MAKALAH
TRANSPLANTASI ANGGOTA BADAN
Disusun guna
memenuhi tugas :
Mata Kuliah :
Masailul Fiqhiyah
Dosen Pengampu
: DR. Hj. Siti Qomariyah, M.A.
Disusun oleh :
Dani Robbina 202 1112 137
Kelas : B
JURUSAN
TARBIYAH PROGAM STUDI PAI
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN)
PEKALONGAN
2014
BAB I
PENDAHULUAN
LATAR
BELAKANG
Agama Islam
memperhatikan kesehatan rohani sebagai jembatan menuju ketenteraman hidup dunia
dan keselamatan di akhirat, ia juga sangat menekankan pentingnya kesehatan
jasmani sebagai nikmat Allah yang sangat mahal untuk dapat hidup aktual secara
optimal. Sebab kesehatan jasmani disamping menjadi faktor pendukung dalam
terwujudnya kesehatan rohani, juga sebagai modal kebahagiaan lahiriah. Keduanya
saling terkait dan melengkapi tidak bisa dipisahkan bagai dua sisi mata uang.
Oleh karena itu
Islam sangat memuliakan ilmu kesehatan dan kedokteran sebagai perawat kehidupan
dan misi kemanusiaan dengan izin Allah swt. Bahkan ia memerintahkan kita semua
sebagai fardhu ‘ain (kewajiban individual) untuk mempelajarinya secara global
dan mengenali sisi biologis diri kita sebagai media peningkatan iman untuk
semakin mengenal Allah Al-Khaliq disamping sebagai kebutuhan setiap individu
dalam menyelamatkan dan menjaga hidupnya. Islam juga menetapkan fardhu kifayah
(kewajiban kolektif) dan menggalakkan adanya ahli-ahli di bidang kedokteran dan
memandang kedokteran sebagai ilmu yang sangat mulia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Asal Mula Transplantasi (pencangkokan)
Transplantasi jaringan mulai dipikirkan oleh dunia sejak 4000 tahun silam
menurut manuscrip yang ditemukan di Mesir yang memuat uraian mengenai
eksperimen transplantasi jaringan yang pertama kali dilakukan di Mesir sekitar
2000 tahun sebelum diutusnya Nabi Isa as. Sedang di India beberapa puluh tahun
sebelum lahirnya Nabi Isa as. seorang ahli bedah bangsa Hindu telah berhasil
memperbaiki hidung seorang tahanan yang cacat akibat siksaan, dengan cara
mentransplantasikan sebagian kulit dan jaringan lemak yang diambil dari
lengannya. Pengalaman inilah yang merangsang Gaspare Tagliacosi, seorang ahli
bedah Itali, pada tahun 1597M untuk mencoba memperbaiki cacat hidung seseorang
dengan menggunakan kulit milik kawannya.
Tatkala Islam
muncul pada abad ke-7 Masehi, ilmu bedah sudah dikenal di berbagai negara
dunia, khususnya negara-negara maju saat itu, seperti dua negara adi daya
Romawi dan Persi. Namun pencangkokan jaringan belum mengalami perkembangan yang
berarti, meskipun sudah ditempuh berbagai upaya untuk mengembangkannya. Selama
ribuan tahun setelah melewati bantak eksperimen barulah berhasil pada akhir
abad ke-19 M, untuk pencangkokan jaringan, dan pada pertengahan abad ke-20 M
untuk pencangkokan organ manusia. Di masa Nabi saw. negara Islam telah
memperhatikan masalah kesehatan rakyat, bahkan senantiasa berupaya menjamin
kesehatan dan pengobatan bagi seluruh rakyatnya secara cuma-cuma. Ada beberapa
dokter ahli bedah di masa Nabi yang cukup terkenal seperti al Harth bin Kildah
dan Abu Ramtah Rafa’ah, juga Rafidah al Aslamiyah dari kaum wanita.
Meskipun
pencangkokan organ tubuh belum dikenal oleh dunia saat itu, namun operasi
plastik yang menggunakan organ buatan atau palsu sudah dikenal di masa Nabi
saw., sebagaimana yang diriwayatkan Imam Abu Daud dan Tirmidzi dari Abdurrahman
bin Tharfah (Sunan Abu Dawud, hadits. no.4232)
“bahwa kakeknya ‘Arfajah bin As’ad pernah terpotong hidungnya pada perang
Kulab, lalu ia memasang hidung (palsu) dari logam perak, namun hidung tersebut
mulai membau (membusuk), maka Nabi saw. menyuruhnya untuk memasang hidung (palsu)
dari logam emas”. Imam Ibnu Sa’ad dalam Thabaqatnya (III/58) juga telah
meriwayatkan dari Waqid bin Abi Yaser bahwa ‘Utsman (bin ‘Affan) pernah
memasang mahkota gigi dari emas, supaya giginya lebih kuat (tahan lama).
