Diberdayakan oleh Blogger.

pencarian

Total Tayangan

Post Populer

Blogger templates

Blogroll

Senin, 02 Maret 2020

MAKALAH TAFSIR TARBAWI FITRAH MANUSIA


MAKALAH
FITRAH MANUSIA
Mata Kuliah: Tafsir Tarbawi II
Dosen Pengampu: M. Rodli, M.Pd




 Disusun Oleh :
1.        Dani Robbina                      2021112137
2.        Rusdah                                2021112101
3.        Mustaghfiroh                      2021112085
4.        Dwi Ilfa Sari                       2021112074

Kelas : A

JURUSAN TARBIYAH/PAI SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) PEKALONGAN
2014
BAB I
PENDAHULUAN

KATA PENGANTAR
Segala puji bagi ALLAH SWT, sholawat serta salam semoga terlimpahan Nabi besar Muhammad SAW beserta keluarga, shabat dan sekalian umat yang bertaqwa.
Atas berkat rahmat dan hidayah allah swt, penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul” Fitrah Manusia ” ini dengan lancar tanpa halangan suatu apapun. Selain itu dalam proses penulisan makalah ini penulis merasa berhutang budi kepada berbagi pihak terutama kepada dosen pembimbing Bapak. Muhammad Rodli, M.Pd yang telah memberikan bimbingan dan arahan dengan penuh sabar dan tulus ikhlas.
Atas segala bantuan tersebut, penilis tidak dapat membalas berupa apapun kecuali mengucapkan terima kasih seraya mengharapkan limpahan rahmat dari Allah SWT, sehingga segala kebaikan itu mendapatkan pahala dari Allah SWT.
Akhirya penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini tentu di sana sini masih terdapat kelemahan ataupun kekurangan,maka penilis mengharapkan keritik dan saran yang konstruktif dari pihak manapun demi kebaikan selanjutnya,semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua amin.

                                                                                                                                    Penulis
                                                                                                            24 Maret 2014

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Q.S. At-Taubah ayat 24
1.   Ayat Al-Qur’an

قُلْ اِنْ كَانَ ابَاؤُكُمْ وَاَبْنَاؤُكُم وَاِخْوَانُكُمْ وَاَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيْرَتُكُمْ وَاَمْوَالُ ن اقْتَرَفْتُمُوْهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسكِنُ تَرْضَوْنَهَا اَحَبَّ اِلَيْكُمْ مِّنَ الله وَرَسُوْلِه وَجِهَادٍ فِي سَبِيْلِه فَتَرَبَّصُوْا حَتَّي يَأْتِيَ اللهُ بِاَمْرِه وَاللهُ لاَيَهْدِي القَوْمَ الفسِقِيْنَ.

Artinya: “katakanlah, ‘jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum kerabat, harta kekayaan yang kalian usahakan, perniagaan yang kalian khawatirkan kerugian, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kalian sukai, adalah lebih kalian cintai daripada Allah swt dan rasul-Nya dan (daripada) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah SWT mendatangkan keputusan-Nya.’ Dan Allah swt tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.”

2.      Makna Mufrodat
اَلْعَشِيْرَةُ              : kaum kerabat terdekat yang diantara kewajibannya ialah     tolong menolong
الاِقْتِرَافُ              : mengusahakan
كَسَادُ التِّجَارَةِ         : kerugian berdagang
التَّرَبُّصُ              : menunggu
اَمْرُهُ                    : siksa-Nya, baik di dunia maupun di akhirat[1]
3.      Munasabah
“ayat yang lalu menerangkan keutamaan berjihad dan keuntungan hijrah serta akibat rusaknya amal-amal kaum musyrikin walaupun amalnya itu adalah amal yang baik seperti memberi minuman jama’ah haji dan memakmurkan masjidilharam. Ayat berikutnya ini menjelaskan bahwa semua amal itu tidak akan sempurna, kecuali kaum muslimin telah melepaskan diri dari kekuasaan kaum musyrikin, dan lebih mengutamakan cinta kepada Allah swt daripada cinta kepada ibu, bapak, anak, saudara, suami, istri, keluarga, harta dan tempat tinggal.”[2]

4.      Asbabun Nuzul
Ali Ibnu Abu Thalib pun mengatakan pula kepada orang-orang yang telah ia kenal baik sebelumnya: “ Tidaklah kalian berhijrah, tidaklah kalian menyusul Rasulullah saw ?” maka mereka menjawab : “kami akan tetap bermukim (di Mekah) bersama saudara-saudara kami, kabilah kami dan menempati rumah-rumah kami sendiri”. Lalu turunlah ayat firman-Nya : “katakanlah, jika bapak-bapak kalian.......(Q. S.at.Taubah 24).[3]

