
9
|
Kelompok
Ilmun pendukung
|
v Al-mutawasifah
v Ashab al-irfan ma’rifah (esoterik)
v Hermes/’arifun
|
10
|
Hubungan
subjek dengan objek
|
v Inter subjective
v Wihdatul al-wujud (unity in
difference; unity in multiplicity)
·
Ittihad
al-‘arif wa al-ma’ruf (lintas ruang dan waktu); ijtihad al-aql, al-‘aqil wa
al-ma’qul
|
Pendekatan Nalar
Burhani
1
|
Origin(sumber)
|
v Realitas/al-waqi’ (alam, sosial,
humanitas)
v Al-‘ilm al-husuli
|
2
|
Metode(proses
dan prosedur)
|
v Abstraksi (al-maujudah al-bari’ah min
al-madah)
v Bathiyyah-tahiliyah-tarkibiyyah-naqdiyyah
(al-muhakamah al-aqliyah)
|
3
|
Approach(pendekatan)
|
v Filosofis-scientifik
|
4
|
Theoretical
framework(kerangka teori)
|
v Al-tasawwurat al-tasdiqati al-had
al-burhan
v Premis-premis logika (al-mantiq)
Silogisme
(2 premis + kerangka)
A=B
B=C
A=C
·
Tahlilu
al-anasir al-asiyyah li tu’ida bina’ahu bi syaklin yubarrizu ma huwa
jauhariyyun fihi
v Kulliy-juz’iy jauhar-‘aradh
|
5
|
Fungsi
dan peran akal
|
v Heuristik-analitik-kritis
(al-muamah
wa al-mukabadah wa ijalah al-nazr
v Idraku al-sabab wa al-musabab
v al-aql al-kauny
|
6
|
Type
of argument
|
v Demonstratif (eksploratif,
verifikatif, explanatif)
·
Pengaruh
pola logika aristotle dan logika keilmuan pada umumnya
|
7
|
Tolak
ukur validitas keilmuan
|
v Korespondensi (hubungan antara akal
dan alam)
v Koherensi
v Pragmatik (falibility of knowledge)
|
8
|
Prinsip-prinsip
dasar
|
v Idrak al-sabab (nizam alsababiyah
al-tsabit) prinsip kausalitas
v Al-hatmiyyah (kepastian; certainly)
v Al-mutabaqah baina al-aql wa nizam
al-tabi’ah
|
9
|
Kelompok
Ilmuwan pendukung
|
v Falasifah (fakkar/scholari)
v Ilmuwan (alam, sosial, humanitas)
|
10
|
Hubungan
subjek dengan objek
|
v Objective (al-nazrah al-maudlu iyyah)
v Objective rationalism (terpisah antara subjek dan objek)
|
Kalau
saja tiga pendekatan keilmuan agama islam, yaitu bayani, irfani dan burhani
saling terkait, terjaring dan terpatri dalam satu kesatuan yang utuh, maka
corak dan model keberagaman islam, jauh lebih komprehensif dan bukannya
bercorak dikotomis-atomistis seperti yang dijumpai sekarang ini.
4. Contoh Epistemologi Bayani, Irfani dan
Burhani dalam Kajian Islam
a) Epistemologi Bayani
Dalam pendekatan bayani karena
didominasi teks sedemikian kuat, peran akal hanya sebatas sebagai alat
pembenaran atau justifikasi atas teks yang dipahami atau interpretasi. Secara
langsung bayani adalah memahami teks sebagai pengetahuan jadi dan langsung
mengaplikasikan tanpa perlu pemikiran. Namun secara tidak langsung bayani
berarti memahami teks sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu tafsir dan
penalaran. Meski demikian, hal ini tidak berarti akal atau rasio bisa bebas
menentukan makna dan maksudnya, tetapi tetap harus bersandar pada teks.