B.
Pengertian Transplantasi
Transplantasi
menurut Dr. Robert Woworuntu dalam bukunya Kamus Kedokteran dan Kesehatan
berarti Pencangkokan. Dalam Kamus Kedokteran DORLAND dijelaskan bahwa
transplantasi berasal dari transplantation (trans-+ L.plantare menanam) yang berarti
penanaman jaringan yang diambil dari tubuh yang sama atau dari individu lain.
Adapun arti transplant ada dua. Pertama, mentransfer jaringan dari satu
bagian ke bagian lain. Kedua, organ atau jaringan yang diambil dari
badan untuk ditanam ke daerah lain pada badan yang sama atau ke individu lain.
Jadi, menurut terminologi kedokteran “transplantasi” berarti “suatu proses
pemindahan atau pencangkokan jaringan atau organ tubuh dari suatu atau seorang
individu ke tempat yang lain pada individu itu atau ke tubuh individu lain”.
Dalam dunia kedokteran jaringan atau organ tubuh yang dipindah disebut graft
atau transplant, pemberi transplant disebut donor, dan penerima transplant
disebut kost atau resipien.
Dalam
prakteknya, berhasil tidaknya jaringan atau organ yang ditransplantasikan dari
donor ke resipien tergantung pada terjadi atau tidak terjadinya reaksi
immunitas pada resipien. Penolakan jaringan atau organ oleh resipien disebabkan
adanya antigen yang dimiliki oleh sel donor tetapi tidak dimiliki oleh sel
resipien. Meskipun demikian, faktor tersebut tidak merupakan suatu hambatan
besar dalam dunia kedokteran. Para ahli medis di lapangan masih mampu
mengatasinya dengan berbagai macam cara yang dapat memperkecil kemungkinan
terjadinya reaksi penolakan, seperti dengan merusak sel-sel limfosit yang
dimiliki oleh resipien atau membuang organ yang memproduksi sel limfosit yaitu
limpa dan thymus.
Transplantasi
termasuk inovasi alternatif dalam dunia bedah kedokteran modern. Dalam beberapa
dekade terakhir tampaknya transplantasi semakin marak dan menjadi sebuah
tantangan medis, baik dari upaya pengembangan aplikasi terapan dan teknologi
prakteknya, maupun ramainya polemik yang menyangkut kode etik dan hukum nya
khususnya hukum syariah Islam.
C. Pandangan Islam Tentang Transplantasi
Banyak orang
yang bertanya-tanya tentang hukum dan ketentuan syariah Islam mengenai
transplantasi yang menyangkut berbagai kasus prakteknya serta persoalan
konsepsional mendasarnya khususnya di kalangan medis, seperti kata Dr. Tarmizi
yang menyoroti fenomena bahwa saat ini yang paling sesuai untuk transplantasi
organ jantung manusia adalah babi (Media Dakwah, No.265 Rab. Awal 1417 H/Agustus 1996). Karena
masalah ini menyangkut banyak dimensi hukum, moral, etika kemanusiaan dan
berbagai aspek kehidupan maka bermunculanlah kontroversi pendapat pro-kontra
mengenai kasus ini.
Pada
hakekatnya, syari’ah Islam ketika berbicara tentang boleh dan tidaknya suatu
masalah, tidak terpasung pada batas ‘hukum sekedar untuk hukum’. Lebih jauh
dari itu, bahwa semua kaedah dan kebijakan hukum syariah Islam memiliki hikmah.