5.      Tafsir
Peringatan ayat yang lalu belum menyentuh hati sementara orang apalagi hubungan kekeluargaan seringkali menjadikan seseorang lengah, karena itu ayat ini memperjelas larangan tersebut dan mempertegas ancamannya dengan memerintahkan kepada Nabi SAW: Hai Muhammad, katakanlah: jika bapak-bapak kamu yang merupakan manusia yang seharusnya paling kamu hormati dan taati, anak-anak kamu yang biasanya kamu paling cintai, saudara-saudara kamu yang merupakan orang-orang yang sedarah daging dengan kamu, istri-istri kamu yang menjadi pasangan hidup kamu, kaum keluarga kamu yang kamu paling andalkan dalam membela dan mendukung kamu, harta kekeyaan yang kamu usahakan dan kamu membanting tulang untuk memperolehnya, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiaannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, lebih kamu cintai daripada Allah swt dan Rasul-Nya dan daripada berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah swt mendatangkan keputusan-Nya” yang tidak dapat kamu elakan, yakni menjatuhkan sanksi atas sikap buruk itu. Jika itu yang terus kamu lakukan maka sesungguhnya kamu telah menjadi oarang-orang fasik yang keluar dan menyimpang dari tuntutan Ilahi. Dan Allah swt tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik, yakni tidak membimbing dan memberi kemampuan untuk mengamalkan pesan-pesan-Nya.
Ayat ini bukan berarti melarang mencintai keluarga atau harta benda. Betapa ia melarangnya padahal cinta terhadap harta dan anak adalah naluri manusia. Al-Qur’an pun menbenarkan hal tersebut. Rujuklah antara lain firman-Nya dalam QS.al-Imron(3): 14. Ayat ini hanya mengingatkan jangan sampai kecintaan kepada hal-hal tersebut melampaui batas sehingga menjadikan ia dipilih sambil mengorbankan kepentingan Agama. Karena itulah sehingga ayat di atas menggunakan kata (اَحَبَّ) ahabba/ lebih kamu cintai. Memang kecintaan kepada sesuatu diukur ketika seseorang dihadapkan kepada dua hal atau lebih yang harus dipilih salah satunya. Dalam konteks ini jika kenikmatan duniawi disandingkan dengan nilai-nilai Ilahi, lalu harus dipilih salah satunya maka cinta yang lebih besar akan terlihat saat menjatuhkan pilihannya.[4]

6.      Aspek Tarbawi
Dengan demikian ayat ini memberi peringatan sebagai berikut:
a. Bahwa cinta anak terhadap bapak adalah naluri yang ada pada tiap-tiap diri manusia. Anak sebagai keturunan dari bapaknya adalah mewarisi sebagian sifat-sifat dari tabiat-tabiat bapaknya.
b. Bahwa cinta bapak kepada anaknya adalah naluri juga, bahkan lebih mendalam lagi karena anak merupakan jantung hati yang diharapkan melanjutkan keturunan dan meneruskan sejarah hidupnya. Dalam hal ini bapak rela menanggung segala macam pengorbanan untuk kebahagiaan masa depan anaknya.
c. Bahwa cinta kepada saudara dan karib kerabat adalah suatu cinta yang berjalan dalam rangka pelaksanaan hidup dan kehidupan tolong-menolong, bantu-membantu dan bela-membela baik kehidupan rumah tangga maupun kehidupan bermasyarakat. Cinta yang demikian itu akan menumbuhkan perasaan hormat-menghormati dan sayang-menyayangi.
d. Bahwa cinta suami istri adalah cinta yang terpadu antara dua jenis makhluk yang akan membina keturunan dan membangun rumah tangga untuk kebahagiaan hidup dan kehidupan dalam dunia dan akhirat. Oleh karena itu keutuhan hubungan suami istri yang harmonis menjadi pokok bagi kerukunan dan kebahagiaan hidup dan kehidupan yang diidam-idamkan.
e. Bahwa cinta terhadap harta dalam segala jenis bentuknya baik harta usaha, warisan, perdagangan maupun rumah tempat tinggal dan lain-lain adalah cinta yang sudah menjadi tabiat manusia. Semua yang dicintai merupakan kebutuhan yang tidak dapat terpisahkan bagi hidup dan kehidupan manusia yang diusahakannya dengan menempuh segala jalan yang dihalalkan Allah swt. Adapun cinta kepada Allah swt. wajib didahulukan daripada segala macam cinta tersebut di atas karena Dialah yang memberi hidup dan kehidupan dengan segala macam karunia-Nya kepada manusia dan Dialah yang bersifat sempurna dan Maha Suci dari segala kekurangan. Begitu juga cinta kepada Rasulullah saw. haruslah lebih dahulu diutamakan pula karena Rasulullah saw. itu diutus Allah swt. untuk membawa petunjuk dan menjadi rahmat bagi alam semesta.
Firman Allah:

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ
Artinya:
Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.

