Diberdayakan oleh Blogger.

pencarian

Total Tayangan

Post Populer

Blogger templates

Blogroll

Rabu, 26 Februari 2020

MAKALAH EPISTEMOLOGI PENDIDIKAN ISLAM MODERN


MAKALAH
EPISTEMOLOGI PENDIDIKAN ISLAM MODERN
Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas:
Mata Kuliah: Metodologi Studi Islam
Dosen Pengampu:
 













Disusun Oleh:

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
PEKALONGAN
2012
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam kajian epistemologi Barat, dikenal ada tiga aliran pemikiran, yakni empirisme, rasionalisme, dan intuitisme. Sementara itu, dalam pemikiran filsafat Hindu dinyatakan bahwa kebenaran bisa didapatkan dari tiga macam, yakni teks suci, akal dan pengalaman pribadi.
Dalam kajian pemikiran Islam terdapat juga beberapa aliran besar dalam kaitannya dengan teori pengetahuan (epistimologi). Setidaknya ada tiga model system berpikir dalam Islam, yakni bayani, irfani dan burhani, yang masing-masing mempunyai pandangan yang sama sekali berbeda tentang pengetahuan.















BAB II
PEMBAHASAN
1.    Seputar Epistemologi
A.    Pengertian Epistemologi
Secara etimologi, kata “epistemologi” berasal dari bahasa yunani: “episteme” dan “logos”. Episteme berarti pengetahuan, sedangkan logos berarti teori, uraian atau alasan. Jadi epistemologi berarti sebuah teori tentang pengetahuan. Dalam bahasa inggris dikenal dengan istilah “theori of knowledge”.
Epistemologi adalah sebuah ilmu yang mempelajari hal-hal yang bersangkutan dengan pengetahuan dan dipelajari secara substantif. Hal ini selaras dengan definisi epistemologi yang terdapat didalam KBBI, epistemology adalah: “cabang ilmu filsafat tentang dasar-dasar dan batas-batas pengetahuan.[1]
B.     Objek dan Tujuan Epistemologi
Objek sama dengan sasaran sedangkan tujuan sama dengan harapan. Objek mengantarkan sesuatu pada tercapainya tujuan.
Menurut Jujun S. Sutriasumantri, objek epistemologi berupa “segenap proses yang terlibat dalam usaha kita untuk memperoleh pengetahuan”. Proses untuk memperoleh pengetahuan inilah yang menjadi sasaran epistemologi dan sekaligus berfungsi mengantarkan tercapainya tujuan, sebab sasaran itu merupakan suatu tahap pengantara yang harus dilalui dalam mewujudkan tujuan.[2]
Tujuan epistemologi bukan untuk memperoleh pengetahuan(kendatipun keadaan ini tidak bisa dihindari), akan tetapi yang menjadi pusat perhatian dari tujuan epistemologi adalah lebih penting dari itu, yaitu ingin memiliki potensi untuk memperoleh pengetahuan. Rumusan tersebut menumbuhkan kesadaran seseorang bahwa jangan sampai dia puas dengan sekedar memperoleh pengetahuan tanpa disertai cara atau bekal untuk memperoleh pengetahuan.[3]
C.     Landasan Epistemologi
Landasan epistemologi ilmu disebut metode ilmiah yaitu cara yang dilakukan ilmu dalam menyusun pengetahuan yang benar. Metode ilmiah berperan dalam tataran transformasi dari wujud pengetahuan menuju ilmu pengetahuan, metode ilmiah menjadi standar untuk menilai dan mengukur kelayakan suatu ilmu pengetahuan. Metode ilmiah selalu disokong oleh dua pilar pengetahuan, yaitu rasio dan fakta secara integratif. Penjelasan semakin kuat apabila disertai bukti, begitu juga bukti akan semakin kuat apabila disertai penjelasan yang rasional. Keduanya terdapat dalam apa yang disebut dengan metode ilmiah.[4]
Peter R. Senn mengemukakan,”Metode merupakan suatu prosedur atau cara mengetahui sesuatu yang mempunyai langkah-langkah yang sistematis”. Sedangkan metodologi merupakan suatu pengkajian dalam mempelajari peraturan-peraturan dalam metode tersebut, atau ilmu yang mempelajari prosedur atau cara-cara mengetahui sesuatu.[5]
D.    Pengaruh Epistemologi
Secara global epistemologi berpengaruh terhadap peradaban manusia. Suatu peradaban sudah tentu sibentuk oleh teori pengetahuannya. Epistemologi mengatur semua aspek studi manusia, dari filsafat dan ilmu murni sampai ilmu sosial. Epistemologilah yang menentukan kemajuan sains dan teknologi. Wujud sains dan teknologi yang maju disuatu negara, karena didukung oleh penguasaan dan pengembangan epistemologi.[6]