Dimensi vertikalnya, sebagai media ujian iman yang menumbuhkan motivasi
internal terlaksananya suatu etika dan peraturan hidup. Adapun dimensi horizontalnya
adalah ia berdampak positif dan membawa kebaikan bagi kehidupan umat manusia
secara universal. Meskipun demikian, ketika para pakar hukum, pakar syariah
Islam dan tokoh atau pemuka agama mengatakan bahwa praktek transplantasi pada
kenyataanya adalah perlu dan sangat bermanfaat bagi kemanusiaan untuk menyelamatkan
kehidupan dan dapat mengfungsikan kembali tempat organ atau jaringan tubuh
manusia yang telah rusak yang oleh karenanya dibolehkan dan perlu dikembangkan,
namun bagaimanapun juga perlu kajian mendalam lebih lanjut agar dalam
prakteknya tetap dalam koridor kaedah syari’ah, tidak melenceng dari tujuan
kemanusiaan serta menghindari kasus penyalahgunaan, distorsi pelacuran medis
dan eksploitasi rendah yang menjadikannya komoditi dan ajang bisnis sehingga
justru menampilkan perilaku tidak manusiawi.
D. Penetapan Hukum Transplantasi
di Indonesia
Secara prinsip
syariah secara global, mengingat transplantasi organ merupakan suatu tuntutan,
kebutuhan dan alternatif medis modern tidak ada perselisihan dalam hal bolehnya
transplantasi organ ataupun jaringan. Dalam simposium Nasional II mengenai
masalah “Transplantasi Organ” yang telah diselenggarakan oleh Yayasan Ginjal
Nasional pada tangal 8 September 1995 di arena PRJ Kemayoran, telah
ditandatangani sebuah persetujuan antara lain wakil dari PB NU, PP Muhammadiyah,
MUI disetujui pula oleh wakil-wakil lain dari berbagai kelompok agama di
Indonesia. Bolehnya transplantasi organ tersebut juga ditegaskan oleh DR.
Quraisy Syihab bahwa; “Prinsipnya, maslahat orang yang hidup lebih
didahulukan.” selain itu KH. Ali Yafie juga menguatkan bahwa ada kaedah ushul
fiqh yang dapat dijadikan penguat pembolehan transplantasi yaitu “hurmatul
hayyi a’dhamu min hurmatil mayyiti” (kehormatan orang hidup lebih besar
keharusan pemeliharaannya daripada yang mati.)
Lebih
rinci, masalah transplantasi dalam kajian hukum syariah Islam diuraikan menjadi
dua bagian besar pembahasan yaitu:
1. Penanaman jaringan/organ tubuh yang diambil dari tubuh yang
sama.
2. Penanaman jaringan/organ yang diambil dari individu lain yang
dirinci lagi menjadi dua persoalan antara lain:
Ø Penanaman jaringan/organ yang diambil dari individu orang lain
baik yang masih hidup maupun sudah mati
Ø Penanaman jaringan/organ
yang diambil dari individu binatang baik yang tidak najis/halal maupun yang
najis/haram.
Masalah pertama
yaitu seperti praktek transplantasi kulit dari suatu bagian tubuh ke bagian
lain dari tubuhnya yang terbakar atau dalam kasus transplantasi penyumbatan dan
penyempitan pembuluh darah jantung dengan mengambil pembuluh darah pada bagian
kaki. Masalah ini hukumnya adalah boleh berdasarkan analogi (qiyas)
diperbolehkannya seseorang untuk memotong bagian tubuhnya yang membahayakan
keselamatan jiwanya karena suatu sebab. (Dr. Al-Ghossal dalam Naql wa Zar’ul
A’dha (Transplantasi Organ) : 16-20, Dr. As-Shofi, Gharsul A’dha : 126 ).
Masalah kedua
yaitu penanaman jaringan atau organ yang diambil dari orang lain maka dapat
kita lihat persoalannya apabila jaringan atau organ tersebut diambil dari orang
lain yang masih hidup, maka dapat kita temukan dua kasus, yaitu:
Kasus
pertama: Penanaman jaringan atau organ tunggal yang dapat mengakibatkan
kematian donaturnya bila diambil. Seperti, jantung, hati dan otak. Maka
hukumnya adalah tidak boleh yaitu berdasarkan firman Allah Swt dalam al-Qur’an
surat Al-Baqarah: 195, An-Nisa’: 29, dan Al-Maidah: 2 tentang larangan menyiksa
ataupun membinasakan diri sendiri serta bersekongkol dalam pelanggaran.
Kasus
kedua: Penanaman jaringan atau organ yang diambil dari orang lain yang masih
hidup yang tidak mengakibatkan kematiannya seperti, organ tubuh ganda
diantaranya ginjal atau kulit atau dapat juga dikategorikan disini praktek
donor darah. Pada dasarnya masalah ini diperbolehkan selama memenuhi
persyaratannya yaitu:
a.