(Q.S. Ali Imran: 31)
Dan sabda Rasulullah saw.:

لا يؤمن أحدكم حتى أكون أحب إليه من والده وولده والناس أجمعين
Artinya:
“Tidaklah sempurna iman salah seorang kamu sebelum ia mencintai aku lebih dari mencintai orang tuanya, anak anaknya dan manusia seluruhnya.

(H.R. Bukhari, dan Muslim dari Anas)

B.     Q.S. An-Nahl Ayat 78
1.      Ayat Al-Qur’an
yoyÏ«øùF{$#ur »|Áö/F{$#ur nìôJ¡¡9$# ãNä3s9 Ÿ@yèy_ur $\«øx© šcqßJn=÷ès? Ÿw öNä3ÏF»yg¨Bé& ÈbqäÜç/ .`ÏiB Nä3y_t÷zr& ª!$#ur
šcrãä3ô±s?Nä3ª=yès9
Artinya: Dan Allah mengeluarkan kalian dari perut ibu kalian dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun dan Dia memberi kalian pendengaran penglihatan dan hati agar kalian bersyukur”.
2. Makna Mufrodat
$\«øx© šcqßJn=÷ès? Ÿw öNä3ÏF»yg¨Bé& ÈbqäÜç/ .`ÏiB Nä3y_t÷zr& ª!$#ur (Dan Allah mengeluarkan kalian dari perut ibu kalian dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun) jumlah kalimat  laa ta’lamuuna syai-an berkedudukan menjadi hal atau kalimat keterangan —   yìôJ¡¡9$# ãNä3s9 Ÿ@yèy_ur (dan Dia memberi kalian pendengaran) lafaz as-sam‘u bermakna jamak, sekalipun lafaznya mufrad — t»|Áö/F{$#ur noyÏ«øùF{$#ur (penglihatan dan hati) kalbu — öNä3ª=yès9 šcrãä3ô±s? — (agar kalian bersyukur) kepada-Nya atas hal-hal tersebut, oleh karenanya kalian beriman kepadanya.[5]

3. Munasabah

Pada Ayat-ayat yang lalu dijelaskan tentang ketidakpantasan patung dan berhala untuk disembah, dan larangan bagi manusia untuk mengadakan tandingan atau sekutu bagi Allah. Pada ayat-ayat berikut ini, diterangkan tentang kesempurnaan nikmat dan rahmat Allah kepada manusia, baik pada diri mereka sendiri maupun pada alam semesta, agar mereka mengesakan Allah, tidak mempersekutukan-Nya, dan beribadah hanya kepada-Nya.[6]
4. Asbabun Nuzul
Dalam Al-Qur’an surat An-Nahl ayat 78 tidak terdapat asbabun nuzulnya.
5. Tafsir
Menurut Tafsir jalalainوَاللهُ اَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُوْنِ اُمَّهَاتِكُمْ لَاتَعْلَمُوْنَ شَيْئَا (Dan Allah mengeluarkan kalian dari perut ibu kalian dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun) jumlah kalimat lata’lamuna syai-an berkedudukan menjadi hal atau kalimat keterangan -وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ  (Dan Dia memberi kalian pendengaran) lafadz as-sam’u bermakna jamak, sekalipun lafadznya mufrad وَالْاَفْئِدَةْ وَالْاَبْصَارَ (penglihatan dan hati) kalbu –  لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ (agar kalian bersyukur) kepada-Nya atas hal-hal tersebut, oleh karenanya kalian beriman kepada-Nya.[7]
Dalam Tafsir Al-Misbah, Ayat ini menyatakan : Dan sebagaimana Allah mengeluarkan kamu beradasar kuasa dan ilmu-Nya dari perut ibu-ibu kamu sedang tadinya kamu tidak wujud, maka demikian juga Dia dapat mengeluarkan kamu dari perut bumi dan menghidupkan kamu kembali. Ketika Dia mengeluarkan kamu dari ibi-ibu kamu, kamu semua dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun  yang ada di sekeliling kamu dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan-penglihatan dan aneka hati, sebagai bekal dan alat-alat untuk meraih pengetahuan agar kamu bersyukur dengan menggunakan alat-alat tersebut sesuai dengan tujuan Allah menganugrahkannya kepada kamu.[8]
Dan dalam Tafsir al-maraghi, Allah menjadikan kalian mengetahui apa yang tidak kalian ketahui, setelah Dia mengeluarkan kalian dari dalam perut ibu. Kemudian memberi kalian akal yang dengan itu kalian dapat memahamin membedakan antara yang baik dan yang buruk, antara petunjuk dengan kesesatan, dan antara yang salah dan yang benar; menjadikan pendengaran bagi kalian, yang dengan itu kalian dapat mendengar suara-suara, sehingga sebagian kalian dapat memahami dari sebagian yang lain apa yang saling kalian perbincangkan; menjadikan penglihatan yang dengan itu kalian dapat melihat orang-orang,  sehingga kalian dapat saling mengenal dan membedakan antara sebagian dengan sebagian yang lain; menjadikan perkara – perkara yang kalian butuhkan dalam hidup ini, sehingga kalian dapat mengetahui jalan, lalu kalian menempuhnya untuk beruhsaha mencari rezeki dan barang-barang, agar kalian dapat memilih yang baik dan meninggalkan yang buruk. Demikian halnya dengan seluruh perlengkapan dan aspek kehidupan.
لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ
Dengan harapan kalian dapat bersyukur kepada-Nya dengan menggunakan nukmat-nikmat-Nya dalam tujuannya yang untuk itu ia diciptakan, dapat beribbadah kepada-Nya, dan agar dengan setiap anggota tubuh kalian melaksnankan ketaatan kepada-Nya.[9]
5. Aspek Tarbawi
Makna yang terkandung dalam ayat ini adalah Allah mengajarkan kita apa yang sebelumnya tidak kita ketahui, yaitu sesudah Allah mengeluarkan dari perut ibu kita tanpa memahami dan mengetahui sesuatu apapun. Allah mengkaruniakan kepada kita pendengaran, penglihatan, dan hati sebagai bekal dan alat-alat potensial untuk meraih pengetahuan agar kita bersyukur, yaitu dengan memberdayakan dan menggunakan alat-alat tersebut sesuai dengan tujuan Allah menganugrahinya kepada manusia.
Seperti, akal untuk memahami dan membedakan antara yang baik dan buruk. Kemudian Allah membuka mata kita untuk melihat apa yang tidak kita lihat sebelumnya, dan memberi kita telinga untuk mendengar suara-suara sehingga sebagian dari kita memahami perbincangan kalian, serta memberi kita mata untuk melihat berbagai sosok, sehingga kalian dapat saling mengenal dan membedakan.