Sehingga dalam bayani, rasio dianggap tidak mampu memberikan pengetahuan
kecuali disandarkan pada teks. Dalam perspektif keagamaan, sasaran bidik metode
bayani adalah aspek eksoterik (syariat).
b) Epistemologi Irfani
Contoh konkrit dari pendekatan
'irfani adalah falsafah isyraqi yang memandang pengetahuan diskursif (al-hikmah
al-batiniyyah) harus dipadu secara kreatif harmonis dengan pengetahuan
intuitif (al-hikmah al-zawqiyah). Dengan pemaduan tersebut pengetahuan
yang diperoleh menjadi pengetahuan yang mencerahkan, bahkan akan mencapai al-hikmah
al-haqiqiyyah. Pengalaman batin Rasulullah saw. dalam menerima wahyu
al-Qur'an merupakan contoh konkrit dari pengetahuan irfani.[16]
c) Epistemologi Burhani
Epistemologi
burhani didasarkan pada kekuatan rasio, akal dan dalil-dalil logika, bukannya
teks atau intuisi. Rasio akan memberikan penilaian dan keputusan terhadap
informasi yang masuk lewat indra. Untuk mendapatkan pengetahuan dengan metode
burhani, digunakan penarikan kesimpulan dengan aturan silogisme.
Contoh
dari silogisme :
·
Abid
adalah orang Islam
·
Semua
orang Islam wajib melaksanakn sholat
Jadi kesimpulannya,
Abid wajib melaksanakan sholat
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bertolak dari pemaparan dan penjelasan yang telah diuraikan
di atas, dapat ditarik beberpa poin sebagai kesimpulan pembahasan sebagai
berikut:
Epistemologi bayani adalah
epistemologi yang beranggapan bahwa sumber ilmu pengetahuan adalah wahyu (teks)
atau penalaran dari teks, Epistemologis bayani
merupakan suatu cara untuk mendapatkan pengetahuan dengan berpijak pada teks,
baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung dalam arti langsung
menganggap teks sebagai pengetahuan jadi, dan secara tidak langsung yaitu
dengan melakukan penalaran yang berpijak pada teks ini.
Sedangkan epistemologi irfani adalah
epistemologi yang beranggapan bahwa ilmu pengetahuan adalah kehendak (iradah).
Epistemologi ini memiliki metode yang khas dalam mendapatkan pengetahuan, yaitu
kasyf. Metode ini sangat unik
karena tidak bisa dirasionalkan dan diperdebatkan. Penganut epistemologi ini
adalah para sufi, oleh karenanya teori-teori yang dikomunikasikan menggunakan
metafora dan tamsil, bukan dengan mekanisme bahasa yang nyata.
Sementara epistemologi burhani
adalah epistemologi yang berpandangan bahwa sumber ilmu pengetahuan adalah
akal. Akal menurut epistemologi ini mempunyai kemampuan untuk menemukan
berbagai pengetahuan. Epistemologi burhani ini dalam bidang keagamaan
banyak dipakai oleh aliran berpaham rasionalis seperti Mu’tazilah. Ibnu khaldun
menyebut epistemologi ini dengan ‘ulum al-aqliyyah. Tokoh pendiri
epistemologi ini adalah Aristoteles. Karena epistemologi ini lebih berpijak
pada tradisi berpikir yunani, maka ciri utamanya adalah penggunaan akal secara
maksimal.
DAFTAR
PUSTAKA
Anwar,
Rosihon, dkk. 2009. Pengantar Studi
Islam. Bandung: Pustaka Setia.
Abdullah, Amin. 2006. Islamic Studies di Perguruan Tinggi. Yogyakarta:
Pustaka
Pelajar.
Arief, Armai. 2002. Pengantar Ilmu dan metodologi Pendidikan
Islam. Jakarta: Ciputat Pers.
Qomar, Mujamil. 2005. Epistemologi Pendidikan Islam. Jakarta:
Penerbit Erlangga.
Gaffar, Abdul. “Epistemologi bayani, irfani dan
burhani” http://sanadthkhusus.blogspot.com/2011/09/epistemologi-bayani-burhani-dan-irfani.html
diakses tanggal 1 maret 2012
[1] Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan
Islam, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), hlm.3-4
[2] Mujamil Qomar, Epistimologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Penerbit
Erlangga, 2005), hlm.8
[3] Ibid hlm.9
0 komentar
Posting Komentar