2.              Epistemologi Bayani, Irfani dan Burhani
A.  Epistemologi Bayani
Bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang didasarkan atas otoritas teks (nash), secara langsung atau tidak langsung. Secara langsung artinya memahami teks sebagai pengetahuan jadi dan langsung  mengaplikasikan  tanpa pemikiran. Secara tidak langsung artinya memahami teks sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu pemikiran.[7]

Menurut Al-Jabiry, corak epistemologi bayani didukung oleh pola pikir fikih dan kalam. Corak pemikiran keislaman model bayani sangatlah mendominasi dan bersifat hegemonik sehingga sulit berdialog dengan tradisi epistemologi irfani dan burhani. Oleh karena itu, pola pikir tekstual bayani lebih dominan secara politis dan membentuk mainstream pemikiran keislaman yang hegemonik. Sebagaimana akibatnya pola pemikiran keagamaan islam model bayani menjadi kaku dan rigid. Otoritas teks dan otoritas salaf yang dibakukan dalam kaidah-kaidah metodologi ushul fikih klasik lebih diunggulkan daripada sumber otoritas keilmuan yang lain seperti alam (kauniyah), akal (aqliyyah) dan intuisi (widaniyah). Kelemahan yang paling mencolok dari tradisi nalar epistemologi bayani atau  tradisi berpikir tekstual keagamaan adalah ketika ia harus berhadapan dengan teks-teks keagamaan yang dimiliki oleh komunitas, kultur, bangsa atau masyarakat yang beragama lain. Sebagaimana dimaklumi bahwa kebenaran teks yang dipahami dan diakui oleh aliran, kelompok atau organisasi lain yang menganut agama yang sama. Sejak dari dulu pola pikir bayani lebih mendahulukan dan mengutamakan qiyas dan bukannya mantiq lewat silogisme dan premis-premis logika.[8]

B.        Pengertian epistemology irfani
Irfan dalam bahasa Arab merupakan masdar dari arafa yang semakna dengan ma’rifah. Dalam kamus lisan al-‘Arab, Al-irfan diartikan dengan al-alim. Di kalangan para sufi, kata irfan digunakan untuk menunjukkan jenis pengetahuan tertinggi, yang dihadirkan dalam qalbu dengan cara kasyf atau ilham.[9]
Irfan atau makrifat berkaitan dengan pengetahuan langsung lewat pengalaman.
Secara terminologi irfan diartikan sebagai pengungkapan atas pengetahuan yang diperoleh lewat penyinaran hakikat oleh Tuhan kepada hamba-Nya setelah adanya olah rohani yang dilakukan atas dasar cinta.[10]
Pola epistemologi irfani lebih bersumber pada intuisi dan bukannya teks. Menurut sejarahnya, epistemologi ini telah ada baik di Persia maupun yunani jauh sebelum  datangnya teks-teks keagamaan baik oleh yahudi, Kristen maupun islam. Status  dan keabsahan irfani selalu di pertanyakan baik oleh tradisi berpikir bayani atau burhani. Jika sumber terpokok ilmu pungetahuan dalam tradisi bayani adalah “teks” (wahyu), maka sumber terpokok ilmu pengetahuan dalam tradisi berpikir irfani adalah “ experience” (pengalaman). Pengalaman hidup sehari-hari yang otentik, sesungguhnya merupakan pelajaran yang tak ternilai harganya. Ketika manusia memghadapi alam semesta yang cukup mengagumkan dalam lubuk hatinya yang terdalam telah dapat mengetahui telah adanya Dzat yang Maha Suci dan Segalanya. Untuk mengetahui Dzat yang Maha Pengasih dan Penyayang, orang tidak perlu menunggu turunnya “teks”. Pengalaman konkrit, pahitnya konflik, kekerasan dan desintegrasi sosial dan akibat yang ditimbulkannya dapat dirasakan oleh siapapun, tanpa harus di persyaratkan mengenal jenis-jenis teks keagamaan yang biasa dibacanya.