Tidak membahayakan kelangsungan hidup yang wajar bagi donator jaringan atau organ.
Karena kaidah hukum islam menyatakan bahwa suatu bahaya tidak boleh dihilangkan
dengan resiko mendatangkan bahaya serupa atau sebanding.
b.
Hal itu harus dilakukan oleh donatur dengan sukarela tanpa paksaan dan tidak
boleh diperjual belikan.
c.
Boleh dilakukan bila memang benar-benar transplantasi sebagai alternatif
peluang satu-satunya bagi penyembuhan penyakit pasien dan benar-benar darurat.
d. Boleh
dilakukan bila peluang keberhasilan transplantasi tersebut sangat besar.
(Lihat: Mudzakarah Lembaga Fiqh Islam Rabithah Alam Islami, edisi Januari 1985
M.).
Namun demikian,
ada pengecualian dari semua kasus transplantasi yang diperbolehkan yaitu tidak
dibolehkan transplantasi buah zakar meskipun organ ini ganda karena beberapa
alasan diantaranya yaitu dapat merusak fisik luar manusia, mengakibatkan
terputusnya keturunan bagi donatur yang masih hidup dan transplantasi ini tidak
dinilai darurat, serta dapat mengacaukan garis keturunan. Sebab menurut ahli
kedokteran, organ ini punya pengaruh dalam menurunkan sifat genetis.
(Ensiklopedi Kedokteran Modern, edisi bahasa Arab III/ 583, Dr. Albairum,
Ensiklopedi Kedokteran Arab, hal 134.)
Adapun masalah
penanaman jaringan atau organ tubuh yang diambil dari orang mati yang
kondisinya benar-benar telah mati secara devinif dan medis. Organ atau jaringan
yang akan ditransfer tersebut dirawat dan disimpan dengan cara khusus agar
dapat difungsikan. Maka hal ini secara prinsip syariah membolehkannya
berdasarkan firman Allah dalam al-Qur’an surat Al-Kahfi: 9 - 12 dan berdasarkan
kaedah fiqih diantaranya: ” Suatu hal yang telah yakin tidak dapat dihilangkan
dengan suatu keraguan atau tidak yakin “, ” Dasar pengambilan hukum adalah
tetap berlangsungnya suatu kondisi yang lama sampai ada indikasi pasti perubahannya.”
BAB III
PENUTUP
SIMPULAN
Ada beberapa catatan untuk praktik transplantasi yang
dibolehkan yaitu dari segi Resipien (Reseptor) harus diperhatikan skala
prioritas dan pertimbangan dalam memberikan donasi organ atau jaringan seperti
tingkat moralitas, mental, perilaku dan track record yang menentramkan
lingkungan serta baik bagi dirinya dan orang lain. (QS. Al Hujurat: 1, Ali
Imran: 28, Al Mumtahanah: 8, Shaad: 28), peranan, jasa atau kiprahnya dalam
kehidupan umat (QS. Shaad: 28), hubungan kekerabatan dan tali silatur rahmi (QS.
Al Ahzab: 6), tingkat kebutuhan dan kondisi gawat daruratnya dengan melihat
persediaan.
Adapun dari segi Donor juga harus diperhatikan berbagai pertimbangan
skala prioritas yaitu:
1. menanam jaringan/organ
imitasi buatan bila memungkinkan secara medis
2. Mengambil jaringan/organ dari tubuh orang yang sama selama
memungkinkan karena dapat tumbuh kembali seperti, kulit dan lainnya
3. Mengambil dari organ/jaringan binatang yang halal, adapun
binatang lainnya dalam kondisi gawat darurat dan tidak ditemukan yang halal
4. Mengambil dari tubuh orang yang mati dengan ketentuan seperti
penjelasan di atas
5.
Mengambil dari tubuh orang yang
masih hidup dengan ketentuan seperti diatas disamping orang tersebut adalah
mukallaf ( baligh dan berakal ) harus berdasarkan kesadaran, pengertian, suka
rela dan tanpa paksaan.
Disamping itu
donor harus sehat mental dan jasmani yang tidak mengidap penyakit menular serta
tidak boleh dijadikan komoditas.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama RI. 2003. Himpunan
Fatwa Majelis Ulama Indonesia. Jakarta: Erlangga.
Zuhdi, Masjfuk. . Masail Fiqhiyah. Jakarta: PT.
Toko Gunung Agung.
0 komentar
Posting Komentar