BAB III
PENUTUP
Simpulan
            Dari pembahasan dua ayat diatas dapat diketahui bahwa kita hidup di dunia ini harus mempunyai rasa cinta, dan rasa cinta itu harus lebih mengutamakan cinta kepada Allah swt , Rasul dan berjihad dijalan-Nya daripada cinta kepada ibu, bapak, anak, saudara, suami, istri, keluarga, harta dan tempat tinggal. Dan dengan cinta kepada Allah kita bisa lebih mengetahui bahwa kita dilahirkan dari perut ibu dengan keadaan tidak mengetahui dan membawa sesuatupun melainkan semuanya itu atas kuasa Allah SWT., dengan itu kita bisa lebih meningkatkan ibadah kita dan lebih mensyukuri nikmat-nikmat-Nya












DAFTAR PUSTAKA

Departemen Agama RI. 2009. al-Qur’an al-Bayan. Jakarta: C.V. Bayan Qur’an.
Imam Jalaluddin al-Mahalli dan Imam Jalaluddin as-Suyuti. 2009. Tafsir Jalalain Jilid I. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Mustofa al-Maraghi, Ahmad. 1992. Tafsir al-Maraghi. Semarang: PT. Karya Toha Putra.
Shihab, M.Quraish. 2002, Tafsir Al-Mishbah Jilid 5. Jakarta: Lentera Hati.
Shihab, M. Quraish. 2005, Tafsir Al-Misbah jilid 7. Jakarta: Lentera hati.



[1] Ahmad Mustofa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, ( Semarang, PT. Karya Toha Putra, 1992) hal. 135-136

[2] Departemen Agama RI, Al-Qur’an al-Bayan, (Jakarta, CV Bayan Qur’an, 2009), hal. 190
[3] Imam Jalaluddin al-Mahalli dan Imam Jalaluddin as-Suyuti, tafsir Jalalain jilid I,( Bandung, Sinar Baru Algensindo, 2009), hal. 779

[4] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Jilid 5,( Jakarta, Lentera Hati, 2002), hal. 560-561

[5] Imam Jalaluddin al-mahali dan Imam Jalaluddin as-suyuti, Tafsir Jalalain (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2009), cet.ke-7, hlm. 389.
[6] Loc. Cit hal. 275
[7] Imam Jalaluddin Al Mahali dan Imam Jalaluddin As-Suyuti, Tafsir Jalalain terjemah Bahrun Abu Bakar (Bandung, Sinar Baru  Algesindo, 2009), hal. 1035
[8] M. Quraish Shihab. Tafsir Al-Misbah jilid  7. (Jakarta: Lentera hati. 2005). hal. 303
[9] Ahmad Musthafa, Tafsir al-Maraghi. ( Semarang: CV. Thaha Putra, 1987), hal. 212-213

0 komentar

Posting Komentar