C.       Epistemologi Burhani
Al Burhani secara sederhana bisa diartikan sebagai suatu aktifitas berpikir untuk menetapkan kebenaran proposisi(qadliyah) melalui pendekatan deduktif(al-istintaj).
Menurut Al-Jabiri, prinsip-prinsip burhani pertama kali dibangun oleh Aristoteles yang dikenal dengan istilah metode analitik(tahlili). Cara berpikir analitik Aristoteles ini masuk kedalam pemikiran Islam pertama kali lewat program penterjemahan buku filsafat yang gencar dilakukan pada masa khalifah Al-Ma’mun.[11]
Secara etimologi, al-burhan dalam bahasa arab, adalah argumentasi yang kuat dan jelas (al-hujjat al-fashilat al-bayyinat). Dalam bahasa inggris, al-burhan disebut demonstration, berasal dari bahasa latin demonstrate yang berarti isyarat, sifat, keterangan dan menampakkan.[12] Al-burhan dapat juga diartikan sebagai pembuktian yang tegas (desive proof) dan keterangan yang jelas.[13]
Burhani adalah pengetahuan yang diperoleh dari indra percobaan dan hukum-hukum logika. Burhani atau pendekatan rasional argumentatif adalah pendekatan yang mendasarkan diri pada kekuatan rasio melalui lnstrumen logika dan metode diskursif (batiniyah). Pendekatan ini menjadikan realitas maupun teks dan hubungan antara keduanya sebagai sumber kajian. Realitas yang dimaksud mencakup realitas alam, sejarah, social dan budaya. Dalam pendekatan ini, teks dan realitas (konteks) berada dalam satu wilayah yang saling mempengaruhi.[14]
Jika sumber ilmu dari corak epistemologi bayani adalah teks, sedangkan irfani adalah pengalaman langsung, maka epistemology burhanibersumber pada realita (al-waqi’) baik realitas alam, social, humanitas maupun keagamaan. Ilmu-ilmu yang muncul dari tradisi burhani disebut sebagai al-ilm al-husuli, yakni ilmu yang dikonsep, disusun dan disistematiskan lewat premis-premis logika atau al-mantiq, dan bukannya lewat otoritas teks atau salaf dan bukan pula lewat otoritas intuisi.
Tolak ukur validitas keilmuan burhani pun sangat berbeda dari nalar bayani dan irfani. Dalam nalar burhani yang ditekankan adalah korespondensi, yakni kesesuaian antara rumus-rumus yang diciptakan oleh akal manusia dan hukum alam selain korespondensi, juga ditekankan aspek koherensi (keruntutan dan keteraturan berpikir logis).[15]

3.                  Perbedaan Epistemologi Bayani, Irfani dan Burhani
Untuk mempermudah mengetahui perbedaan epistemologi bayani, irfani dan burhani, dapat dilihat dalam skema perbandingan antara epistemologi keilmuan bayani, irfani dan burhani.
Pendekatan Nalar Bayani
1
Origin (sumber)
v  Nash/ teks/ wahyu (otoritas teks)
·         Al-Khabar, Al-Ijma’(otoritas salaf)
v  Al-‘Ilm Al-tauqify
2
Metode (proses dan prosedur)
v  Ijtihadiyyah
·         Istinbatiyyah/ Istintajiyyah/ Qiyas
v  Qiyas (qiyas al-ghaib ‘ala al-shahid) 
3
Approach (pendekatan)
v  Lughawiyah (bahasa)
·         Dalalah Lughawiyyah
4
Theoretical framework (kerangka teori)
v  Al-asl al-far’
·         Istinbatiyyah (pola pikir deduktif yang berpangkal pada teks)
·         Qiyas al –‘illah (fiqih)
·         Qiyas al-Dallah (kalam)
v  Al-lafz al-ma’na
5
Fungsi dan peran
v  Akal sebagai pengekang/ pengatur hawa nafsu bandingkan lisan al-Arab Ibn Manzur
v  Justifikatif-repetitif-ihqlidiy (pengukuh kebenaran/ otoritas teks)
v  Al-Aql al-diniy
6
Types of argument
v  Dialektik (jadaliyah): al-Uqul mutanafisah
·         Defensif-apologatif-dogmatik
v  Pengaruh pola logika stoia (bukan logika Aristotle)
7
Tolak ukur validitas keilmuan
v  Keseruan/ kedekatan antara teks atau nash dan realitas
8
Prinsip-prinsip dasar
v  Infisal (discontinue)= atomistic
v  Tajwiz (keserbabolehan)=tidak ada hukum kausalitas
v  Muqarabah (kedekatan, keserupaan), analogi, deduktif, qiyas
9
Kelompok ilmu-ilmu pendukung
v  Kalam
v  Fikih
v  Nahwu, balaghah
10
Hubungan subjek dan objek
v  Subjective



 Pendekatan Nalar Irfani

1
Origin(sumber)
v  Experience
·         Al-Ru’yah Al-Mubasyiroh
·         Direct experience; al-‘ilm al-huduri
·         Preverbal
2
Metode(proses dan prosedur)
v  Al-dzauqiyyah (al-tajribah, al-bathiyyah)
v  Al-riyadhah; Al-mujadah; al-kusufiyyah; al-israqiyyah; al-laudaniyyah, penghayatan batin/ tasawuf
3
Approach(pendekatan)
v  Psiko-ghis, intuitif ; Dzauq (qalb)
·         Al-La’aqlaniyyah
4
Theoretical framework(kerangka teori)
v  Zahir-batin
v  Tanzil-takwil
v  Nubuwwah-wilayah
v  Haqiqi-majazi
5
Fungsi dan peran akal
v  Partisipatif
·         Al-hads wa al-wijdan
·         bila wasitah; bila hijab
6
Type of argument
v  Atifiyyah-widaniyyah
v  Spirituality (esoterik)
7
Tolak ukur validitas keilmuan
v  Universal reciprocity
v  Empati
v  Simpati
v  Understanding others
8
Prinsip-prinsip dasar
v  Al-ma’rifah
v  Al-ittihad/al-fana’ (al-insan adzubu fi al-Allah); al-insan (partikular)  yadzubu fi al-nas al-insaniyyah
v  Al-hulul (Allahu nafsuhu yaghz al-nafs al-insaniyyah fa yahulla fihawa yatahawalu al-insanu)
9
Kelompok Ilmun pendukung
v  Al-mutawasifah
v  Ashab al-irfan ma’rifah (esoterik)
v  Hermes/’arifun
10
Hubungan subjek dengan objek
v  Inter subjective
v  Wihdatul al-wujud (unity in difference; unity in multiplicity)
·         Ittihad al-‘arif wa al-ma’ruf (lintas ruang dan waktu); ijtihad al-aql, al-‘aqil wa al-ma’qul





Pendekatan Nalar Burhani

1
Origin(sumber)
v  Realitas/al-waqi’ (alam, sosial, humanitas)
v  Al-‘ilm al-husuli
2
Metode(proses dan prosedur)
v  Abstraksi (al-maujudah al-bari’ah min al-madah)
v  Bathiyyah-tahiliyah-tarkibiyyah-naqdiyyah (al-muhakamah al-aqliyah)
3
Approach(pendekatan)
v  Filosofis-scientifik
4
Theoretical framework(kerangka teori)
v  Al-tasawwurat al-tasdiqati al-had al-burhan
v  Premis-premis logika (al-mantiq)
Silogisme (2 premis + kerangka)
A=B
B=C
A=C
·         Tahlilu al-anasir al-asiyyah li tu’ida bina’ahu bi syaklin yubarrizu ma huwa jauhariyyun fihi
v  Kulliy-juz’iy jauhar-‘aradh
5
Fungsi dan peran akal
v  Heuristik-analitik-kritis
(al-muamah wa al-mukabadah wa ijalah al-nazr
v  Idraku al-sabab wa al-musabab
v  al-aql al-kauny
6
Type of argument
v  Demonstratif (eksploratif, verifikatif, explanatif)
·         Pengaruh pola logika aristotle dan logika keilmuan pada umumnya
7
Tolak ukur validitas keilmuan
v  Korespondensi (hubungan antara akal dan alam)
v  Koherensi
v  Pragmatik (falibility of knowledge)
8
Prinsip-prinsip dasar
v  Idrak al-sabab (nizam alsababiyah al-tsabit) prinsip kausalitas
v  Al-hatmiyyah (kepastian; certainly)
v  Al-mutabaqah baina al-aql wa nizam al-tabi’ah
9
Kelompok Ilmuwan pendukung
v  Falasifah (fakkar/scholari)
v  Ilmuwan (alam, sosial, humanitas)
10
Hubungan subjek dengan objek
v  Objective (al-nazrah al-maudlu iyyah)
v  Objective rationalism  (terpisah antara subjek dan objek)

Kalau saja tiga pendekatan keilmuan agama islam, yaitu bayani, irfani dan burhani saling terkait, terjaring dan terpatri dalam satu kesatuan yang utuh, maka corak dan model keberagaman islam, jauh lebih komprehensif dan bukannya bercorak dikotomis-atomistis seperti yang dijumpai sekarang ini.
4.      Contoh Epistemologi Bayani, Irfani dan Burhani dalam Kajian Islam
a)      Epistemologi Bayani
Dalam pendekatan bayani karena didominasi teks sedemikian kuat, peran akal hanya sebatas sebagai alat pembenaran atau justifikasi atas teks yang dipahami atau interpretasi. Secara langsung bayani adalah memahami teks sebagai pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikan tanpa perlu pemikiran. Namun secara tidak langsung bayani berarti memahami teks sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu tafsir dan penalaran. Meski demikian, hal ini tidak berarti akal atau rasio bisa bebas menentukan makna dan maksudnya, tetapi tetap harus bersandar pada teks. Sehingga dalam bayani, rasio dianggap tidak mampu memberikan pengetahuan kecuali disandarkan pada teks. Dalam perspektif keagamaan, sasaran bidik metode bayani adalah aspek eksoterik (syariat).
b)      Epistemologi Irfani
Contoh konkrit dari pendekatan 'irfani adalah falsafah isyraqi yang memandang pengetahuan diskursif (al-hikmah al-batiniyyah) harus dipadu secara kreatif harmonis dengan pengetahuan intuitif (al-hikmah al-zawqiyah). Dengan pemaduan tersebut pengetahuan yang diperoleh menjadi pengetahuan yang mencerahkan, bahkan akan mencapai al-hikmah al-haqiqiyyah. Pengalaman batin Rasulullah saw. dalam menerima wahyu al-Qur'an merupakan contoh konkrit dari pengetahuan irfani.[16]
c)      Epistemologi Burhani
Epistemologi burhani didasarkan pada kekuatan rasio, akal dan dalil-dalil logika, bukannya teks atau intuisi. Rasio akan memberikan penilaian dan keputusan terhadap informasi yang masuk lewat indra. Untuk mendapatkan pengetahuan dengan metode burhani, digunakan penarikan kesimpulan dengan aturan silogisme.
Contoh dari silogisme :
·         Abid adalah orang Islam
·         Semua orang Islam wajib melaksanakn sholat
Jadi kesimpulannya, Abid wajib melaksanakan sholat
















BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Bertolak dari pemaparan dan penjelasan yang telah diuraikan di atas, dapat ditarik beberpa poin sebagai kesimpulan pembahasan sebagai berikut:
Epistemologi bayani adalah epistemologi yang beranggapan bahwa sumber ilmu pengetahuan adalah wahyu (teks) atau penalaran dari teks, Epistemologis bayani merupakan suatu cara untuk mendapatkan pengetahuan dengan berpijak pada teks, baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung dalam arti langsung menganggap teks sebagai pengetahuan jadi, dan secara tidak langsung yaitu dengan melakukan penalaran yang berpijak pada teks ini.
Sedangkan epistemologi irfani adalah epistemologi yang beranggapan bahwa ilmu pengetahuan adalah kehendak (iradah). Epistemologi ini memiliki metode yang khas dalam mendapatkan pengetahuan, yaitu kasyf. Metode ini sangat unik karena tidak bisa dirasionalkan dan diperdebatkan. Penganut epistemologi ini adalah para sufi, oleh karenanya teori-teori yang dikomunikasikan menggunakan metafora dan tamsil, bukan dengan mekanisme bahasa yang nyata.
Sementara epistemologi burhani adalah epistemologi yang berpandangan bahwa sumber ilmu pengetahuan adalah akal. Akal menurut epistemologi ini mempunyai kemampuan untuk menemukan berbagai pengetahuan. Epistemologi burhani ini dalam bidang keagamaan banyak dipakai oleh aliran berpaham rasionalis seperti Mu’tazilah. Ibnu khaldun menyebut epistemologi ini dengan ‘ulum al-aqliyyah. Tokoh pendiri epistemologi ini adalah Aristoteles. Karena epistemologi ini lebih berpijak pada tradisi berpikir yunani, maka ciri utamanya adalah penggunaan akal secara maksimal.
  








DAFTAR PUSTAKA


Anwar, Rosihon, dkk. 2009. Pengantar Studi Islam. Bandung: Pustaka Setia.

Abdullah, Amin. 2006. Islamic Studies di Perguruan Tinggi. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.

Arief, Armai. 2002. Pengantar Ilmu dan metodologi Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Pers.

Qomar, Mujamil. 2005. Epistemologi Pendidikan Islam. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Gaffar, Abdul. Epistemologi bayani, irfani dan burhani” http://sanadthkhusus.blogspot.com/2011/09/epistemologi-bayani-burhani-dan-irfani.html diakses tanggal 1 maret 2012





[1] Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), hlm.3-4
[2] Mujamil Qomar, Epistimologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2005), hlm.8
[3] Ibid hlm.9
[4] Ibid, hlm.11
[5] Ibid, hlm.20
[6] Ibid, hlm.31
[7] A. Khudori Soleh, Wacana baru filsafat Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 177
[8] Amin Abdullah, Islamic studies di perguruan tinggi,(yogya: Pustaka Pelajar, 2006), hlm.203
[9] Ibid, hlm. 243.
[10] A. Khudhori Sholeh, op. cit., hlm. 194.
[11] Ibid., hlm. 220.
[12] Rosihon Anwar, dkk, Pengantar Studi Islam, Bandung : Pustaka Setia, 2009, hlm.239.
[13] Ibid
[14] Ibid
[15] Amin Abdullah, loc. cit.


0 komentar

Posting Komentar